icon-category News

Permintaan Maaf Indra J Piliang untuk Pekerja Diamond Karaoke

  • 17 Sep 2017 WIB
Bagikan :

Sejak setahun terakhir, politikus Indra J Piliang, positif mengonsumsi narkoba jenis sabu. Polisi menyebut alasan Indra menggunakan sabu untuk menghilangkan penat.

Indra dan tiga orang temannya, Romi Fernando dan Ismail Jamani dibekuk polisi di Diamond Karaoke di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, Rabu (13/9). Ketiganya tertangkap membawa satu set alat hisap sabu bekas pakai. 

Lantaran positif sebagai pemakai, polisi akhirnya memutuskan untuk merehabilitasi Indra. "Betul, betul (direhabilitasi)," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono di Mapolda Metro Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta, Jumat (15/9).

Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menegaskan Diamond Karaoke harus ditutup permanen. Sabu yang dibawa Indra, rupanya didapatkan dari salah satu pegawai Diamond Karaoke, lengkap dengan alat pengisapnya.

"Tutup permanen dan tidak boleh digunakan lagi untuk fungsi yang sama. Kemarin Satpol PP saya panggil. Tidak usah ba bi bu (lama), tutup. Sudah tutup kan semalam," kata Djarot di Taman Menteng, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/9).

Melalui tulisan yang diunggah di blog pribadinya, sanggerilya.com, Indra menumpahkan permintaan maafnya. Dia memohon agar kasusnya itu tidak menyeret nasib para pegawai Diamond Karaoke.

Tulisan itu dimuat dengan judul 'Berlian'. 'Mantan' politikus Golkar tersebut meminta nasib para pegawai Diamond Karaoke diselamatkan.

"Saya meminta agar mereka menjadi pihak pertama yang penting diperhatikan masa depannya. Sebagian di antara mereka, saya ketahui sedang menanti putra atau putri mereka keluar dari dalam rahim mereka sendiri atau dari pasangan mereka masing-masing," ujar Indra dalam tulisannya.

Mantan aktivis kampus itu menceritakan bagaimana kedekatannya selama ini dengan para pegawai Diamond. Mereka, kata Indra, tak pernah menerima tips, banyak pula yang rajin beribadah.

"Saya melihat mereka selama ini (sebagian) sangat rajin beribadah, bahkan sama sekali tak pernah meminta uang tips sepeserpun dan mungkin juga mayoritas tak pernah mendapatkan uang tips dari saya. " kata dia.

"Biarlah, dalam perang yang tak berkesudahan ini, nama-nama yang gugur adalah sosok-sosok yang layak gugur, tapi bukan kalangan kawulo dan jelata yang selama inipun berada dalam strata kehidupan paling bawah dalam sektor-sektor informal pekerjaan di bumi manusia," tuturnya.

Dalam tulisannya, Indra juga mengaku tidak pernah mengenal dunia malam. "Paling banter hanya bernyanyi di karaoke, itupun bersama dengan sahabat-sahabat terbaik," ujarnya.

Berikut tulisan Indra tentang dirinya dan Diamond Karaoke:

BERLIAN

Selama ini, saya tak pernah tahu tentang dunia malam. Selama menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, sampai menjalankan karier sebagai peneliti dan politisi, saya amat sangat jarang memasuki dunia malam. Paling banter saya hanya bernyanyi di karaoke, itupun bersama dengan sahabat-sahabat terbaik. Saya juga tak terbiasa dengan sajian yang diberikan, termasuk minuman keras.

Saya memilih untuk tak menulis tentang kasus yang membuat nama saya, keluarga saya, klan saya, agama saya dan segala sesuatu yang terhubung dengan saya menjadi tercoreng. Saya mohon maaf kepada seluruhnya. Saya mohon ampun kepada Allah SWT atas apa yang saya perbuat di alam fana ini.

Tetapi, mengingat saya mengikuti proses yang belum selesai, saya tentu tak bisa berbuat banyak. Saya hanya perlu menyampaikan, betapa ada sejumlah pihak yang mengalami persoalan besar, bahkan mungkin lebih besar dari saya, terkait dengan masalah hukum dan kesehatan yang terjadi dengan diri saya. Untuk itu, saya perlu menyampaikan ini secara terbuka. Tentu, kalangan yang diluar keluarga besar saya yang sekarang dalam posisi teramat tertekan.

Siapa mereka? Yakni para karyawan (penuh dan paroh waktu) dan non karyawan yang mencari nafkah di Diamond (berlian), sebuah diskotik dan lounge yang jaraknya sekitar 10 menit perjalanan dari rumah saya.

Mereka adalah orang-orang yang mencari hidup di belantara Jakarta. Mereka terdiri dari para office boy and girls, para waiter, para kapten, para security, para juru parkir, para penjual makanan, para sopir (taksi dan grab/uber), para ladies companion, para mami dan pihak-pihak yang menanggung akibat dari kasus saya. Saya selama ini berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka, sekalipun saya tak mengingat nama mereka.

Bagi saya, mereka adalah orang-orang bersahaya. Mereka bekerja bahkan mungkin melebihi upah yang mereka terima. Saya melihat mereka selama ini (sebagian) sangat rajin beribadah, bahkan sama sekali tak pernah meminta uang tips seperserpun dan mungkin juga mayoritas tak pernah mendapatkan uang tips dari saya. Mereka menjadi pelayan yang baik dalam kelamnya dunia hiburan siang dan malam di Jakarta.

Saya meminta maaf kepada mereka, karena atas masalah yang saya hadapi, mereka menjadi tak jelas nasibnya sebagai pencari nafkah di keluarga masing-masing. Rata-rata mereka hanya menempuh pendidikan sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas. Mereka bukanlah orang-orang yang memiliki keahlian khusus, tak menerima juga pelatihan menyangkut bidang pekerjaan yang mereka terjuni.

Banyak di antara mereka yang tak bisa bernyanyi atau menari, sebagaimana pertama kali saya mengenal mereka. Nyanyian yang saya bawakan, seringkali tak dikenal oleh mereka, karena berasal dari masa lalu dalam tajuk Album Kenangan, baik dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, hingga bahasa Inggris, bahasa India dan bahasa Jepang yang saya kuasai.

Dengan sepenuh hati, saya meminta pihak manajemen yang selama ini meraih keuntungan dari keringat mereka, agar memperhatikan nasib mereka. Jangan sampai mereka berserakan di tempat yang lebih nadir lagi, hanya karena pelanggaran hukum yang dikerjakan oleh segelintir pihak, termasuk saya dan anggota-anggota saya yang kini sedang menata kehidupan bersama-sama.

Saya meminta agar mereka menjadi pihak pertama yang penting diperhatikan masa depannya. Sebagian di antara mereka, saya ketahui sedang menanti putra atau putri mereka keluar dari dalam rahim mereka sendiri atau dari pasangan mereka masing-masing.

Biarlah, dalam perang yang tak berkesudahan ini, nama-nama yang gugur adalah sosok-sosok yang layak gugur, tapi bukan kalangan kawulo dan jelata yang selama inipun berada dalam strata kehidupan paling bawah dalam sektor-sektor informal pekerjaan di bumi manusia.

Sungguh, saya tak punya lagi kata-kata yang bisa untuk ditulis dan ditujukan kepada mereka. Tetapi dengan segenap ketulusan jiwa, saya mengaturkan permohonan kepada pihak yang memiliki kewenangan dan kedudukan di manajemen ataupun pemerintahan; agar menempatkan mereka sebagai prioritas pihak yang wajib diselamatkan. Apapun jalan keluarnya, saya menyerahkan kepada pihak yang terkait.

Saya ungguh puisi yang saya tulis 22 tahun lalu, ketika saya baru mengimajinasikan mereka:

Anak-Anak Malam

Gerbang malam sudah terbuka.

Pentaskan parade lampu-lampu-kupu-kupu.

Adegan gaun-gaun tipis menyembulkan kulit-kulit-paha-paha-payudara-payudara putih di sudut-sudut jalanan.

Jarum jam bergeser ke angka minus.

Lama, kau dan aku menatap sepotong rembulan

Yang berdiam diri di pinggir gelombang

Langit mengerdipkan bintang-bintang dengan nakal

Sunyi menggeser kaki-kaki kursi-kursi untuk saling merapat

Dibelai lembut oleh angin dingin Selatan

Mata kelelawar meneropong gumpalan awan-awan dan asap-asap hitam

Yang berdansa riang dengan burung-burung camar dan ikan-ikan di lautan

Sayap basah dan patah perahu nelayan mengalirkan darah biru ke tengah ombak

Hati kita pun biru dan pucat

Mari kembalikan lautan kepada pantainya

Hujan pada awan

Kelam pada malam

Terang pada rembulan

Di pinggir peradaban ini

Kulihat anak-anak malam berpelukan di lantai dansa

Menggulung aspal dengan keringat hitam

Kepiting-kepiting liar dan tikus-tikus selokan

Menyelusup malu kembali ke liang

Lihat

Gemerlap baju-baju ketat

Dan rambut-rambut lebat bergerak cepat

Menghembuskan nafas-nafas berat

Deru suara mobil dipandang tajam oleh pengemis-pengemis lapar

Dan preman-preman pasar yang keluar dari kolong-kolong jembatan

Dan gudang-gudang kolonial

Mereka menghitung gemerincing logam di kantong-kantong tebal anak-anak malam

Dan beradu pedang melawan waktu yang memburu

Dan anak-anak malam kembali ke gerbang

Di saat orang-orang berlalu-lalang dengan mimpi-mimpi panjang

Tentang anak-anak malam yang terbuang ke lobang kakus kehidupan

Dan anak-anak malam kembali ke kamar

Di saat matahari memancar

Membangunkan orang-orang

Untuk membayar petugas-petugas kebersihan

Yang menggosongkan lobang-lobang kakus yang tersumbat

Dan anak-anak malam

Kembali mendengkur

Di saat orang-orang sibuk menghitung setiap detik waktu

Dengan kalkulator-kalkulator dan komputer-komputer yang disinari matahari terbit di Utara

Dan kita bergandengan tangan

Menelusuri pinggiran peradaban

Dan mencatat langkah-langkah kaki kita yang hilang

Bersama waktu

Lenteng Agung, 12 Maret 1995

Indra J Piliang

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini