Babak Baru Aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi

11 August 2019 - by

Semester awal tahun ini mungkin jadi hari-hari yang berat bagi aliansi Perancis–Jepang. Usai Carlos Ghosn, salah satu pemimpin tertinggi mereka, harus mendekam di balik jeruji besi karena perkara keuangan, penjualan dari tiga merek Renault-Nissan-Mitsubishi secara global pun harus menurun di enam bulan pertama tahun 2019.

Ghosn, yang saat ini telah berstatus mantan ketua aliansi, sempat mendorong strategi pertumbuhan yang ambisius. Pada 2017, ia mengumumkan rencana untuk meningkatkan penjualan dari tiga merek menjadi 14 juta mobil pada 2022.

Advertising
Advertising

Namun, ia malah ditangkap di Tokyo November lalu dengan tuduhan membuat laporan keuangan palsu. Ghosn menyangkal semua tuduhan yang ditujukan padanya, dan kasus ini masih tertunda untuk sementara waktu.

Kondisi terbaru yang dialami aliansi sedikit banyak memberikan gangguan pada kemitraan. Nissan, misalnya, tengah mengalami penurunan kinerja di AS ataupun di beberapa negara berkembang yang merupakan pasar terbesarnya.

Produsen mobil yang berbasis di Yokohama, Jepang, ini pun telah mengumumkan mengalami penurunan laba pada kuartal I/2019 dan akan melakukan PHK terhadap 12.500 pekerja di seluruh dunia sampai Maret 2023.

Sementara Renault secara global mengalami penurunan penjualan sebanyak 6,7 persen pada semester I/2019 menjadi 1,9 juta kendaraan, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

Mitsubishi mungkin jadi satu-satunya pabrikan yang punya kabar gembira. Penjualan pada periode Januari - Juni 2019 di kawasan Amerika mencapai 71.097 kendaraan, atau meningkat 5,6 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Asia Nikkei melaporkan, pada periode Januari sampai Juni kemarin total penjualan aliansi ini hanya meraih 5,21 juta unit. Hasil ini berada di bawah Volkswagen Group yang memuncaki daftar aliansi terlaris dengan 5,37 juta kendaraan, dan Toyota Motor yang meraih 5,31 juta.

Padahal di sepanjang 2018, Renault-Nissan-Mitsubishi pernah merasakan manisnya kemitraan mereka dengan mencetak penjualan 10,76 juta kendaraan ringan. Aliansi ini mengalahkan pesaing terdekat VW Group dan Toyota Motor jika penjualan truk berat tidak termasuk dalam hasil penjualan mereka.

Dilansir Automotive News, penjualan tiga merek kala itu disokong oleh Nissan yang berhasil menjual 5,65 juta kendaraan, Mitsubishi dengan 1,22 juta kendaraan, dan Renault yang mendapat 3,88 juta kendaraan.

Baca juga: Nasib Nissan Kini: Penjualan Anjlok, Kalah Saing dari Merek Cina

 

Cari Titik Temu

Dalam aliansi tiga negara, Renault punya posisi lebih strategis ketimbang dua merek Jepang. Kementerian Keuangan Perancis menjadi pemilik saham terbesar Renault dengan porsi 15 persen. Sementara Renault punya 43 persen saham di Nissan. Pada gilirannya saham Renault dimiliki 15 persen oleh Nissan, namun tanpa hak suara, dan Nissan juga memiliki 34 persen saham Mitsubishi.

Usai kasus Ghosn, pabrikan asal Perancis disebut ingin punya kontrol lebih atas kemitraan. Disinyalir Renault berencana merger dengan Fiat Chrysler Automobiles, namun Nissan tidak mengetahuinya. Rencana ini tiba-tiba mengalami gejolak pada Juni lalu, ketika Fiat Chrysler mengeluhkan campur tangan yang dilakukan pemerintah Perancis.

Dilansir New York Times, para eksekutif Renault tak kunjung memberi kabar Nissan sampai beberapa hari sebelum potensi kesepakatan diumumkan. Kondisi inilah yang bikin renggang kedua merek, keadaan makin diperkeruh ketika total penjualan dari Renault-Nissan-Mitsubishi mengalami penurunan pada semester I/2019. 

Pasca matinya kesepakatan Renault dan Fiat Chrysler pada Juni lalu, Renault dan Nissan kembali menekankan pentingnya menyelamatkan kemitraan yang sudah dijalin lama antara keduanya pada Juli 2019. Ketegangan yang sudah berlangsung sejak Mei berangsur hilang.

Chairman Renault Jean-Dominique Senard dan Keiko Ihara, anggota dewan independen Nissan, telah melakukan pertemuan. Meski tak secara blak-blakan mengungkap hal tersebut, mereka telah berkomitmen untuk mengubur persaingan lama sehingga dapat menghadapi apa yang menjadi ancaman sebenarnya: persaingan dengan perusahaan teknologi seperti Google ataupun Uber.

Mereka berdua mengungkap bahwa hanya dengan menggabungkan kekuatan, Nissan dan Renault dapat melakukan investasi besar yang mereka butuhkan dalam menghadirkan mobil otonom, kendaraan bertenaga baterai, dan teknologi lainnya.

"Risiko sebenarnya adalah dalam waktu beberapa tahun ke depan kita [aliansi] tidak cukup kuat untuk menghasilkan arus kas yang cukup untuk apa yang kita percaya merupakan arah dari mobilitas di masa depan," tutur Senard.

Baca juga: Bisakah Mitsubishi Berbalik Menolong Nissan?

Sebelum kasus Renault dan Fiat Chrysler, gejala merenggangnya hubungan antara Renault dan Nissan sesungguhnya sudah tercium ketika kedua perusahaan berdebat perihal rencana untuk membentuk komite dalam dewan direksi Nissan. Komite ini disebut akan mengawasi penunjukan manajer dan memeriksa keuangan perusahaan asal Jepang itu.

Senard disebut mengancam akan menggunakan saham Renault di Nissan untuk melakukan sejumlah perubahan, kecuali jika perusahaan menyertakan dia dan Chief Executive Renault Thierry Bollore ke dalam komite itu.

Nissan pun menyetujui tuntutan tersebut, namun ketegangan masih bisa dirasakan. Suasana internal aliansi tersebut juga masih tampak suram. Banyak proyek aliansi tersebut terhenti sejak penggulingan Ghosn.

CEO Nissan Hiroto Saikawa pernah mengatakan bahwa pihaknya menginginkan hubungan yang lebih setara dengan Renault. Perselisihan yang diakibatkan penunjukan komite-komite tata kelola baru pada Juni lalu menurutnya terjadi karena ada ketidakseimbangan hubungan dalam aliansi tersebut.

"Kami ingin hubungan win-win dengan Renault. Aliansi ini telah berhasil sampai sekarang karena kami saling menghormati kemerdekaan satu sama lain,” terang Saikawa kepada Reuters.

Kontribusi Mitsubishi

Aliansi Perancis–Jepang bermula ketika Renault dan Nissan bergabung pada tahun 1999. Kedua perusahaan mobil dengan karakter yang kuat namun berbeda ini punya jejak geografis yang unik. Nissan kuat di AS dan Asia, sementara Renault di Eropa dan Amerika Selatan.

Mereka kini mengembangkan mesin dan platform yang sama untuk sebuah mobil yang berbeda agar menghemat biaya. Sementara Mitsubishi yang bergabung sejak 2016, juga bisa mendapat akses ke produk Nissan ataupun Renault.

Mitsubishi sendiri belakangan memiliki kekuatan pada kendaraan plug-in hybrid, sementara Nissan memimpin dalam penjualan electric vehicle di dunia. Ada ruang untuk kerja sama di sana, masing-masing bisa saling mengisi celah atau berbagi pengetahuan.

CEO Mitsubishi Motors Corporation (MMC) Osamu Masuko mengatakan, pihaknya semakin tak diuntungkan dengan menegangnya hubungan antara Renault dan Nissan yang membuat Mitsubishi berada pada posisi 'sensitif.' Padahal, sebagai mitra terkecil, Mitsubishi butuh penjualan dan teknologi yang lebih mumpuni agar dapat punya daya tawar menarik di aliansi.

Kepada Automotive News, Masuko berujar jika bekerja sama dengan Renault dan Nissan memang membantu Mitsubishi memangkas biaya, berbagi investasi, dan meningkatkan penjualan produknya. "Untuk kemajuan teknologi, saya pikir aliansi akan memberi manfaat bagi kita," ujarnya.

Pendekatan baru yang akan dilakukan Mitsubishi di era Masuko adalah dengan mengubah cita-cita bisnisnya, yang sebelumnya mengharapkan ekspansi volume cepat seperti keinginan Ghosn, menjadi fokus pada pertumbuhan yang stabil dengan fokus di pasar yang sudah jelas potensinya.

Konsep yang ia beri nama 'kecil tapi indah' inilah yang akan menurutnya akan memberikan kontribusi lebih banyak kepada aliansi. Kepada pemegang saham, Masuko juga mengatakan bakal fokus meningkatkan profitabilitas yang berkelanjutan.

"Daripada terburu-buru mengejar ekspansi, saya yakin bahwa mengejar keseimbangan yang baik antara investasi dan pertumbuhan yang sehat adalah pilihan terbaik bagi kita," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait MITSUBISHI atau tulisan menarik lainnya Dio Dananjaya

Video Test Drive Nissan Livina: