icon-category Sport

Cerita Soal “Menghilangnya” Dybala di Final Liga Champions

  • 05 Jun 2017 WIB
Bagikan :

“Di Barcelona saya punya (Lionel) Messi, di Juventus saya punya (Paulo) Dybala. Sumpah! Ke manapun saya pergi, jenius pasti mengikuti.” —Dani Alves.

Ucapan tersebut dilontarkan Alves pada sebuah kolom yang amat eksepsional berjudul “The Secret” —yang dirilis oleh The Players’ Tribune. Alves membeberkan beberapa rahasia di tulisan tersebut, termasuk bagaimana pusingnya Pep Guardiola di Barcelona dulu kalau permainan tidak berlangsung seperti yang ia rencanakan dan bayangkan. Namun, ucapan yang kami tulis di atas menonjol karena Alves secara tidak langsung menyombongkan kariernya yang (yah) eksepsional juga.

Hal lain yang bisa diambil dari ucapan Alves itu adalah bagaimana ia melabeli Messi dan Dybala sebagai jenius. Well, Messi memang sedari awalnya berbakat dan ada yang salah dengan kepala Anda jika mengatakan sebaliknya. Tapi, Dybala?

Menyebut Dybala berada di level Messi memang belum pas. Namun, menyebutnya sebagai pemain berbakat rasanya tidak salah-salah amat. Malah, bisa dibilang tepat kalau menyimak apa yang ia torehkan musim ini.

Dybala adalah salah satu protagonis Juventus dalam mempertahankan gelar juara Serie A musim ini. Dengan 11 golnya, ia adalah pemain tersubur Juventus setelah Gonzalo Higuain —yang mencetak 24 gol— di liga. Ia juga merupakan kreator peluang terbanyak kedua setelah Miralem Pjanic —60 kans— dengan 58 peluang dikreasikan.

Perubahan posisinya menjadi trequartista juga dipuji oleh banyak orang. Dybala tidak hanya mengancam pertahanan lawan lewat penyelesaian akhirnya, tetapi juga dribel, dan terkadang umpan yang dilepaskannya dari lini kedua. Lebih dari itu, Dybala juga kerap diperbantukan untuk tugas-tugas defensif di lini tengah. Tak jarang ia bergerak ke sayap untuk membantu melakukan pressing atau turun ke tengah membantu Pjanic dan Sami Khedira untuk menghentikan pemain lawan.

Adalah wajar kalau kemudian menganggap Dybala bisa jadi pemain penting untuk Juventus di final Liga Champions, Minggu (4/6/2017) dini hari WIB lalu. Pada paruh pertama laga, Dybala memang tampak menjanjikan. Anda bisa saja menyangka bahwa ia akan mencetak setidaknya satu gol di laga tersebut dan mempertontonkan selebrasi favoritnya: Dybala Mask.

Tiap kali membobol gawang lawan, pemain berusia 23 tahun itu akan menutup sebagian wajahnya dengan merentangkan telunjuk dan jarinya —membentuk sebuah topeng. Usut punya usut, Dybala mendapatkan inspirasi dari film “Gladiator”, yang ditontonnya berulang kali, untuk selebrasi tersebut. Dybala membuat topeng (imajiner) dengan tangannya untuk meniru topeng para gladiator. Secara tidak langsung juga, selebrasi itu juga menyimbolkan Dybala sebagai seorang petarung, seorang gladiator.

“Gladiator” sendiri mengisahkan seorang jenderal bernama Maximus (diperankan dengan apik oleh Russel Crowe_ yang dikhianati oleh kaisarnya sendiri. Setelah keluarganya dibunuh, Maximus ditemukan oleh seorang pedagang budak dan menjualnya kepada seseorang untuk dijadikan gladiator. 

Sebagai gladiator, Maximus diajari untuk tidak hanya sekadar mematikan lawan, tetapi juga memberikan hiburan yang layak kepada penonton. Dengan memenangi hati para penonton, paripurnalah pertarungannya.

Pada satu momen, setelah membabat habis lawan-lawannya dan penonton tampak terheran-heran, Maximus berjalan pelan, melempar pedangnya, lalu berteriak dengan lantang ke seluruh penjuru arena: “Are you not entertained!?”

Ya, apa kalian tidak terhibur?

Pertanyaan serupa bisa kita tanyakan apabila ada yang tidak terkesima melihat penampilan apik Dybala. Namun, pada laga final di Cardiff, Wales, dua malam lalu, sulit untuk mengajukan pertanyaan tersebut.

Dybala kali itu tidak tampil sebagai trequartista sebagaimana biasanya. Pelatih Juventus, Massimiliano Allegri, tidak memasang formasi 4-2-3-1 dan oleh karenanya, Dybala tidak memainkan peran tersebut. Sebaliknya, Allegri memasang formasi 3-4-3 dan menempatkan Dybala sebagai penyerang sayap sebelah kanan.

Kendati bermain sebagai penyerang sayap sebelah kanan, Dybala lebih sering bergerak ke tengah dan bahkan mundur sampai ke lini kedua untuk menghentikan pergerakan pemain Real Madrid. Ini juga yang membuatnya mendapatkan kartu kuning pada menit ke-12 akibat menekel Toni Kroos.

Sampai babak pertama berakhir, dan laga berakhir 1-1, tidak ada masalah. Dybala beberapa kali melakukan dribel yang mengancam pertahanan Madrid dan sempat satu kali membuat Marcelo terlihat bodoh lewat satu nutmeg-nya.

(Jika Anda tidak tahu apa itu nutmeg, kami beri bahasa gampangnya: mengolongi bola melewati dua kaki lawan. Pemain yang terkena nutmeg biasanya jadi bahan tertawaan)

Namun, di babak kedua, Dybala menghilang.

“Ini memang bukan perkara mudah. Buat Paulo, ini adalah final Liga Champions pertamanya, dan Sergio Ramos menjaganya dengan amat baik,” ujar Allegri setelah pertandingan.

Namun, apakah ini cuma perkara Ramos mengawalnya sedemikian ketat? Mari kita simak sebentar.

Formasi Juventus sempat berubah setelah Madrid unggul 2-1 lewat gol Casemiro. Pada menit ke-66, Andrea Barzagli ditarik keluar dan digantikan Cuadrado, membuat “Si Nyonya Tua” bermain dengan formasi 4-2-3-1. Dengan formasi tersebut, posisi Dybala bergeser ke tengah, sementara Cuadrado menjadi gelandang serang sebelah kanan.

Dybala memang bisa berhadapan langsung dengan Ramos, tetapi matinya permainan dia di babak kedua malam itu lebih disebabkan karena perubahan taktik yang tepat oleh pelatih Juventus, Zinedine Zidane, di babak kedua.

Paham bahwa Juventus lebih unggul di area sayap, Zidane pun memusatkan serangan timnya lewat tengah di babak kedua. Posisi Kroos, yang di babak pertama lebih sering bergerak ke arah sayap, digesernya menjadi lebih ke tengah.

Alhasil, Madrid pun mendominasi penguasaan bola di babak kedua. Tiap kali sukses merebut bola dari pemain-pemain Juventus, dengan cepat mereka langsung mengalirkannya lewat tengah. Pasokan bola untuk Dybala, yang semestinya bermain sebagai kreator di sepertiga akhir lapangan Juventus, pun mandek.

Di luar itu, Juventus juga tidak menolong diri mereka sendiri dengan memilih untuk membangun serangan lewat operan, alih-alih melakukan run into space (mengandalkan pemain untuk berlari ke ruang yang terbuka). Dengan begitu, kecepatan Juventus dalam membangun serangan melambat, belum lagi Madrid memberlakukan pressing ketat yang semakin menyumbat aliran bola mereka.

“Ada beberapa situasi yang tidak kami hadapi dengan tepat. Saat tertinggal 1-2, semestinya kami tetap melakukan tekanan, sebab kesempatan itu pasti akan datang untuk mencetak gol lagi,” kata Allegri.

Nasi sudah menjadi bubur, piala sudah diangkat oleh Madrid. Dybala mungkin bisa mencoba lagi tahun depan.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini