Mengurai Jejaring Muslim Cyber Army

15 March 2018 - by

“Saya mengakui telah menyesal. Teman-teman di atas tadi (para anggota MCA yang ditangkap) juga sepakat mengakui (menyesal)...”

Ucapan penyesalan itu disampaikan Muhammad Luth, salah satu anggota jaringan penyebar hoaks The Family of MCA kepada media di kantor Bareskrim Polri, Rabu (28/2).

Mengenakan penutup muka, Luth mewakili kelima rekannya meminta maaf kepada publik Indonesia. Mereka tahu mereka salah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan menyebarkan hoaks.

Luth dan kawan-kawannya boleh saja menyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Mereka mesti mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, yakni memproduksi dan menyebar hoaks, di meja hijau alias pengadilan.

Dua hari sebelum “pengakuan dosa” itu, Senin (26/2), Kepolisian meringkus lima anggota inti jaringan Muslim Cyber Army yang tergabung ke dalam kelompok The Family of MCA di lima kota berbeda. 

Penangkapan tersebut merupakan respons Kepolisian atas merebaknya berbagai hoaks. “Kelompok ini bertanggung jawab atas provokasi isu-isu negatif seperti kebangkitan PKI, penganiayaan ulama, dan hujatan kepada pemimpin negara,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, M Iqbal.

Penangkapan enam pengendali akun jaringan MCA bukanlah akhir dari upaya pemberantasan hoaks yang dilakukan aparat Kepolisian. Kepala Satuan Tugas Nusantara Polri, Irjen Gatot Eddy Pramono, menyatakan pihaknya masih melacak aliran dana di balik aktivitas jaringan MCA.

Muslim Cyber Army bukan nama asing di telinga warganet Indonesia. Ia sudah mencuat di tengah panasnya momen Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam pertarungan politik kala itu, jaringan MCA dianggap punya peran penting dalam kampanye anti-Ahok di media sosial. Kampanye itu berujung kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Atas peran mereka itulah, pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab, dalam pidatonya di Sentul (21/4/17) menyampaikan rasa terima kasihnya kepada MCA yang telah berjasa mengalahkan Ahok dalam Pilkada Jakarta.

Salah satu tokoh FPI, Habib Novel Bamukmin, tak memungkiri Pilkada Jakarta 2017 adalah tonggak dimulainya sepak terjang Muslim Cyber Army. Menurutnya, MCA lahir setelah Gerakan 411 atas dasar keprihatinan umat Islam atas ketidakadilan informasi.

Lebih tepatnya, kata Habib Novel, “MCA lahir untuk melawan Jasmev.”

Jasmev yang ia maksud itu ialah Jokowi-Ahok Social Media Volunteer. Organisasi itu, menurutnya, telah sering menipu umat Islam dengan dalil pembenaran memilih pemimpin non-muslim, juga menyebut Ahok bukan penista agama.

“Di situlah MCA hadir,” kata dia kepada kumparan di Jakarta, Selasa (6/3).

Ismail Fahmi, pakar media sosial dan pendiri Media Kernels Indonesia, melihat kelahiran MCA tak lepas dari momentum Pilkada DKI Jakarta 2017. Menurutnya, momen penting yang melatarbelakangi aktivitas MCA adalah seruan perang siber yang dilontarkan Rizieq Shihab usai Aksi Bela Islam 212.

“FPI dan Habib Rizieq menjadi (aktor) sentral yang menyatukan semua organisasi yang punya semangat sama. Nah, setelah 212, baru Habib Rizieq menyerukan aksi untuk perang siber. Itu sudah cukup,” kata Ismail di kediamannya, Jakarta Selatan, Jumat (9/3)

Penelusuran soal riwayat MCA juga dilakukan aktivis SAFEnet, Damar Juniarto. Ia menemukan, MCA sebetulnya telah ada sebelum 2014. Namun, berbeda dengan MCA yang belakangan populer, MCA yang dimaksud Damar sudah tak lagi beraktivitas di jagat maya sejak 2014.

MCA lama lebih banyak bergiat di seputar isu Islam internasional. “Gagasan MCA ini adalah tentang isu Palestina sampai penindasan Amerika terhadap masyarakat Islam,” kata Damar, Kamis (8/3).

Namun belakangan, nama MCA kembali mencuat sebagai respons atas munculnya Cyber Troops Jasmev. Menurut Damar, momen politik gerakan Aksi Bela Islam 212 menjadi tonggak penting yang menandai dimulainya aktivitas MCA baru.

Sejak saat itu, aktivitas MCA terkait erat dengan kepentingan politik nasional. “Pada akhir 2016, tepatnya 13 Desember, nama MCA dicatut dan digunakan sebagai ‘payung’ di media sosial untuk melawan Jasmev.”

Praktis sejak saat itu, dimulailah perang opini di media sosial antara MCA dan pendukung pemerintah. Perang yang tampaknya tak kunjung menemui akhir, setidaknya dalam waktu dekat, seiring akan dimulainya perhelatan politik besar, Pemilu Presiden 2019.

Satu hal yang perlu disigi lebih dalam soal MCA adalah struktur mereka. Apakah mereka itu organisasi, jaringan, gerakan, atau malah ketiganya.

Ucapan di atas keluar dari mulut Habib Novel Bamukmin ketika ditanya soal MCA. Dari kalimat itu, tujuan MCA justru untuk melawan hoaks, tepatnya hoaks versi penguasa. Karena, kata Habib Novel, “mereka (penguasa) kan semboyannya sudah hoaks membangun.”

MCA, kata Habib Novel, tidak mungkin menyebar hoaks. “Haram MCA menyebarkan kebohongan atau kedustaan, karena MCA itu dakwah dengan nilai-nilai Islam.” 

Jadi, menurutnya, anggota MCA yang ditangkap polisi belakangan ini bukan dari MCA yang sebenarnya. Sebab MCA adalah gerakan, bukan organisasi. “Itu rekayasa, seperti Saracen.” kata Habib Novel.

Sementara Ismail Fahmi melihat bahwa MCA bukanlah organisasi, melainkan sudah menjadi gerakan. Gerakan dengan simpul jaringan yang beragam. “MCA itu sebetulnya memang tidak terlalu terstruktur. Dia dibangkitkan oleh semangat.”

Semangat ini, menurutnya, berpusat pada sosok Rizieq Shihab dan FPI selaku dua aktor politik yang berhasil mengumpulkan ribuan orang dalam beberapa gelombang Aksi Bela Islam akhir tahun lalu.

Ismail lantas memberi contoh pentingnya sosok Rizieq Shihab dalam gerakan ini. Dua hari jaringan The Family of MCA terbongkar, Rizieq Shihab melalui akun Twitter-nya, menyerukan dari Saudi agar Muslim Cyber Army terus menggemakan kebenaran.

Dalam cuitannya itu pula Rizieq seolah mengingatkan, MCA ada bukan untuk membuat hoaks, tapi justru untuk melawannya.

Menurut Ismail, seruan Rizieq itu berhasil membangkitkan kembali moral aktivis maupun simpatisan MCA. Ini dibuktikan dengan peningkatan percakapan aktivis MCA di Twitter. Padahal sehari sebelumnya, banyak akun-akun terkait MCA sibuk berganti nama demi menghindari pantauan aparat Kepolisian.

Serupa pantauan Ismail, satu hari setelah polisi menangkap admin The Family of MCA, Damar Juniarto pun melihat beberapa grup di Facebook maupun Twitter yang berafiliasi dengan MCA ramai-ramai mengganti nama akun mereka. Misalnya, akun Facebook Srikandi MCA berganti nama menjadi Indonesia Bangkit, dan akun Twitter Cyber Muslim Army berubah menjadi Anonymous.

Gerakan MCA di media sosial, kata Ismail, tak terlalu membutuhkan suntikan dana, sebab sudah digerakkan oleh kesamaan ideologi para aktivisnya.

Argumen itu dibuktikan lewat pantauannya di mesin analisis Drone Emprit. Di situ, terlihat bahwa sejak momen Pilkada Jakarta 2017 sampai sekarang, grafik aktivitas MCA besarannya tetap sama.

Paling penting, ujar Ismail, akun-akun MCA yang beraktivitas di Twitter dalam intensitas interaksi tinggi, digerakkan oleh akun-akun organik.   

Sementara aktivis SAFEnet Damar Juniarto melihat MCA sebagai jaringan yang terbagi ke dalam beberapa kluster. Kluster-kluster ini, menurutnya, punya kepentingan berbeda. Tapi dalam isu-isu tertentu, kepentingan mereka bisa saja sama.

Pola jaringan itu ia sebut kolektif. Berdasarkan amatan Damar, MCA terbagi menjadi 4 kluster besar, dengan kategorisasi per kluster dibuat berdasarkan persamaan ideologi atau kepentingan--yang dapat ditilik melalui kesaman hashtag.

Kategorisasi tersebut juga disusun dengan mempertimbangkan keterlibatan masing-masing akun di tiap kluster dalam mendorong aksi doxing (melacak dan menguak identitas dan privasi seseorang) serta persekusi. 

Selain punya kapasitas untuk melakukan doxing, mereka juga punya seperangkat kemampuan untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian, mencuatkan suatu isu menjadi trending topic, memblokir akun, serta mengakusisi akun lawan. 

Skill set ini tidak mungkin dimiliki warga biasa, tapi pasti orang-orang yang sudah dilatih melalui training tertentu sehingga mereka mampu memiliki keahlian seperti ini.”

Empat kluster yang disebutkan Damar itu ialah: pertama, kluster yang berhubungan erat dengan Rizieq Shihab dan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI).

Kedua, kluster MCA Al-Fath yang menurut Damar punya struktur paling rapi, mulai dari penggunaan bot untuk mengeskalasi isu menjadi trending topic, sampai punya cabang di beberapa daerah.

Aktivitas MCA Al-Fath di media sosial kerap ditunjukkan dengan menggemakan seruan anti-komunisme dan anti-asing. MCA ini pun, ujar Damar, “memberi dukungan pada salah satu jenderal TNI.”

Ketiga, kluster yang diduga Damar punya afiliasi dengan salah satu partai politik, dan karenanya isu yang digaungkan amat politis. Misalnya, menyerukan agar rakyat tidak memilih partai pendukung penista agama.

Keempat, terakhir, adalah kluster yang disebut Damar ‘MCA Ronin’. Kata ‘Ronin’ di sini meminjam istilah Jepang untuk samurai tak bertuan, mengacu pada akun-akun MCA yang tak jelas arah afiliasinya. Itu sebabnya aktivitas mereka bergantung pada isu-isu arus utama atau dalam istilah Damar, “tergantung arah angin berembus.” 

Ketika polisi meringkus satu jaringan MCA yang diduga menjadi pabrik hoaks, aktivis-aktivis MCA di media sosial ramai-ramai mengatakan bahwa mereka yang ditangkap bukan bagian dari MCA.

MCA, seperti dikatakan Habib Novel, tidak mungkin menyebarkan kabar dusta. Lantas, bagaimana nasib MCA ke depannya setelah telanjur mendapat stempel kelompok produsen hoaks?

Ismail Fahmi berpendapat aktivitas MCA di jejaring Twitter tak bakal banyak berubah. Sebab, menurutnya, anggota MCA yang ditangkap polisi adalah aktor-aktor MCA penyebar hoaks yang ada di Facebook dan Whatsapp, bukan Twitter.

Penyebaran hoaks di Facebook, ujar Ismail, memang lebih parah dibanding di Twitter.

Ia menyarankan agar momen penangkapan tersebut digunakan MCA untuk ‘bersih-bersih’. “Memenangkan pertempuran di medsos bisa dilakukan dengan cara baik. Tidak menggunakan fitnah, tapi dengan kritik.” 

Ia juga menyarankan agar MCA membuat sebuah forum untuk menyaring hoaks. “Semacam forum tabayyun-lah,” kata Ismail.

Sementara Damar Juniarto yakin hoaks atau doxing tak serta-merta hilang karena polisi menangkapi aktor-aktor di baliknya. Menurutnya, momen politik yang kian dekat membuat hoaks tetap mengancam, sebab persebarannya tak bisa dilepaskan dari politik.

Damar menilai, memberantas hoaks tak cukup dengan menangkapi aktor-aktornya saja. “Perlu langkah holistik. Hoaks harus diserang dari banyak sisi.”

Salah satu caranya adalah dengan merangkai upaya menangkal hoaks, mulai kontra-narasi sampai verifikasi kabar hoaks (debunking hoax) dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dari ibu-ibu, anak-anak, hingga akademisi. 

Direktur Indonesia New Media Watch, Agus Sudibyo, bahkan bependapat, dalam perang melawan hoaks, “Perusahaan media sosial seperti Facebook dan Twitter wajib ikut bertanggung jawab.”

Menurutnya, di negara-negara Barat, seiring menguatnya fenomena hoaks, peran perusahaan media sosial juga ikut disorot.

Ucapan Agus tak berlebihan. Beberapa hari lalu, Misi Pencari Fakta PBB terkait krisis kemanusiaan Rohingya mengumumkan bahwa Facebook ikut bertanggung jawab atas genosida dan krisis kemanusiaan yang melanda etnis Rohingya.

Laporan itu menyorot Facebook yang membiarkan ujaran kebencian beredar luas di platform mereka, hingga berdampak besar meningkatkan kebencian terhadap etnis Rohingya.

Amat mungkin, hal serupa terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.