icon-category Technology

Chatbot, Robot yang Bikin Rusak Pekerjaan Customer Service

  • 13 Dec 2017 WIB
Bagikan :

Bagi orang Indonesia, tak ada yang bisa mengalahkan kepopuleran mi instan selain layanan pesan instan. Setiap ponsel pintar mulai bekerja, maka aplikasi pesan instan menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Sebuah survei tahun lalu yang dilakukan terhadap 12.500 responden di seluruh dunia dan dipublikasikan Facebook, mengungkapkan 59 persen responden mengaku menggunakan aplikasi pesan instan untuk tetap terhubung dengan keluarga maupun teman guna memperoleh informasi terbaru.

Besarnya jumlah pengguna jadi bukti pentingnya aplikasi pesan instan dari perorangan hingga urusan bisnis. Aplikasi pesan instan sudah dipakai sebagai salah satu saluran untuk berinteraksi antara produsen dengan para pelanggannya.

Dalam survei yang dipaparkan Facebook, 56 persen responden mengaku lebih menyukai mengirim pesan dalam aplikasi pesan instan di saluran layanan pelanggan, daripada berbusa-busa dengan sambungan telepon. Yang menarik, satu dari dua responden mengaku lebih menyukai membeli barang dari perusahaan yang memiliki layanan pesan instans untuk bertanya.

Baca juga: Berbincang-bincang dan Mengeluh Kepada Chatbot

Persoalannya, menyediakan saluran pelanggan dengan pesan instan, maka biaya sumber daya manusia bisa membengkak. Apalagi cuma untuk urusan layanan menjawab atau menyapa yang normatif dan mengulang.

Contoh paling sering adalah marketplace seperti Tokopedia atau Bukalapak misalnya. Pertanyaan repetitif seperti “ready gan?” atau “barang siap dikirim?” sering mewarnai layanan saluran pelanggan. Maka, mempekerjakan manusia untuk pekerjaan semacam ini tentu tak efisien bagi dunia bisnis.

Sehingga sampai di titik tersebut, keberadaan chatbot—layanan digital berbasis kecerdasan buatan yang punya kemampuan percakapan pada aplikasi—jadi solusi dunia bisnis. Chatbot bisa mengambil alih komunikasi repetitif yang sebelumnya dikerjakan manusia.

Infografik Chatbot Rev

Chatbot merupakan robot yang diprogram untuk membalas pesan-pesan yang dikirimkan dengan indikator tertentu. Di awal kemunculannya, chatbot terasa benar-benar seperti robot: kaku. Namun, atas kehadiran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), kini chatbot punya kemampuan dengan rasa percakapan yang lebih natural.

Shep Hyken, seorang pakar konsultan customer service dalam ulasan di Forbes mengatakan bahwa kecerdasan buatan sukses mengubah dunia bisnis secara drastis. Keberadaan chatbot yang dibekali teknologi AI sukses menjadi “saluran layanan pelanggan yang layak.” Chatbot yang berpadu dengan AI memberikan nuansa pelayanan pelanggan yang bisa mendekati dengan sentuhan respons oleh manusia.

Adam Devine, Chief Marketing Officer WorkFusion—sebuah perusahaan software—mengatakan bahwa chatbot yang “menambahkan natural language processes dan machine learning mengubah segalanya, memberikan asisten pelanggan virtual kemampuan untuk tidak hanya bertindak sesuai aturan yang dipetakan, tapi juga memahami tiap kata dalam kombinasi berbeda.

Keputusan pemakaian chatbot di dunia bisnis terutama karena ia bisa mengurangi beban operasional daripada pakai tenaga manusia. Kaspar Situmorang, Executive Vice President of Digital Center of Excellence Bank BRI dalam sebuah acara bertajuk Interact 2017, mengatakan bahwa pengembangan teknologi AI diperlukan untuk “mengurangi beban operasional, salah satunya menekan layanan pelanggan.”

Baca juga: Chatbot, Era Manusia Bercakap-cakap dengan Komputer

“Untuk mendapatkan tingkat ketertarikan yang sama dengan memperkerjakan ribuan tenaga penjualan, kami membutuhkan ribuan anggota tim lapangan. Kini tim lapangan kami hanya berjumlah 30 orang, tapi kami mengobrol dengan ribuan orang di Facebook (dengan chatbot berbasis AI). Ini adalah cara cerdas untuk menarik pelanggan dengan skala yang luas yang biasanya mengandalkan tenaga manusia,” ungkap Ben Walsh, Head of Marketing HTC Europe pada Marketing Week.

Yugie Nugraha Product Lead AI Microsoft Indonesia, mengungkapkan bahwa pengembangan chatbot “bukan sekadar untuk customer service (semata), bagaimana chatbot AI bisa menjadi teman bagi manusia.” Microsoft belum lama ini merilis Rinna, chatbot yang berinteraksi dalam bahasa Indonesia di Line

Ia mengatakan bahwa kini ada dua jenis chatbot yang tersedia, yaitu Productivity Bot dan Engagement Bot. Contohnya saat pengguna bertanya “aku lapar maka Productivity Bot akan menjawab “apa yang bisa saya pesankan?” Namun,  Engagement Bot akan menjawab “hi, saya baru makan nasi padang yang enak.”

Bot jenis yang kedua, menurut Yugie, merupakan bot yang mengajak penggunanya untuk terus bercakap-cakap. Mirip seperti manusia sungguhan. “Percakapan penting untuk buat engagement,” ucapnya.

Selain bisa menjadi cara merangkul pelanggan dan memangkas ongkos, chatbot punya keunggulan soal kecepatan. Ini setidaknya diakui oleh Irzan Raditya, CEO & Co-Founder of Kata.ai—sebuah perusahaan penyedia chatbot di dalam negeri.

“Dulu Telkomsel punya customer service di Facebook, karena dioperasikan manusia, agen biasa, memakan waktu 4 menit untuk merespons. Dengan ada chatbot responsnya 3 detik,” kata Irzan kepada Tirto awal November lalu.

Selain itu, keberadaan chatbot juga mampu menciptakan peluang lebih dibandingkan memanfaatkan tenaga manusia. "Dengan chatbot sekarang bisa jualan pulsa,” tambahnya.

Apakah chatbot benar-benar efektif?

Kisah sukses penggunaan chatbot di dunia bisnis adalah Adidas. Ia menggandeng agensi pemasaran bernama Byte, dengan memakai chatbot berbasis Facebook Messenger. Chatbot Adidas ini dibuat untuk memasarkan serta melakukan pemesanan ruang komunitas perempuan bernama Studio LDN dengan cara interaktif. Hasilnya, dalam seminggu selepas diluncurkan terdapat 2.000 orang yang mendaftar usai mengobrol dengan chatbot.

Hasil ini tentu luar biasa, karena mengajak 2.000 orang mendaftar di suatu layanan dalam waktu satu minggu bukanlah perkara mudah. Alasannya sederhana, butuh tim yang tidak sedikit untuk melakukannya. Chatbot mampu hadir menggantikan peran manusia.

“Salah satu daya tarik utama chatbot adalah memungkinkan keterlibatan berkelanjutan dan mendalam dengan konsumen melalui percakapan satu lawan satu secara reguler. Target konsumen kami adalah mereka para pengadopsi awal inovasi sosial sehingga chatbot adalah kendaraan yang sempurna bagi kami untuk berkomunikasi dengan mereka,” kata Sarah Gower, Managing Editor Adidas London Newsroom kepada Marketing Week.

Penggunaan Facebook Messenger untuk mengembangkan chatbot dengan pendekatan bisnis seperti yang dilakukan Adidas memang tengah diganderungi. Facebook memperkenalkan sebuah platform bernama Messenger Platform pada pertengahan 2016 lalu. Setahun setelah diluncurkan telah tercatat 100 ribu bot yang dibuat di platform tersebut. 

Di Indonesia, platform chatbot yang cukup populer diperkenalkan oleh Kata.ai. Mereka mengklaim, chatbot Kata.ai telah bertukar 200 juta pesan antara chatbot yang dibangun berdasarkan platform Kata.ai dengan para penggunanya.

Keberadaan chatbot tentu jadi dua mata pisau bagi manusia. Di satu sisi bisa memberikan efisiensi, tapi ada sisi gelap dari keberadaannya.

Perusahaan riset Gartner memperkirakan pada 2020 mendatang, rata-rata orang akan berkirim pesan dengan chatbot jauh lebih sering dibandingkan dengan pasangannya. Bila ini terjadi maka peran "robot" yang bisa berkomunikasi dengan manusia akan membuat orang kehilangan pekerjaan tapi juga hubungan sosial. Perlahan semua itu akan menjadi kenyataan.

Baca juga artikel terkait CHATBOT atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : chatbot 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini