Jadi CEO Startup Harus Jago Storytelling?

26 September 2022 - by

Kolom oleh: Direktur Bisnis Telkom Indonesia, M. Fajrin Rasyid.

Uzone.id -- Semua mungkin masih ingat saat nama Elizabeth Holmes melejit dan melihatnya muncul di berbagai acara TV, berbincang dengan host kondang dan pemimpin negara, menjadi sampul di majalah bergengsi, hingga mampu menggaet investor sederajat Rupert Murdoch. Sebagai CEO Theranos kala itu, ia memang pandai bercerita.

Advertising
Advertising

Nasib Holmes kebetulan berakhir miris dan menggemparkan Silicon Valley di tahun 2015 karena ternyata teknologi kesehatan yang digunakan Theranos hanya tipuan belaka. Theranos pun dianggap sebagai unicorn yang runtuh.

Terlepas skandal Theranos, Holmes adalah satu dari sekian banyak contoh pemimpin startup yang paham betul tentang bagaimana ‘jualan’ produknya, baik di depan calon investor maupun di publik. Mendiang Steve Jobs pun melakukan hal yang sama – ia begitu lihai menguasai panggung Apple Event seorang diri untuk memperkenalkan iPhone pertama kali di tahun 2007.

Setidaknya, dari persona seorang CEO startup, perannya tak hanya mematangkan visi, menentukan pasar dan pengembangan produk, hingga melakukan keputusan besar terhadap proses bisnis, namun ternyata juga harus jago storytelling.

Baca juga: Work-Life Balance di Startup Bukan Mitos, kok!

Storytelling atau bercerita tentang alasan kenapa membuat produk atau solusi tersebut, hingga bercerita tentang semangat dan hal apapun yang dapat menggugah para investor bahwa startup ini bukan kaleng-kaleng.

Oleh karena itu, storytelling penting sekali untung dimiliki oleh seorang pemimpin perusahaan, terlebih seorang startup. Hal ini karena startup memerlukan dukungan dari berbagai pihak yang penting bagi kelangsungan startup tersebut.

Sebagai contoh, investor akan lebih berpeluang untuk menanamkan investasi ketika ceo startup dapat menceritakan visi yang jelas akan startup yang dibangun.

Ilustrasi: Unsplash

 

Contoh lain, programmer dan pakar lainnya akan tertarik untuk mendukung startup tersebut karena sebagian dari mereka juga mencari startup yang dapat menghasilkan impact atau align dengan visi pribadi mereka. Hal ini tidak lain memerlukan kemampuan storytelling.

Dalam mengembangkan storytelling, kita perlu berlatih dengan rutin. Cara paling gampang adalah dengan mengundang teman atau sahabat ketika kita melakukan presentasi dan tanyakan feedback mereka. Apakah mereka tergugah atau biasa saja? Apa yang perlu ditingkatkan dari presentasi kita?

Baca juga: Teknologi Perekrutan Karyawan, dari Keamanan Data hingga Metaverse?

Analogi yang mirip adalah seperti menonton film. Ada alur cerita yang menarik dengan beberapa bagian seperti awal, pengembangan, klimaks, dan penyelesaian. Dalam melaksanakan presentasi, kita juga dapat mengikuti alur ini.

Yang perlu diingat, storytelling bukanlah mengarang cerita yang mengada-ada apalagi berbohong. Ibarat sebuah produk di toko, storytelling adalah mengemas visi kita dan startup kita di dalam kemasan yang menarik yang mengundang orang untuk membeli.

Tentu, yang membuat orang untuk kembali dan membeli lagi adalah konten dari produk tersebut. Jadi, baik storytelling maupun produk itu sendiri merupakan kedua hal yang tidak terpisahkan dan perlu sama-sama dikembangkan ke depannya.

Selamat merangkai cerita!