Babak Baru Aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi
Semester awal tahun ini mungkin jadi hari-hari yang berat bagi aliansi Perancis–Jepang. Usai Carlos Ghosn, salah satu pemimpin tertinggi mereka, harus mendekam di balik jeruji besi karena perkara keuangan, penjualan dari tiga merek Renault-Nissan-Mitsubishi secara global pun harus menurun di enam bulan pertama tahun 2019.
Ghosn, yang saat ini telah berstatus mantan ketua aliansi, sempat mendorong strategi pertumbuhan yang ambisius. Pada 2017, ia mengumumkan rencana untuk meningkatkan penjualan dari tiga merek menjadi 14 juta mobil pada 2022.
Cari Titik Temu
Dalam aliansi tiga negara, Renault punya posisi lebih strategis ketimbang dua merek Jepang. Kementerian Keuangan Perancis menjadi pemilik saham terbesar Renault dengan porsi 15 persen. Sementara Renault punya 43 persen saham di Nissan. Pada gilirannya saham Renault dimiliki 15 persen oleh Nissan, namun tanpa hak suara, dan Nissan juga memiliki 34 persen saham Mitsubishi.
Usai kasus Ghosn, pabrikan asal Perancis disebut ingin punya kontrol lebih atas kemitraan. Disinyalir Renault berencana merger dengan Fiat Chrysler Automobiles, namun Nissan tidak mengetahuinya. Rencana ini tiba-tiba mengalami gejolak pada Juni lalu, ketika Fiat Chrysler mengeluhkan campur tangan yang dilakukan pemerintah Perancis.Dilansir New York Times, para eksekutif Renault tak kunjung memberi kabar Nissan sampai beberapa hari sebelum potensi kesepakatan diumumkan. Kondisi inilah yang bikin renggang kedua merek, keadaan makin diperkeruh ketika total penjualan dari Renault-Nissan-Mitsubishi mengalami penurunan pada semester I/2019. Pasca matinya kesepakatan Renault dan Fiat Chrysler pada Juni lalu, Renault dan Nissan kembali menekankan pentingnya menyelamatkan kemitraan yang sudah dijalin lama antara keduanya pada Juli 2019. Ketegangan yang sudah berlangsung sejak Mei berangsur hilang. Chairman Renault Jean-Dominique Senard dan Keiko Ihara, anggota dewan independen Nissan, telah melakukan pertemuan. Meski tak secara blak-blakan mengungkap hal tersebut, mereka telah berkomitmen untuk mengubur persaingan lama sehingga dapat menghadapi apa yang menjadi ancaman sebenarnya: persaingan dengan perusahaan teknologi seperti Google ataupun Uber. Mereka berdua mengungkap bahwa hanya dengan menggabungkan kekuatan, Nissan dan Renault dapat melakukan investasi besar yang mereka butuhkan dalam menghadirkan mobil otonom, kendaraan bertenaga baterai, dan teknologi lainnya."Risiko sebenarnya adalah dalam waktu beberapa tahun ke depan kita [aliansi] tidak cukup kuat untuk menghasilkan arus kas yang cukup untuk apa yang kita percaya merupakan arah dari mobilitas di masa depan," tutur Senard. Baca juga: Bisakah Mitsubishi Berbalik Menolong Nissan? Sebelum kasus Renault dan Fiat Chrysler, gejala merenggangnya hubungan antara Renault dan Nissan sesungguhnya sudah tercium ketika kedua perusahaan berdebat perihal rencana untuk membentuk komite dalam dewan direksi Nissan. Komite ini disebut akan mengawasi penunjukan manajer dan memeriksa keuangan perusahaan asal Jepang itu. Senard disebut mengancam akan menggunakan saham Renault di Nissan untuk melakukan sejumlah perubahan, kecuali jika perusahaan menyertakan dia dan Chief Executive Renault Thierry Bollore ke dalam komite itu. Nissan pun menyetujui tuntutan tersebut, namun ketegangan masih bisa dirasakan. Suasana internal aliansi tersebut juga masih tampak suram. Banyak proyek aliansi tersebut terhenti sejak penggulingan Ghosn. CEO Nissan Hiroto Saikawa pernah mengatakan bahwa pihaknya menginginkan hubungan yang lebih setara dengan Renault. Perselisihan yang diakibatkan penunjukan komite-komite tata kelola baru pada Juni lalu menurutnya terjadi karena ada ketidakseimbangan hubungan dalam aliansi tersebut. "Kami ingin hubungan win-win dengan Renault. Aliansi ini telah berhasil sampai sekarang karena kami saling menghormati kemerdekaan satu sama lain,” terang Saikawa kepada Reuters.Kontribusi Mitsubishi
Aliansi Perancis–Jepang bermula ketika Renault dan Nissan bergabung pada tahun 1999. Kedua perusahaan mobil dengan karakter yang kuat namun berbeda ini punya jejak geografis yang unik. Nissan kuat di AS dan Asia, sementara Renault di Eropa dan Amerika Selatan.
Mereka kini mengembangkan mesin dan platform yang sama untuk sebuah mobil yang berbeda agar menghemat biaya. Sementara Mitsubishi yang bergabung sejak 2016, juga bisa mendapat akses ke produk Nissan ataupun Renault. Mitsubishi sendiri belakangan memiliki kekuatan pada kendaraan plug-in hybrid, sementara Nissan memimpin dalam penjualan electric vehicle di dunia. Ada ruang untuk kerja sama di sana, masing-masing bisa saling mengisi celah atau berbagi pengetahuan.CEO Mitsubishi Motors Corporation (MMC) Osamu Masuko mengatakan, pihaknya semakin tak diuntungkan dengan menegangnya hubungan antara Renault dan Nissan yang membuat Mitsubishi berada pada posisi 'sensitif.' Padahal, sebagai mitra terkecil, Mitsubishi butuh penjualan dan teknologi yang lebih mumpuni agar dapat punya daya tawar menarik di aliansi.Video Test Drive Nissan Livina: