Menilik Kesiapan Indonesia Sambut Era Digital

31 March 2017 - by

Maraknya perkembangan teknologi informasi dan penggunaan internet memang tak terelakkan. Selain sisi positif, kondisi ini tentu juga memunculkan dampak negatif. Bagaimana menyikapinya?

Menjawab tantangan ini, Harian Republika, Sinarmas Land, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menggelar acara 'Rembuk Republik' dengan tema Siapkah Indonesia Menghadapi Era Digital?, Kamis 30 Maret 2017.

Acara yang digelar di auditorium Green Office Park 9, Sinarmas Land Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangarepan, pemimpin perusahaan dan aplikasi digital, pakar marketing, kalangan media, serta masyarakat umum.

Selain Semuel yang bertindak selaku keynote speaker, pembicara yang tampil antara lain pakar marketing Kafi Kurnia, CEO Rumah Zakat Nur Efendi, CEO Amartha Finance Andi Taufan Garuda Putra, Virtual Store GM Alfamart Viendra Primadia, dan Project Leader Digital Hub BSD City Irawan Harahap.

Dalam sambutannya, tanpa basa-basi Semuel langsung menyebut Indonesia siap menuju era digital. Menurutnya, era digital berkaitan dengan ekonomi kreatif. Dan Indonesia punya modal untuk itu.

“Secara market kita siap. Secara teknologi kita juga siap, karena ini bukan teknologi yang tak bisa kita pelajari. Ini adalah teknologi terbuka, dan secara sumber daya manusia (SDM) kita punya,” ujarnya.

Dalam ekonomi digital, kata dia, dimana ada permasalahan di situ ada peluang. Mereka yang kreatif akan melihat masalah sebagai peluang. Orang sukses, jika melihat masalah, langsung mencari solusinya. Contohnya GoJek, yang kini valuasinya mencapai Rp 17 triliun.

Platform ini dibuat oleh anak muda. Idenya sederhana. Dia pengguna ojek, merasa kurang puas dengan layanan ojek, lalu membuat aplikasi ojek online," tuturnya. Demikian pula dengan startup seperti Bukalapak, Tokopedia, dan lainnya.

Sumber: APJII

Semuel mengungkapkan, saat ini sekitar 50 persen penduduk Indonesia sudah melek internet. Jumlahnya mencapai 132 juta. Padahal, pada 2010, pengguna internet di Indonesia hanya 42 juta pengguna. Dalam enam tahun jumlahnya melonjak tiga kali lipat.

Menurut Semuel, Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa merupakan modal besar. Dengan begitu, pola pikir bangsa Indonesia pun beragam. “Kita bisa mencari solusi-solusi terbaik kalau kita bisa mengelola keberagaman ini,” imbuhnya.

Lantas apa yang akan dilakukan pemerintah? Pemerintah--dalam hal ini Kominfo, kata dia, mempunyai empat tugas penting.

Pertama, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah pedesaan. Kedua, meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar internasional. Ketiga, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Keempat, mewujudkan kemandirian ekonomi.

“Hal itu diwujudkan dengan membangun 1.000 teknopreneur baru, program 1 juta domain yang mengajak semua lapisan masyarakat untuk masuk ke dunia digital, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) go digital,” papar Semuel.

Pemerintah juga akan membuat program desa terpadu, dengan membangun layanan-layanan internet di daerah. Targetnya akan dibangun layanan internet di 5.000 daerah blank spot. Dengan begitu, desa-desa akan terkoneksi dengan internet.

Selain itu, Semuel menambahkan, pemerintah juga akan menciptakan e-gov. Layanan ini tidak hanya terkait dengan cara pemerintah melayani publik, tapi juga menyiapkan perangkat untuk mengatur ekonomi digital.

Sumber: APJII

Siap atau tidak?

Pakar marketing Kafi Kurnia tak sependapat dengan apa yang dikatakan Semuel. Menurutnya, Indonesia belum siap menghadapi era digital. Internet di Indonesia (ekonomi digital) tak ubahnya jalan raya macet yang dijejali sekian banyak kendaraan.

“Yang punya jalan pemerintah, nah kita itu di atasnya jalan. Yakni pengguna kendaraan yang terjebak macet. Sudahlah kagak ada jalan, kita padatin. Inilah realita dunia internet di Indonesia,” sindirnya.

Namun Kafi tak menampik jika melihat potensi ekonomi digital di negeri ini sangat besar. Karenanya, ia menyarankan agar pemerintah tak usah sibuk mengurusi jalan tol, tapi mengurusi jalan internet.

Ia mencontohkan, dalam setahun internet di kantornya mati selama 3 bulan alias 90 hari. “Sudah mahal dan lama, banyak gangguan pula. Mbok ya kalau mau matikan internet permisi dulu.”

Dalam hal ini, kata dia, Perusahaan Listrik Negara (PLN) jauh lebih sopan ketimbang penyedia layanan internet.

“PLN kalau mau matikan lampu, ngomong dulu 'besok akan mati lampu'. Tukang internet kagak, tiba-tiba mati aja. Kalau kita telepon, jawabannya standar, ada gangguan di network. Ditanya kapan selesai, jawabannya 'kurang paham, Mas',” tuturnya disambut riuh gelak hadirin.

Internet marketing itu, menurut Kafi, tak ubahnya menambang emas. Sebanyak 97 persen orang fokus menggantang 99 persen debu atau kotoran dan komplain terus-menerus. Hanya 3 persen yang fokus menambang 1 persen emas dan terus menambang. "Makanya kalau dibilang kita siap (era digital), bohong itu!" ia menandaskan.

Sumber: APJII

Sementara itu, Efendi lebih membahas tentang teknologi digital sebagai daya dorong filantropi. Dunia digital, menurutnya, telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Gaya hidup ini memunculkan inovasi dan kolaborasi dalam diri manusia, termasuk dalam filantropi.

Crowd funding adalah satu cara mengajak keterlibatan masyarakat dalam filantropi maupun membiayai program-program lembaga yang ia pimpin. "Ada sekitar Rp 73,2 triliun dana yang terkumpul sejak 2015 dari crowd funding,” ungkapnya.

Ia mengatakan, ketika masyarakat digempur oleh perubahan sosial yang cepat, maka kebutuhan spiritual akan meningkat. Di internet, ada begitu banyak kajian keislaman yang bisa dibaca oleh masyarakat. Demikian pula di telepon genggam cerdas (smartphone).

“Ini yang menjadi momentum bagi kita di lembaga filantropi, dalam hal ini lembaga amil zakat. Karenanya, yang paling penting adalah menjaga awareness lembaga amil zakat pada dunia digital.”

Karenanya, sambung Efendi, pihaknya perlu berintegrasi dengan financial technology atau fintech. Terutama terkait dengan pembayaran zakat dan pajak. Jika keduanya bisa terintegrasi, maka ia yakin pendapatan dari dua sektor ini akan naik.

Startup

Taufan pendiri Amartha Finance, yakni lembaga keuangan peer to peer lending, yang mempertemukan para pemberi pinjaman (investor) dengan para pencari pinjaman (borrower) jadi satu, siap menyambut era digital.

Apa yang dilakukan lembaganya merupakan salah satu bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat secara digital. “Kami memberdayakan sektor ekonomi informal agar tumbuh dan berakselerasi lebih cepat lagi dengan partisipasi publik yang lebih luas,” jelasnya.

Ia prihatin dengan terbatasnya akses orang-orang pinggiran terhadap lembaga perbankan. Dalam perhitungannya, hampir 100 juta lebih warga Indonesia tidak memiliki akses ke bank. “Mereka masih bertransaksi menggunakan uang tunai. Inilah yang kita sasar," ujarnya.

Minimnya akses warga ke perbankan ini, menurut Taufan, menjadi salah satu tantangan dalam menghadapi ekonomi digital.

Hal lain yang jadi perhatian Amartha Finance selain minimnya akses bank adalah kesulitan mencari investor bagi pengusaha mikro di daerah. Menurut Taufan, mereka adalah orang-orang jujur dan amanah, namun susah mendapatkan pinjaman. Karenanya, ia mencoba membantu mereka.

Pihaknya ingin menunjukkan kepada publik bahwa para pengusaha mikro bisa dibantu tanpa melihat apakah mereka punya aset atau tidak. Lembaganya ingin menjangkau mereka agar mendapatkan modal dari masyarakat luas.

“Kita bisa menjamin bahwa mereka yang meminjam ini adalah orang-orang yang bisa dipercaya, karena ada partisipasi kelompok di situ," tandasnya.

Sumber: APJII

Inovasi digital

Sebagai salah satu toko retail besar di Indonesia, Alfamart mau tak mau juga harus mengikuti kemajuan teknologi. Jaringan waralaba yang ada di tiap tikungan jalan ini pun mencoba menerapkan teknologi digital dalam melayani konsumen.

"Inovasi adalah salah satu cara mempertahankan agar perusahaan ini tetap hidup," ujar Viendra. "Dengan teknologi, kita masuk ke era e-commerce melalui Alfa Online."

Ia menuturkan, sejak 2015 Alfa Online menjadi Alfa Card, dan kini menjadi Alfamind yang merupakan kombinasi dari toko offline dan online. Alfamind didukung oleh augmented reality dan virtual reality. Teknologi ini membawa apa yang ada di dunia maya ke dunia nyata, dan sebaliknya. Tak ubahnya teknologi yang dipakai dalam game Pokemon Go.

Di Alfamind, konsumen akan aktif sebagai pemilik toko dalam bentuk virtual. "Jadi toko virtualnya ada di tiap handphone Anda. Tokonya sudah masuk dalam rumah Anda," kata Viendra.

Dengan demikian, pemilik toko virtual ini bisa membawa tokonya kemana saja, dan dapat menawarkan barang dagangannya ke siapa saja dan kapan saja.

Syarat memiliki toko virtual Alfamind tidak sulit. Yang penting Anda memiliki smartphone yang berbasis Android. Setelah itu, Anda mengunduh aplikasi Alfamind di GooglePlay, serta mengikut petunjuk yang ada. Modalnya pun cukup murah.

"Hanya dengan modal Rp 100 ribu, Anda sudah memiliki toko dengan segudang barang yang dapat dijual," terang Viendra.

Alfamind, ia menegaskan, hadir dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan orang-orang untuk menjadi enterpreneur. Juga memperkuat UMKM.

Sumber: APJII

Kota digital

Sinarmas Land Group sebagai pemilik kompleks properti Bumi Serpong Damai (BSD), tak mau ketinggalan dalam menghadapi dunia digital.

"Kami menstranformasikan BSD City sebagai satu kota digital yang terintegrasi. Caranya dengan membuat komunitas digital, membangun startup, serta membangun Digital Hub," papar Irawan.

Digital Hub merupakan sebuah inovasi untuk menjawab kebutuhan masyarakat di era teknologi digital. Nantinya, kata dia, proyek ini didukung dengan infrastruktur teknologi, fasilitas lengkap, lokasi yang strategis, dan kemudahan akses.

Pembangunan Digital Hub ini melibatkan arsitek dari Amerika yang juga membangun kantor pusat Facebook dan Google. Konsep pusat kreatif berbasis teknologi ini laiknya Silicon Valley di California, Amerika Serikat. Kawasan pusat teknologi ini akan menghubungkan berbagai universitas, pusat bisnis dan perusahaan teknologi yang berbasis di BSD City, sehingga tercipta sebuah ekosistem digital city.

Selain itu, Sinarmas Land membuat aplikasi One Smile yang terkait dengan pengelolaan kota dan hubungan antar warga. Melalui aplikasi ini warga BSD dapat memantau berbagai kondisi kotanya, melakukan pembayaran iuran pemeliharaan lingkungan, pemesanan restoran, tiket bioskop, dan lain-lain.

"Kami siap menjawab tantangan dengan membangun Digital Hub untuk menjadikan BSD City sebagai pioner smart digital city di Indonesia,” kata Irawan.

Sumber: Kemkominfo

Transformasi digital di Indonesia melibatkan tiga komponen, yakni masyarakat, dunia bisnis, dan pemerintah. Dengan teknologi digital, kata Semuel, diharapkan masyarakat akan menjadi warga yang berbasis pengetahuan.

Karenanya, dalam transformasi digital ini dibutuhkan tata kelola. Semua stakeholder harus terlibat. Internet tak hanya urusan pemerintah, tapi juga urusan perguruan tinggi, civil society, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat teknik.

"Bicara soal internet, tak hanya melulu soal teknologi, tapi juga bagaimana sosial budayanya. Karenanya perlu infrastruktur dengan empat karakter; kuat (secure), dipercaya (trusted), berintegritas (integrity), dan aman (safe),” papar Semuel.

Dalam menghadapi era digital ini, pemerintah menyiapkan paket ekonomi khusus yang disebut "Paket Kebijakan Ekonomi XIV". Isinya antara lain, pemerintah mempermudah akses pendanaan, perlindungan konsumen, insentif pajak, peningkatan kemampuan sumberdaya, mempermudah logistik, pembangunan infrastruktur di daerah, dan keamanan siber.

"Semua ini dilakukan atau dibangun untuk menjadikan Indonesia sebagai pelaku ekonomi digital, bukan sebagai pangsa pasar. Jangan sampai keuntungan diambil oleh orang-orang yang berada di luar Indonesia," pungkasnya.*