icon-category Travel

WAC 2017: Kisah Tiga Legenda, Mamay S Salim

  • 23 May 2017 WIB
Bagikan :

Ia dikenal sebagai pemanjat tebing dan pendaki gunung senior di Tanah Air. Salah satu pendiri EIGER ini masih aktif berkegiatan di luar ruang hingga kini.

Mamay mulai tertarik mendaki gunung sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu, ia bergabung dengan tim Pandu, cikal bakal Pramuka.

Setelah lulus SMP pada 1968, ia dan teman-temannya mendaki Gunung Jayagiri, di Bandung, Jawa Barat. Kawasan sunung dengan ketinggian 1.250-1.500 mdpl ini dikenal indah dan menawan.

“Terdapat area strategis nan indah untuk hekking maupun camping di kawasan itu,” tutur Mamay.

Bermula dari Jayagiri inilah keinginan Mamay untuk terus mendaki gunung kian terpupuk. Ia pun terobsesi untuk mencoba menaklukkan gunung-gunung tertinggi di Jawa Barat, dan berhasil mewujudkannya. Petualangannya berlanjut ke Gunung Merapi dan Gunung Semeru, Jawa Timur.

Walau begitu, ia merasa masih belum sempurna sebagai pendaki gunung. Ia mengaku gagal. Sekali waktu, di tahun 1975, Mamay menonton sebuah film berjudul The Eiger Sanction besutan sutradara Clint Eastwood. Sebuah film tentang pendakian berbalut thriller, pembunuhan.

"Ternyata mendaki gunung kok gitu ya. Harus bawa alat dan segala macamnya. Berbeda dengan yang saya lakukan selama ini," ungkapnya.

Tak lama kemudian, Gladian Nasional diselenggarakan di Kota Bandung. Acara ini merupakan pertemuan pecinta alam se-Indonesia. Saat itu, Mamay menjadi panitia dan bertugas menjaga stand pameran. Di sanalah ia mulai membaca buku-buku tentang pendakian.

"Di situ saya membaca dan mempelajari buku Mountaineering: From Hill Walking to Alpine Climbing karya Alan Blackshaw. Ternyata makin banyak kesalahan yang saya lakukan dalam mendaki gunung," kata bapak dua putri ini.

Akhirnya, Mamay kian serius belajar soal pendakian baik melalui buku maupun pendaki gunung profesional. Setelah sekian lama belajar dan praktik mendaki gunung yang benar, akhirnya Mamay pun menjadi pelatih.

Seiring dengan pengetahuan dan peningkatan kemampuannya dalam pendakian, Mamay pun menjajal untuk mendaki semua gunung tertinggi di Indonesia.

Selain mendaki, Mamay dikenal sebagai pemanjat tebing andal. Hingga kini ia tercatat sebagai salah satu Instruktur Kepala di Perguruan Memanjat Tebing Skygers Indonesia.

Berpengalaman memanjat tebing dan mendaki gunung di berbagai wilayah Tanah Air hingga luar negeri, Mamay enggan jumawa. Ia juga tak menargetkan diri untuk mendaki Seven Summits, tujuh gunung tertinggi di tujuh benua.

Seven Summmits terdiri dari Everest (Asia), Aconcagua (Amerika Selatan), Denali (Amerika Utara), Kilimanjaro (Afrika), Elbrus (Eropa), Vinson (Antartika), dan Puncak Jaya (Australasia).

“Saya telah mendaki sebagian gunung tertinggi di Eropa, Afrika, hingga Himalaya. Di Himalaya terdapat banyak puncak gunung tertinggi, makanya orang-orang merasa tertantang untuk bisa mendaki di sana," ujarnya.

alt-img

Mendaki gunung bukanlah pekerjaan mudah. Selain pengetahuan dan keterampilan, biaya juga merupakan faktor penentu sukses tidaknya pendakian. Mamay tak menampik jika pendakian-pendakian yang dilakukannya dibantu sejumlah sponsor atau penyandang dana.

Apa yang dicari di gunung? Ketika pertanyaan ini diajukan ke Mamay, ia sempat terdiam sejenak. "Sebenarnya saya tidak mencari apa-apa," jawabnya. "Namun beralih ke profesi lain sepertinya tidak mungkin."

Di usia yang kini 64 tahun, Mamay mengaku tak ingin melakukan hal lain lagi. "Umur saya sudah tinggal bonus. Kalau saya beralih ke profesi lain, harus memulai dari nol lagi. Itu sudah tak mungkin."

Karena itu, di sisa usianya ia ingin memaksimalkan apa yang telah dilakukannya selama ini di dunia panjat tebing dan pendakian.

Saat ini, menurut Mamay, terdapat pergeseran dalam dunia pendakian di Indonesia. Mungkin karena perubahan alam, jadi orang mendaki gunung hanya untuk memperlihatkan jati diri (selfie).

Ada gejala orang naik gunung dengan segala kemudahan. Misalnya, pergi dengan naik motor, menunggu matahari terbit, terus turun.

“Beda dengan kami dulu. Kita kalau mau daki gunung harus bawa beras sendiri dari rumah. Naik truk, nyegat di jalan. Dulu ketika saya mendaki Rinjani, hanya berbekal surat jalan dari kantor polisi kemudian cegat truk.”

Mamay pertama kali mendaki Rinjani pada 1979. Saat itu belum ada trek dari Sembalun atau Senaru. Ia harus melewati kawasan hutan Pusuk ke gunung tertinggi ketiga di Indonesia itu.

Ia mendapatkan data yang salah dari temannya bernama Iwan, seorang pendaki anggota Wanadri. Berdasarkan rute yang ditulis Iwan itulah Mamay mewujudkan mimpi menggapai puncak Rinjani melewati Lombok Tengah, Lombok Timur, balik ke Lombok Barat, dan masuk hutan Pusuk. Tak ubahnya hanya memutari Pulau Lombok.

"Total perjalanan saya hingga mencapai puncak Rinjani berlangsung selama sembilan bulan. Kalau ketemu dengan Iwan dan mengenang soal Rinjani itu, kadang kami tertawa," tuturnya sembari terkekeh.

Mamay berpesan kepada para pendaki muda agar menjaga alam dan tidak merusak lingkungan. Jika alam rusak, maka biaya untuk memperbaikinya sangat besar.

Ia juga meminta para petualang agar tidak membuang sampah sembarangan di atas gunung. Sampah harus dibawa turun kembali dan dibuang di tempat yang telah disediakan.

alt-img

Merintis EIGER

Selain dikenal sebagai pemanjat tebing dan pendaki gunung, Mamay juga dikenal sebagai salah satu pendiri EIGER. Perusahaan yang khusus memproduksi peralatan kegiatan luar ruang (petualangan). Ia mendirikan EIGER pada 1990.

Saat itu, terdapat banyak merek peralatan outdoor di pasar Tanah Air, baik merek luar maupun produk lokal. Sebut saja Karrimor, Lafuma, Alpina, Jayagiri, Rei, dan lainnya.

“Awalnya, kami ingin memfokuskan diri membuat produk alternatif. Produk yang bagus, kuat, awet, dan tahan lama dengan harga terjangkau,” tutur lelaki kelahiran Bandung ini. “Ternyata respons pengguna lumayan baik. Produk ini pun diterima oleh masyarakat.”

EIGER diambil dari sebuah nama gunung di Swiss. Kebetulan Kang Mamay telah berkali-kali mendaki gunung yang terletak di negara Eropa yang dikenal dingin tersebut. Ia pertama kali mendaki Gunung Eiger pada 1985.

Kini Gunung Eiger telah menjadi heritage (warisan dunia). Gunung ini dikenal sebagai gunung yang paling sudah didaki, terutama dinding sebelah utara. Tak heran jika ia juga menjadi gunung yang termasuk paling banyak 'memakan' korban jiwa.

Mamay merintis perusahaan EIGER bersama Djukardi Adriana alias Kang Bongkeng dan Ronny Lukito sebagai penyandang dana. Ronny adalah salah satu pengusaha yang telah lama bergelut di bisnis pembuatan tas.

Salah satu keunggulan EIGER, menurut Mamay, adalah kualitas. Perusahaan sangat menjaga soal yang satu ini demi mempertahankan loyalitas konsumen. Pada 1996, EIGER mulai melibatkan tim Research and Development (R&D) untuk memantapkan langkah perusahaan dan jenis produk yang akan dibuat kelak.

Tim R&D ini melakukan segala macam riset, mulai dari model produk, bahan, segmentasi pembeli, hingga riset pasar. “Tanpa R&D mungkin produk yang kita buat akan acak-acakan,” kata Mamay.

Keunggulan lain EIGER dibanding pesaing adalah di sistem distribusi produk atau jaringan penjualan. EIGER sangat memerhatikan betul soal yang satu ini. EIGER tidak sembarangan melempar produk ke pasar. Saat ini, kata Mamay, sistem yang berlaku adalah semi franchise. Tapi ke depannya akan franchise.

Sejak tahun 2000, EIGER membuat satu divisi baru yang disebut EIGER Adventure Service Team atau disingkat EAST. Divisi ini dibentuk sebagai salah satu bentuk tanggung jawab dan kepedulian EIGER terhadap masyarakat terutama dalam mengembangkan kegiatan petualangan di Tanah Air.

EAST kemudian menggelar beberapa program berbau petualangan, di antaranya panjat tebing, mendaki gunung, susur gua, selancar, hingga Gowes Bareng Paimo. Ajang dan beragam kegiatan yang digelar menjadi sarana promosi yang efektif dalam memperkenalkan produk-produk baru EIGER.*

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini