icon-category News

Menjejak Legenda Piramida Gunung Padang

  • 17 Dec 2017 WIB
Bagikan :

Lutut kami gemetar ketika sampai di puncak bukit. Pada bebatuan yang menghampar di sana, kami beristirahat sejenak meregangkan kaki. Bagaimana tidak, kami--anak muda zaman now yang kebetulan jarang berolahraga--menapaki 232 anak tangga sejauh 300 meter pada ketinggian 865 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Sungguh medan yang tak mudah bagi tulang-tulang kaku kami. Tapi, demi menuntaskan rasa penasaran pada lokasi yang katanya cukup Instagrammable itu (lagi pula, mana ada sih tempat di dunia ini yang sekarang tak Instagrammable? Selfie saja bisa di toilet hingga tepi jurang).

Kami berada di Gunung Padang, situs purbakala yang kini populer. Ia disebut punden berundak hingga piramida. Situs di Cianjur, Jawa Barat, ini memancing keingintahuan banyak orang untuk jauh-jauh datang. Termasuk kami yang berkunjung, Sabtu (18/11). 

Layaknya tempat wisata, Gunung Padang ramai pengunjung di akhir minggu. Dari tempat kami beristirahat di puncak tangga, orang-orang ramai lalu-lalang keluar masuk ke areal utama situs ini.

Mereka yang baru tiba, muncul dari bawah tangga dengan tersengah-sengal sambil memegangi lutut. Mungkin sama lelahnya dengan kami.

Dari arah sebaliknya, orang-orang berjalan penuh canda ceria. Mereka seperti pelancong beruntung yang liburannya nyaris sempurna. Rombongan pasangan suami istri paruh baya berteriak kepada kami yang sedang duduk-duduk melepas penat, “Aduh adik, masa kalah sama kami yang sudah kakek nenek.”

Kami hanya membalas dengan tawa, sambil mengumpulkan napas yang belum pulih sepenuhnya. Sementara mereka terus turun untuk menyudahi kunjungannya dengan membawa rasa bahagia seperti terpancar di paras.

Kami kemudian beranjak menuju ke bagian atas. Gunung Padang terdiri dari dua gundukan yang total seluas 1.000 meter persegi. Mengutip laman Kemendikbud, batuan di Gunung Padang merupakan andesit atau batuan keras yang berbentuk segi empat dan segi lima. Batu-batu tersebut membentuk konfigurasi cantik di masing-masing teras. 

Bukit tempat kami duduk dikelilingi beberapa bukit lain yang asri. Memberi suasana segar bagi mereka yang kabur dari kotornya udara kota. Bentang alam yang indah dan nuansa histori yang kental, jadi paduan sempurna.

Rudi dan Ani, pasangan suami istri asal Bogor yang berjalan tak jauh di belakang kami, mengatakan kelelahan mereka terbayar tuntas. 

“Jalan ke sini perjuangan banget. Ditambah naik tangga. Ternyata sampai atas bagus banget,” ujar Ani, diikuti anggukan Rudi yang sama semringah. 

Sisa Kejayaan

Bebatuan Gunung Padang tak akan ada artinya tanpa konteks sejarah yang tersemat. Arus wisatawan konon dimulai sejak 2013, saat tersiar kabar dari sebuah penelitian yang menyebutkan batu-batuan di tempat itu dibangun oleh peradaban di 5200 tahun Sebelum Masehi. Itu sebuah catatan baru yang fenomenal untuk sejarah peradaban Indonesia. 

Situs Gunung Padang pertama kali muncul dalam laporan Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië atau Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda pada 1914. Proses penelitian kemudian dimulai tahun 1979.

Namun, penelitian serius baru benar-benar dilakukan oleh Tim Terpadu Riset Mandiri pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tim peneliti terdiri dari ahli arkeologi, geografi, dan antropologi. Mereka menggali mulai 2010 hingga 2014. Kesimpulan terkait usia Gunung Padang diambil dari uji tanah dan material.

Klaim usia Gunung Padang langsung memantik sorotan publik. Sebab, umurnya disebut lebih tua dari candi-candi yang telah dikenal masyarakat selama ini, seperti Borobudur (700 Masehi) dan Prambanan (1200 Masehi).

Usia bangunan menunjukkan situs Gunung Padang bahkan lebih tua dari bangunan kuno lain di belahan bumi lain. Piramida Giza di Mesir misalnya dibangun pada 3000 SM, sedangkan Machu Picchu di Peru didirikan oleh Bangsa Inca pada abad 15 Masehi.

Gunung Padang diklaim telah berdiri sebelum semua itu, yakni 5200 SM. Ia disebut sebagai situs megalitik terbesar dan tertua di Asia Tenggara.

Wisata Dunia

Butuh waktu dan tenaga ekstra untuk membuktikan cerita masyhur Gunung Padang. Perjalanan ke sana tak bisa dibilang mudah. Kami, misalnya, tiba di Sukabumi pukul 8 malam sehari sebelumnya, setelah menempuh enam jam perjalanan dari Jakarta.

Bukan enam jam yang menyenangkan, sebenarnya. Jalanan dari Bogor menuju Sukabumi harus menempuh kemacetan dan berpacu dengan angkot. Tidur semalam cukup impas untuk menahan lelah setelah bermacet ria.

Menuju Gunung Padang, selain dari Bogor, bisa pula dari Cianjur. Dari pusat kota Cianjur, anda tinggal menempuh perjalanan 50 kilometer ke arah selatan. Jalur ini biasa dipakai oleh wisatawan dari Bandung dan sekitarnya. Tapi, bukan berarti jalan itu mulus.

Menurut pengunjung asal Bandung, rute Cianjur banyak mengalami perbaikan jalan. “Benar-benar seperti offroad,” ucap Rendy yang membawa keluarganya dari Kota Kembang untuk bertamasya.

Jadi, kelelahan naik tangga menuju puncak Gunung Padang sesungguhnya merupakan pelengkap dari kelelahan sebelumnya. Seperti Rendy, setiap pengunjung mengalami perjalanan yang sama sekali tak mulus.

Sopir akan lelah memainkan kemampuan mengemudinya, sedangkan penumpang akan dibuat mual digoyang lubang jalanan. Nah kan, kami mulai kembali menemukan pembenaran kenapa begitu lelah setelah menaiki ratusan tangga.

Rute dari Sukabumi ke Gunung Padang awalnya tampak tak terlalu sulit. Dengan bimbingan Google Maps, kami berangkat pagi pukul 7 pagi dengan estimasi 56 menit perjalanan berjarak 40 kilometer. Mobil kami melaju menyusuri jalanan desa. 

Selama 30 menit pertama, perjalanan hampir serupa mudik pulang kampung. Kami melintas di jalan dua ruas khas kabupaten. Rumah bersanding dengan sawah sangat menyegarkan mata, setelah biasa tinggal di kota yang disesaki gedung pongah.

Tapi, semua serba-indah nostalgik kampung itu seketika berubah ketika mobil memasuki Cireungas. Jalanan mendadak berongga, sempit, dan terjal. Bukan jalan aspal, melainkan coran. Perlu kerja ekstra bagi mobil kami untuk menaklukan jalan itu.

Kami hampir tidak percaya bahwa ini adalah perjalanan menuju sebuah situs yang oleh pemerintah dilabeli sebagai situs megalitik tertua di Asia Tenggara. Kenyataan memang tak seindah bayangan.

Kami akhirnya tiba di sebuah hamparan perkebunan teh. Papan reklame di kebun teh itu menunjukkan Gunung Padang tinggal 1 kilometer lagi. Sayangnya, kondisi jalan tak berubah lebih baik.

Jalanan sempit yang membelah kampung tak mampu dilalui dua mobil. Minibus dan mobil harus saling mengalah jika ingin lewat. Sudah kepalang tanggung, tak ada pilihan untuk berputar arah.

Keramahan Lokal

Gunung Padang tengah menapaki jalan menuju destinasi wisata yang dikenal luas. Namun, akses jalan menuju Gunung Padang hampir tak mampu menampung arus wisatawan. Tapi bahkan, perjalanan “traumatis” tak menghapus keramaian pengunjung yang masuk melintas di gerbang utama. 

Tamu disambut oleh gerbang dengan ornamen bebatuan gaya zaman purba. Di sebelahnya, terdapat area parkir yang cukup untuk menampung 20 mobil. Di hari libur nasional, mobil hanya bisa berhenti di pintu gerbang. Dari situ, masih 150 meter lagi menuju pintu masuk utama. Anda bisa berjalan, atau menyewa ojek seharga Rp 5 ribu menuju ke sana. 

Endang, pengelola yang juga anggota Karang Taruna Desa Karyamukti, Banjar, mengatakan jalanan di depan pintu utama terlalu sempit dan tak mampu menampung parkir mobil. 

“Ukuran jalan cuma muat dua mobil. Akan penuh jika digunakan untuk parkir mobil dan motor,” ucap Endang yang menemani kami naik ke atas.

Itulah kenapa area parkir terletak jauh dari pintu masuk, dan ojek siap sedia di sana. Selain itu, ojek dapat mempercepat pengunjung sampai ke Gunung Padang.

Jika anda tak mau capai menaiki tangga seperti kami, ada jalan pintas kok. Dengan membayar Rp 50 ribu, anda akan diantar lewat pintu belakang.

“Dianterin langsung naik ke atas. Akang enggak perlu naik tangga. Kami lewatkan jalan tembus. Ditunggu sampai selesai,” kata Endang tentang paket hemat bebas penat itu.

Situs yang disebut dapat menggaet 1.000 pengunjung per hari itu memang sangat ramai. Tiket masuk hanya dihargai Rp 5 ribu. Murah meriah.

Manajemen pariwisata dikelola sepenuhnya oleh warga desa. Mulai dari penyedia ojek, penjaga tiket, hingga warung makanan, semua dikelola gotong royong oleh warga desa. 

Di Indonesia, destinasi pariwisata yang bertemakan sejarah amat digandrungi wisatawan. Candi Borobudur di Kabupaten Magelang sepanjang 2016 dikunjungi 3,7 juta wisatawan, sedangkan Candi Prambanan di Sleman DIY pada tahun yang sama dikunjungi 2 juta turis.

Angka tersebut ditopang oleh infrastruktur pendukung yang mumpuni. Tapi di Gunung Padang, belum begitu. Jangankan fasilitas penunjang, infrastruktur dasar seperti jalan raya yang menghubungkan Gunung Padang dari Cianjur dan Sukabumi saja masih tak layak.

Tapi ngomong-ngomong, bukankah ujung yang indah kerap melalui jalan terjal berliku?

Anda boleh punya sejuta alasan untuk pergi ke Gunung Padang. Entah itu penasaran, diajak kawaan atau kekasih, sekadar ingin pamer di media sosial, atau ingin melihat sendiri setua apa situs tersebut.

Pada akhirnya, duduk terpaku beralaskan batu sembari memandang hamparan perbukitan di Gunung Padang adalah sebuah kenikmatan tersendiri.

Tak percaya? Coba saja sendiri.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : Gunung padang 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini