icon-category News

Di Balik Pemblokiran Telegram, 17 Kasus Terorisme ada di Sini

  • 18 Jul 2017 WIB
Bagikan :

Pemerintah Indonesia menganggap aplikasi layanan chatting Telegram mengancam keamanan negara. Aplikasi ini sering dijadikan media komunikasi kelompok teroris.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan pemblokiran layanan Telegram oleh pemerintah karena banyak dipakai untuk paham radikalisme.

"Ternyata kan aplikasi itu yang paling banyak digunakan itulah makanya diambil keputusan (pemblokiran layanan telegram)," kata Suhardi di Kantor BNPT, Jalan Komplek IPSC, Jalan Anyar, Desa Tangkil, Sentul, Bogor, Senin (17/7/2017) kemarin.

Pemblokiran layanan Telegram dilakukan dari keputusan tim Penanggulangan Terorisme yang dipimpin oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Bukan hanya memblokir layanan Telegram. Tapi juga pemilik layanan aplikasi Telegram dihentikan bila terkait ada konten radikalisme.

"Keputusan itu kan hasil evaluasi. Itu bersama seluruh aparat penegak hukum leading sektornya dari Kominfo," ujar Suhardi.

Di tempat terpisah, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan Detasemen Khusus Anti-Teror menemukan 17 kasus yang terkait terorisme dalam layanan berbincang Telegram. Temuan ini pula yang menjadi alasan pemblokiran Telegram. Kasus itu ditemukan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Termasuk kasus bom Thamrin tahun lalu.

"Selama dua tahun terakhir, ada 17 kasus. Kasus bom Thamrin dan lainnya," kata Tito di Gedung DPR.

Layanan Telegram menjadi pilihan jalur komunikasi pelaku teror karena berbagai alasan. Tito mengatakan Telegram ini sulit disadap dan akunnya tersembunyi sehingga tidak bisa dilacak dengan mudah, serta bisa menampung puluhan ribu member dalam satu grup percakapan.

Dengan keunggulan seperti ini, pola dokrinisasi untuk para pelaku teror menjadi lebih mudah. Karena keunggulan itu pula, Tito mengatakan, membuat pola aksi teror jadi berubah dan memunculkan pola teror yang bergerak sendiri atau lone wolf.

"Sekarang ini berkembang lone wolf, jadi mereka tidak terstruktur, bergerak sendiri, menjadi radikal sendiri, ya melalui penggunaan IT sekarang ini. Dulu latihan secara langsung, sekarang tidak. Tinggal online, chat, tanya, survei, sharing. Nah, Telegram ini salah satu favorit mereka karena itu," ujar dia.

Polri sempat meminta agar Telegram memberikan akses kepadanya untuk menelusuri komunikasi pelaku teror ini. Namun, pihak Telegram tidak melayaninya. Sehingga, Polri meminta bantuan pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap layanan berbincang itu.

"Kita minta kepada Telegram bukan ditutup sebenarnya. Tapi tolong kami diberi akses. Kalau sudah menyangkut urusan terorisme, keamanan, kami tahu siapa itu yang memerintahkan untuk melakukan pengeboman dan menyebarkan paham radikal. Tapi nggak dilayani, nggak ditanggapi. Yah kalau nggak ditanggapi kita tutup," kata dia.

Belakangan, Telegram mengakui kesalahannya. Bahkan, kata Tito, pihak Telegram ‎membangun komunikasi lagi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tito pun tidak mempermasalahkan ketika Telegram nanti dibuka kembali. Asalkan, Polri diberikan akses untuk menelusuri kasus terorisme.

‎"Begitu kita tutup, mikirlah mereka. Nah sekarang mereka saya dengar sudah mulai membngun komunikasi dengan Kemenkominfo, fine. Kalau mau dibuka lagi, fine. Tapi kita boleh diberikan akses," ujarnya.

Tito mengatakan Telegram menjadi salah satu aplikasi yang digemari kelompok radikal atau teroris dalam menjalin komunikasi. ‎Sebab, layanan ini memiliki kebutuhan yang menunjang untuk kelompok tersebut berkomunikasi.

Dia menambahkan, komunikasi lewat layanan berbagi pesan seperti ini dianggap sangat efektif untuk memberikan doktrin ‎radikal.

Sehingga, fenomena "lone wolf self radicalisation" bisa muncul dengan mudah lewat Telegram. Karenanya, Polri memberikan rekomendasi agar Pemerintah memblokir layanan ini.

"Karena ‎ini tidak face to face, ini lebih berbahaya. Karena kalau ketemu didoktrin face to face akan dipahami dan dideteksi intelijen, tapi kalau dengan aplikasi, sulit untuk dideteksi," kata dia.

Selain sulit dideteksi, aparat keamanan juga kesulitan untuk melakukan penetrasi ke grup radikal dalam layanan tersebut.‎ Sebab, kata Tito, setiap kali aparat keamanan berupaya menyamar, selalu ketahuan oleh kelompok tersebut dan berakhir kepada kegagalan penyamaran.

"Kalau (kita) menyamar, mereka (kelompok radikal) mengerti teknik-teknik itu untuk meng-counter. Maka yang kita lakukan adalah meminta untuk dilakukan penutupan," kata Tito sambil menambahkan akan ada pro kontra dari penutupan ini.

Dia menambahkan, pola teroris sekarang ini juga sudah berubah. Kalau dahulu doktrin dilakukan secara‎ tatap muka. Sekarang, doktrin bisa dilakukan hanya lewat membaca pesan di Telegram atau internet.

"Mulai 2-3 tahun ini, sejak ada ISIS, fenomenanya non struktur, yang dilakukan orang-orang dengan membaca Telegram, kemudian terjadi self radikalisasi, kemudian latihan membuat bom yang namanya online training. Ini kan bahaya," kata Tito.

Kepolisian Indonesia mencatat ada 31 satu kasus terorisme dari Tahun 2015 sampai Juni 2017. ‎Dari kasus itu, ada 336 orang tersangka yang ditangkap. Sebagian besar dari tersangka ditangkap saat proses pencegahan.

"Jadi kalau kita lihat 336 tersangka sebagian besar dalam proses pencegahan dibandingkan penangkapan tapi yang terekspos kalau yang sudah meledak," kata Tito.

Dari dua tahun ini, pola terorisme mulai berubah. Sekarang adalah bergerak sendirian dan teradikalisasi melalui internet‎. Lewat internet ini pula, kata Tito, pelaku bisa training cara menyerang lawan, membuat bom dan lainnya tanpa tatap muka.

"Dan ini berbeda dengan fenomena bom Bali, dulu," kata dia.

Dengan pola seperti itu, Tito menegaskan, proses pencegahannya juga harus berbeda. Tito mengatakan, pencegahan model jaringan teroris seperti ini dengan cara menguatkan kerja intelijen.

"Kalau untuk kasus ini maka kunci utama kekuatan intelijen. Nah sekarang dengan fenomena lone wolf kita perkuat cyber kita mengawasi aktivitas dunia maya. Melakukan langkah langkah untuk menekan sistem komunikasi mereka dan melakukan counter di dunia maya. ini namanya perang di dunia maya," kata Tito.

Saat ini, tambah Tito, sejumlah kelompok sudah teridentifikasi polisi. Polisi pun tengah melakukan langkah antisipasi untuk kelompok-kelompok ini.

"Mereka melakukan dan menyebut cyber jihad, cyber terorism. Dan kita harus melakukan cyber counter terorism disamping kegiatan kontra radikalisasi untuk mencegah masyarakat yang rentan terkena terpengaruh radikal," kata dia.

 

Berita Terkait:

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini