icon-category News

Ada Snouck Hurgronje di Pemisahan Agama dan Kepercayaan?

  • 15 Nov 2017 WIB
Bagikan :

Para penganut aliran kepercayaan/kebatinan mendapatkan tempat dalam administrasi kependudukan. Hal ini tidak lepas dari dikabulkannya uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) di Mahkamah Konstitusi (MK) awal November lalu.

Ada yang menyambut baik, tapi tidak sedikit yang mempersoalkan. Khususnya posisi dan definisi aliran kepercayaan sehingga layak disandingkan dengan agama.

Menilik sejarah bangsa Indonesia, pemisahan antara agama (Islam-red.) dengan adat telah dilakukan sejak masa kolonial. Kebijakan kolonial memisahan aliran kepercayaan dengan agama atas usulan seorang orientalis Belanda Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).

Snouck Hurgronje meneliti kehidupan keagamaan masyarakat di Aceh, yang kental dengan ajaran dan budaya Islam. Dari studi Snouck Hurgronje inilah dimulai dikotomi kelompok masyarakat, Islam dan adat/kepercayan. Usulan ini kemudian menjadi kebijakan kolonial, memisahkan kelompok Islam dan Abangan.

Dosen Pengajar Agama dan Budaya Lokal, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif, mengungkapkan tujuan pemisahaan ini tidak lain membuat polarisasi yang semakin tajam di masyarakat.

"Kebijakan kolonial ini dimulai Belanda pada 1901, tujuannya adalah politik belah bambu. Tujuannya agar Islam tidak bisa melawan serta terus berseteru dengan kelompok adat," jelas Samsul, Rabu (15/11).

Untuk tujuan politik kolonial, Snouck bahkan harus memeluk Islam. Berbekal status Islam itu, Snouck menikahi wanita muslim dan berhaji ke Makkah. Sekembali Snouck ke Aceh, ia mengkomparasikan perbedaan Islam di Tanah Suci yang tekstualis dengan karakter Islam di Aceh. Snouck lantas membedakan mana ajaran Islam dan mana adat.

Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894.

Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya. Pemisahan antara agama dengan adat kemudian dijadikan kebijakan kolonial untuk memecah kelompok Islam dan kelompok Adat.

Keinginan Belanda dengan pemisahan ini, agar kelompok Adat bisa beraliansi dengan kolonial. Berkongsi melawan kelompok Islam yang militan secara politik melakukan perlawanan dan pemberontakan.

"Kebijakan kolonial turunan dari ini, Islam yang bergerak dalam bidang politik harus ditekan, tapi Islam non politik diperbolehkan," katanya.

Sedangkan aliansi kelompok Adat ini kemudian di terapkan, bukan hanya di Aceh tapi hampir di seluruh Indonesia. Usulan Souck kepada kolonial soal Islam ini, secara keseluruhan Islam tidak bisa ditekan semuanya. Cukup dibedakan mana Islam politis dan mana yang sekedar adat dan keshalehan individu.

Kalau Islam sebatas keshalehan individu dan adat istiadat dibiarkan. Tidak diganggu. Sedangkan kalau Islam politik akan ditekan habis-habisan. Kebijakan ini mempolarisasi kuat di tengah masyarakat antara Islam dan Adat. Inilah yang kemudian kalau dikaitkan dengan konteks di masyarakat Jawa, antara Santri dan Abangan.

Kebijakan kolonial memisahkan agama dengan adat ini terus berlanjut hingga kemudian Jepang datang dan memilih berteman dan bermitra dengan kelompok Islam. Agar kelompok Islam memberi dukungan mengusir Belanda di Indonesia.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini