Tentang Startup yang Bakar Duit dan Bisnis Sungguhan

30 October 2016 - by

Ranah startup di Indonesia semakin intens beberapa tahun terakhir ini. Berbagai jenis perusahaan digital bermunculan dengan beragam model bisnis, dibarengi dengan banyaknya venture capital (VC) yang berseliweran, baik dari dalam maupun luar negeri.

Bisnis dan kegiatan yang berkutat di perusahaan-perusahaan startup ini juga semakin berkembang. Ada media yang khusus meliput tentang startup, perusahaan pembuat software khusus startup, hingga juga bisnis co-working space yang klien-kliennya adalah perusahaan startup.

Masih teringat jelas kehebohan ketika Tokopedia mendapatkan pendanaan US$100 juta (sekitar Rp1,3 triliun) di tahun 2014? Belum lama ini,  MatahariMall juga mendapat suntikan dana dengan besaran yang sama— tapi sekarang tidak terlalu heboh.

Well, belakangan ini  ada pula kisah GO-JEK yang mendapat US$550 juta (sekitar Rp7,1 triliun), kemudian Foodpanda yang berhenti beroperasi karena diduga kehabisan uang.

Semakin hari semakin banyak berita tentang startup A yang mendapat pendanaan sekian juta dolar, sementara startup B yang tiba-tiba harus tutup karena berbagai alasan: kehabisan dana atau berencana untuk pivot ke bisnis yang lain.

Dan beberapa hari lalu, saya tergelitik membaca sebuah status Facebook yang entah kenapa nongol di linimasa saya. Bunyinya kira-kira begini: Semakin banyak bisnis startup yang terbukti kayak judi, mendingan bisnis riil saja.

Kalimat itu otomatis membuat saya berpikir keras. Lalu, saya teringat kembali tentang teman yang mengomentari tentang startup dengan membandingkan bisnis dia sendiri: “Ya kalau aku bisnis riil begini beda sih hitungannya, harus untung beneran.”

Sepertinya ada miskonsepsi di masyarakat  yang menganggap bahwa bisnis startup adalah lawan dari bisnis riil atau beneran. Artinya, bisnis startup bukanlah bisnis sungguhan, alias bisnis palsu atau abal-abal.

Kalau dilihat dari asal katanya, startup bisa diartikan sebagai “baru mulai”. Artinya, semua bisnis yang baru saja mulai dapat disebut startup —walaupun ini relatif, tapi cukup banyak yang sepakat bahwa sebelum berjalan tiga tahun, maka bisnis tergolong startup.

Nah, saya ingin menjelaskan perbedaan antara startup dengan “bisnis sungguhan”. Agar memudahkan, mari kita bayangkan sebuah analogi perbandingan antara sebuah situs e-commerce dengan mal “sungguhan”, dengan tokoh fiktif Amir dan Umar — dalam perspektif valuasi perusahaan.


Cerita Amir

Sumber: Ben Rosett

Amir adalah anak seorang konglomerat. Bapaknya mempunyai bisnis properti sukses dan terbiasa membangun perumahan, perkantoran, serta pusat perbelanjaan. Setiap hari Jumat, Bapak Amir selalu mengajak Amir untuk pergi main golf. Berikut pembicaraan mereka.

Bapak: “Amir, sudah saatnya kamu mengikuti jejak bapak di bisnis properti. Cobalah kamu beli salah satu tanah dari perusahaan keluarga kita dengan harga dan kamu bangun sesuatu di atasnya. Nanti bapak kasih modalnya.”

Maka, Amir pun membikin mal.

Ideation & Building Stage

Karena bapaknya kaya raya, maka Amir bisa mengalokasikan dana Rp125 miliar untuk membuat mal tersebut. Hal yang pertama dilakukan Amir adalah membeli tanah untuk membangun mal tersebut. Dibutuhkan 10.000 m2(satu hektar) bidang tanah yang terletak di area strategis. Harga pasarannya sebenarnya Rp4 juta per m2 . Tapi, karena Amir membeli tanah dari perusahaan bapaknya, maka dia mendapat harga murah— hanya Rp2,5 juta per m2.

Dengan Rp2,5 juta per m2, maka Amir hanya perlu membayar Rp25 miliar untuk membeli tanah yang dibutuhkan. Sampai di sini, uang Amir masih tersisa Rp100 miliar di bank. Valuasi perusahaan sudah seketika naik menjadi Rp140 miliar (uang tunai Rp100 miliar + nilai aset tanah Rp40 miliar).

Dengan dana Rp100 miliar tersisa, Amir mulai membangun mal yang dia rencanakan. Berbagai kanal alokasi dana terkucur — dari konsultan bangunan, kontraktor, hingga tim manajemen dan marketing yang dia sewa. Butuh waktu kira-kira satu tahun hingga mal tersebut mulai dibangun. Biaya total mencapai Rp75 miliar.

Selama pembangunan, tim marketing Amir juga sudah beroperasi. Mereka telah mulai menawarkan kepada pemilik bisnis  seperti pemilik restoran, pemilik merek fashion, optik, coffee shop, dan department store. Oh ya, tidak ketinggalan bioskop. Beberapa merek dan kategori bisnis seperti department store, bioskop dan brand yang populer disebut sebagai anchor tenant.

Product/Market Fit dan Growth Hack

Satu tahun kemudian, ketika sudah siap beroperasi, belum banyak penyewa, tetapi sudah ada beberapa anchor tenant. Mereka mau masuk ke dalam Amir Mall dan membuka gerai. Harga sewanya sangat murah — bahkan hingga gratis sama sekali. Kenapa? Karena keberadaan mereka bisa menarik pengunjung saat mal mulai beroperasi. Bagi bisnis mal, anchor tenant ibarat Minimum Viable Products (MVP).

Seminggu sebelum hari pembukaan, dipasang iklan di semua media hingga seluruh penduduk kota tahu tentang Amir Mall. It’s the talk of the town. Semua orang tertarik untuk datang mengunjungi mal baru tersebut. Para pemilik bisnis yang sebelumnya sudah ditawari space, baik yang sudah menyewa maupun belum , diundang kembali sebagai tamu VIP oleh tim pemasaran.

Pada hari pembukaan, pengunjung berjubel. Para tamu VIP alias calon penyewa sebagian besar langsung menandatangani kontrak untuk menyewa space di Amir Mall. Launching sukses besar!

Seminggu setelah mal beroperasi, Amir mengajak meeting jajaran manajemen dan mengundang konsultan untuk menghitung valuasi bisnis Amir Mall sekarang. Ternyata space yang disewakan di mal tersebut sudah terisi sebesar delapan puluh persen pada minggu pertama; dua puluh persen untuk anchor tenant, dan enam puluh persen oleh tenant baru yang baru saja mendaftar.

Monetization

Sumber: From Bucharest

Pada tahun pertama, Amir hanya menarik biaya sewa sebesar Rp8 juta per m2 per tahun. Harga tersebut belum termasuk service charge, listrik, dan sebagainya. Area yang ditawarkan sebesar 10.000 m2 dengan empat lantai— luas tiap lantainya sebesar 2.500 m2. Artinya, pada tahun pertama, pendapatan sewa bersih Amir Mall tercatat sebesar Rp48 miliar.

Konsultan kemudian menghitung dengan detail semua aset yang dimiliki Amir Mall sekarang. Nilai tanah bangunan ternyata sudah naik drastis karena begitu Amir Mall dibangun, maka tanah-tanah di sekitarnya pun naik harga. Sekarang nilai tanah sudah mencapai Rp6 juta per m2. Artinya, tanah Amir senilai Rp60 miliar. Kemudian, nilai bangunan ditaksir senilai Rp60 miliar juga. Rugi sih, karena pembangunannya mencapai Rp75 miliar, tetapi nilai taksiran memang tidak akan sama dengan nilai riilnya.

Valuation

Untuk valuasi bisnis Amir Mall, pihak konsultan menyarankan metode sederhana, yakni total nett revenue x lima tahun. Menurut prediksi, dalam kurun waktu lima tahun, bisnis bakal berjalan dengan lancar. Untuk gaji karyawan dan pengeluaran lain dihitung Rp1 miliar per bulan, atau Rp12 miliar per tahun. Karena patokan yang ada adalah gross revenue sebesar Rp48 miliar per tahun, maka total per tahun dihitung laba bersih adalah sebesar Rp 36M.

Sampai di sini, valuasi bisnis Amir Mall adalah sebesar:

  • Tanah Bangunan (10.000 m2) = Rp120 miliar
  • Dana tunai di bank = Rp25 miliar
  • Valuasi bisnis (5 tahun x Rp36 miliar) = Rp180 miliar
  • Total = Rp325 miliar

Wow, fantastis! Dalam 2 tahun, modal (bapaknya) Amir sebesar Rp125 miliar telah berkembang sebesar 2,6 kali lipat!

Hari itu, Amir pulang dengan bangga. Malam itu dia punya jadwal untuk makan malam bersama bapaknya. Di situlah dia  akan menceritakan pada sang bapak bahwa dia telah sukses membangun bisnisnya.

Sang Bapak mendengarkan dengan saksama. Sambil menepuk bahu Amir, dia berkata: “Hebat, Nak, teruskan ya.” Tapi Amir merasa bahwa respons dari bapak sungguh datar.


Cerita Umar

Sumber: Andrew Phillips

Sore sebelum Amir pulang, sang bapak sebenarnya nongkrong di salah satu anchor tenant, sebuah coffee shop berlogo warna hijau di Amir Mall. Dia ingin melihat bagaimana hasil kerja anaknya. Bapak Amir duduk sendirian sambil melihat orang ramai lalu lalang. Karena coffee shop ini berada di dekat pintu masuk, dia juga bisa melihat ke seberang jalan. Sebuah pembangunan sebuah gedung bertingkat yang sepertinya baru saja dimulai.

Umar, baru saja mendarat dari Singapura . Dia datang untuk menghadiri acara pernikahan teman lama, tetapi karena belum jam check-in maka dia mampir di mal tersebut. Dia masuk ke coffee shop pertama paling dekat dengan pintu masuk dan mencari tempat duduk.

“Boleh ikut duduk di sini, Pak? Kebetulan meja semua penuh dan sepertinya Bapak sendirian.” Bapak Amir sedikit kaget, lalu mendongak sambil melihat pemilik suara serta menjawab: “Oh, silakan.”

“Luar biasa ya, Pak, perkembangan kota ini. Ini mal masih baru ya? Ramai banget ya?” sembari Umar menarik kursi kemudian duduk.

“Iya, baru saja dibuka seminggu lalu.” jawab Bapak Amir, sembari memperhatikan penampilan anak muda ini. Sepertinya seumuran anaknya, tapi berpenampilan lebih kasual. Kaos oblong, jeans, dan sepatu keds. Penampilannya tidak seperti anaknya si Amir, yang berkemeja rapi ke mana-mana.

“Oh, kalau di seberang sana, mal juga ya, Pak? Sepertinya baru dibangun juga dan tadi sempat lihat ada papan namanya. Kayaknya bakal jadi pusat perbelanjaan juga,” kata Umar.

“Sepertinya sih begitu. Dan di ujung jalan di sebelah sana juga bakal ada mal baru. Sepertinya jalan ini bakal dipenuhi dengan pusat perbelanjaan nantinya,” jawab Bapak Amir.

“Wah, kalau sepanjang jalan mal semua, terus persaingan jadi ketat sekali dong, Pak? Kalau tidak salah, pertumbuhan penduduk kota ini hanya lima persen per tahunnya. Kuenya tidak bertambah, tapi yang mau makan tambah banyak dong?” kata Umar. “Hehehe… Maaf, Pak, saya sok tahu nih kayaknya. Kenalkan dulu Pak, nama saya Umar. Kebetulan dulu juga kecil di kota ini,” lanjut Umar, merasa lancang.

“Nama saya Kamirun, Mas, biasa dipanggil Pak Amir. Kebetulan saya juga punya anak seumuran dengan kamu, namanya Amir juga. Cuma, kalau saya dipanggil Amir — ejaan Indonesia. Kalau anak saya, huruf vokalnya A dan diucapkan kayak mirip film seri zaman saya dulu itu , The A-Team.”

Mereka lalu berjabat tangan. Bapak Amir lalu meneruskan; “Oh, memang persaingan semakin ketat. Tapi target pasar dari pusat perbelanjaan ini bukan hanya dari penduduk kota lo. Semakin ramai jalan ini, maka akan semakin menarik orang dari kota-kota lain juga. Nah, karena semakin ramai, maka harga tanah juga naik. Artinya selain dari business profit, juga ada capital gain yang signifikan setiap tahunnya karena pertumbuhan nilai properti.”

Lalu dia menjelaskan panjang lebar tentang model bisnis bikin pusat perbelanjaan, serta bagaimana ketika bisnis rugi, aset properti nilainya tetap naik dan secara keseluruhan bisnis ini tidak akan rugi. Bapak Amir juga dengan bersemangat menceritakan bagaimana Ciputra dan taipan bisnis lain yang bergerak di properti masuk sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.

Walau tidak secara langsung berkata tentang jenis bisnisnya, Umar bisa menangkap bahwa bisnis Bapak Amir ini juga properti karena dia tahu sekali luar dalam tentang bisnis tersebut. Karena Bapak Amir juga bisa menyebutkan dengan detail mengenai mal ini, Umar juga menebak bahwa mal tempat mereka berada sekarang juga milik dia—atau paling tidak milik anggota keluarganya.

“Wah, nanti jalan ini jadi kayak Orchard Road dong ya, Pak? isinya mal semua,” kata Umar.

“Nah, betul itu. Kamu pernah ke sana?” tanya Bapak Amir.

“Lumayan sering sih, Pak, paling tidak sebulan sekali. Kebetulan baru saja mendarat dari sana. Ada meeting berturut-turut selama beberapa hari di Singapura minggu ini.”

“Wah, hebat juga kamu. Kerja atau bisnis?” tanya Bapak Amir penasaran.

“Kebetulan saya bisnis juga, Pak. Bisnisnya baru jalan sekitar tiga tahun ini. Kalau orang bilang, masih startup.” jawab Umar.

“Bisnis bidang apa, Mas? Kok sampai meeting di Singapura? Ekspor impor?” Pak Amir semakin penasaran.

“Bukan, Pak. Saya sekarang ini mengelola marketplace digital. Mungkin mirip dengan mal sih, tapi tidak ada wujud fisiknya sama sekali. Semuanya digital dan hanya transaksi hanya bisa dilakukan di internet. Ada orang yang jual barang di situ, lalu ada yang berminat beli. Nah, bisnis saya ini mempertemukan kedua pihak tersebut. Misalnya, ada orang yang mau jual buku langka karangan Enid Blyton yang ditandatangani penulis langsung . Tapi si penjual tidak punya toko buku. Maka, orang ini bisa berjualan di marketplace saya dan ketemu oleh peminat yang mau beli.”

Ideation & Building Stage

Kini, giliran Umar bercerita panjang lebar tentang marketplace yang dia kelola. Bermula dari meninggalnya Ayah Umar tiga tahun silam. Tidak banyak uang yang diwariskan; hanya satu ruangan penuh dengan buku-buku koleksi almarhum.

“Saya masih ingat sekali isi surat warisan ayah saya, Pak. Ini saya bahkan punya salinan digitalnya,” ujar Umar, sambil menunjukkan layar tabletnya, setelah beberapa kali klik untuk membuka sebuah file:

Umar, anakku satu-satunya,

Maafkan ayahmu yang tidak bisa meninggalkan warisan berupa harta maupun tanah yang berharga, karena Ayah yakin kamu bisa mendapatkan harta atau membeli tanah sendiri dengan hasil keringat dan otakmu yang encer itu.

Tapi yang Ayah tinggalkan jauh lebih berharga: ilmu pengetahuan dan kebajikan. Jendela-jendela menuju pelosok dunia. Lorong-lorong menuju balik ruang otak para cendekiawan.

Untukmu, Ayah wariskan perpustakaan pribadiku. Di dalamnya terdapat ratusan, mungkin ribuan buku-buku pilihan, yang bahkan banyak ditandatangani langsung oleh penulisnya. Pergunakanlah warisanku ini dengan caramu sendiri, agar kamu bisa menguasai duniamu.

“Setelah pemakaman, tiga hari berikutnya saya habiskan untuk mulai menyortir koleksi buku ayah saya. Saya masih belum tahu mau diapakan seluruh buku ini. Ya memang sih, ini sumber ilmu pengetahuan dan jendela dunia. Tapi setelah saya cek, hampir seluruh bukunya dijual di Amazon. Buku-buku lama pun sudah ada salinan digitalnya di internet dan bisa diunduh gratis. Pusing saya, Pak, bingung mau diapakan buku-buku itu,” Umar meneruskan.

“Lalu kamu apakan semua warisan buku-bukunya, Mas?” Bapak Amir bertanya sambil dia menerawang —ia sendiri belum terpikir tentang warisan yang ingin dia tinggalkan. Terbayang wajah keluarganya, Amir, lalu orang-orang yang bakal benar-benar kehilangan kalau dia tidak ada. Kemudian, ia teringat juga wajah-wajah para pecundang yang dalam hati akan kegirangan kalau dia meninggal.

“Saya jual, Pak,” Umar menjawab dengan singkat dengan intonasi datar. “Pertimbangan saya, pertama  saya tidak punya kemampuan mengelola perpustakaan. Saya jarang di rumah dan perpustakaan pribadi ayah saya adalah ruangan yang paling jarang saya masuki. Walaupun hobi saya membaca, tapi saya juga suka bepergian sehingga membawa-bawa buku-buku berat dalam ransel sepertinya bukan pilihan bagus,” kata Umar, sambil menunjuk ke tas ransel dia.

“Pertimbangan berikutnya,” Umar melanjutkan, “Karena seluruh isi buku yang ada di perpustakaan ayah, sekarang bisa saya dapatkan di gadget saya. Saya bisa membacanya kapan saja. Jadi buku-buku koleksi ayah sebenarnya tidak ada gunanya kalau saya pakai sendiri.” Umar menjelaskan.

“Kamu jual ke mana, Mas?” Bapak Amir bertanya, setengah penasaran setengah kesal. Dia membayangkan kalau suatu hari nanti warisan yang dia berikan ke keluarga tidak dirawat, tapi dijual begitu saja.

“Tadinya saya iklankan di koran, tapi tidak laku. Saya coba tawarkan ke toko-toko buku, mereka malah menertawakan saya. Mereka ternyata juga mati-matian berjualan buku. Lalu saya coba tawarkan ke forum-forum online. Hasilnya lumayan, Pak . Buku-buku saya laku karena ternyata banyak juga kolektor buku yang berminat. Saya waktu itu sudah jual belasan buku koleksi dengan nilai jutaan rupiah. Sampai akhirnya terkena kasus. Buku sudah saya kirim, tapi duitnya tidak sampai ke saya.” ujar Umar.

“Kok bisa? Bukannya kalau jualan begitu menunggu duitnya ditransfer dulu baru barangnya dikirim ya?”

“Nggak, Pak. Orang-orang tidak mau metode begitu. Makanya ada bisnis namanya rekening bersama atau rekber. Semacam escrow kalau istilah bank. Cuma, ternyata rekbernya bermasalah. Pembeli udah transfer ke rekber, saya sudah kirim bukunya, tapi duitnya tidak ditransfer ke saya,” jelas Umar

“Lo kok begitu? Tidak dilaporkan ke polisi?”

“Sudah sih. Kasusnya sudah ramai, Pak. Coba cari saja di Google tentang kasus itu, Pak. Sudah tertangkap sih. Dia mau mencicil ganti rugi. Tapi mengurusnya ribet. Jadi saya kapok pakai rekber dan jualan di forum lagi.”

“Lalu, dijual ke mana?” Bapak Amir bertanya lagi. Dia mulai memahami isi surat wasiat Bapak Umar — bahwa beliau memercayakan warisannya untuk dipergunakan sesuai cara Umar sendiri. Jadi, tidak ada kewajiban Umar untuk terus menyimpan buku-buku berharga itu.

Product/Market Fit dan Growth Hack

“Saya akhirnya coba bikin situs sendiri pak, khusus buat jualan buku-buku edisi kolektor. Namanya BukuLapuk.com. Semua buku saya foto dan saya kasih resensi singkat. Saya juga kasih profil penulis serta tautan langsung ke penulisnya. Nah, setiap penulis itu saya kontak, mention atau tag di media sosial mereka. Karena deskripsi tentang mereka itu saya bikin unik dan lucu, serta buku yang dijual sudah tidak terbit lagi, maka rata-rata penulis itu akan share di akun mereka sendiri. Jadilah banyak orang yang datang berkunjung dan akhirnya beli buku di situs saya,” Umar berkisah.

“Sebentar, Mas. Katanya tadi bisnis marketplace, kok ini berjualan buku? Bedanya sama buku toko buku online kayak Garukmedia itu apa ya?” potong Bapak Amir.

“Iya pak, tadinya memang toko buku lama dan yang saya jual sendiri. Tapi di situ saya juga mengelola forum khusus buat peminat buku-buku antik. Nah, lama-lama ternyata terbentuk forum jual beli barang-barang antik antar sesama anggota. Akhirnya saya fasilitasi untuk memudahkan orang buat jualan barang antik. Ini juga memudahkan orang-orang untuk melihat-lihat jualannya, sekalian pembayarannya juga saya urus, Pak. Jadilah BukuLapuk.com itu marketplace khusus buku langka dan barang-barang antik yang pertama,” jelas Umar.

“Kalau yang jualan buku saya sih paham, Mas. Tapi kalau marketplace itu, dapat untungnya dari mana ya? Apa kamu mengenakan komisi dari setiap barang yang dijual?” Bapak Amir penasaran bertanya.

Scale

“Tidak, Pak. Selama tiga tahun terakhir semuanya gratis. Transaksi jual beli kita fasilitasi tanpa bayar sedikit pun. Yang penting jumlah anggotanya semakin banyak dan terbentuk ekosistem. Kalau dari awal dikenakan komisi, tidak ada mau jual barang di tempat saya, Pak. Dengan cara begini, tiga tahun berdiri kami sudah mencatat terjadi lebih dari satu juta penjual, Pak,” Umar menjelaskan.

“Lho, mana bisa begitu? Pasti kan banyak biaya yang dikeluarkan juga. Apalagi dengan anggota lebih dari satu juta otang. Saya yakin butuh banyak SDM untuk mengelolanya, kan?” tanya Bapak Amir.

“Sebenarnya beberapa bulan pertama, itu relatif sedikit sekali biaya yang saya keluarkan sih Pak.Itu tertutup dari biaya penjualan buku-buku Ayah saya. Sampai suatu hari, jumlah penjualnya mencapai lebih dari seribu orang. Saya mulai kewalahan menangani komplain pembeli yang ‘nakal’ atau penjual yang rewel. Yang jualan siapa, barangnya dikirim ke mana, komplainnya ke saya. Pusing saya, Pak, waktu itu.”

“Dan kamu tidak mengenakan komisi sedikit pun? Penjual juga tidak dikenakan biaya per bulan? Lalu bagaimana untungnya?”

“Memang jika dibandingkan dengan bisnis konvensional seperti mal yang Bapak ceritakan ini, misalnya,  ada beberapa perbedaan. Tapi ada juga benang merahnya. Dari cerita Bapak tadi, membuat mal itu butuh investasi besar di awal, untuk membeli tanah dan bangunan dengan arsitektur yang bagus. Tujuannya buat apa, Pak?”

“Ya biar orang-orang datang dong. Kalau banyak pengunjung, nanti dia akan lihat-lihat barang yang ada di mal ini, datang ke restoran, atau ke coffee shop kayak kita ini. Orang belanja, nanti pemilik toko dapat untung, dan kita kenakan biaya sewa. Kan jelas bisnisnya, duitnya dari mana— tidak kayak bisnis kamu ini.”

Monetization

“Saya jelas tidak berencana membuat yayasan nonprofit, Pak. Tapi dengan banyaknya transaksi yang terjadi sekarang, BukuLapuk.com sekarang mendapatkan keuntungan dari orang yang ingin produknya tampil di depan calon pembeli. Dengan cara ini, penjual memiliki kemungkinan lebih besar produknya laku. Kami menyebutnya sebagai premium user. Mereka ini bisa memilih metode komisinya ke BukuLapuk.com : mau bayar setiap kata kunci yang dicari oleh calon pembeli, atau memberikan komisi setiap produknya laku.”

“Wah, bisa begitu ya? Sekarang berapa transaksi itu tiap bulannya, Mas? Kalau ada satu juta penjual, rata-rata berjualan dua barang saja per bulan, berarti sudah ada dua juta transaksi ya tiap-tiap bulannya? Kalau kira-kira harga barang antik pasti lebih dari Rp200.000 kan. Misalnya, harga rata-rata produk Rp250.000, berarti total transaksi sebulannya Rp500.000 x 1 juta. Jadi, Rp500 miliar sebulan, Mas?”

“Kira-kira begitu, pak. Lebih sedikit sih, tapi angkanya tidak meleset-meleset banget kok.”

“Lalu berapa penjual yang menjadi premium user? Pastinya orang lebih suka barangnya laku, jadi lebih banyak orang yang jadi premium user ya? Separuh lebih begitu?”

“Tidak, Pak. Lebih banyak penjual yang masih merasa sayang harus memberikan komisi atau bayar tiap kata kunci. Jadi, cuma lima persen saja kira-kira yang jadi premium user. Tapi, karena dari lima persen ini membuat penjualan lebih laris, maka kira-kira dua puluh persen transaksi itu adalah dari premium user yang memberikan komisi ke kita.”

“Jadi ada Rp100 miliar transaksi yang kasih komisi ya? Itu komisinya berapa persen?” sembari Bapak Amir memakai kacamatanya, ia mulai membuka situs BukuLapuk.com, langsung klik menuju bagian FAQ Penjual.

Walaupun sudah berumur, tetapi untuk masalah teknologi, Bapak Amir tidak pernah mau ketinggalan. Beliau langsung bisa menemukan bagian ketentuan dan syarat menjadi premium user di BukuLapuk.com . Sejenak kemudian, setelah mulutnya komat-kamit membaca beberapa paragraf yang ada, dia menggebrak meja!

“Gila! Lima persen komisi! Berarti kamu bisa dapat Rp5 miliar per bulan lebih ya? Berarti lebih besar dari bisnis mal punya anak saya ini dong!”

Beberapa pengunjung meja sebelah sontak kaget dan menengok ke arah mereka. Umar juga setengah kaget, apalagi Bapak Amir  yang barusan menyadari kalau dia berkata terlalu kencang. “Eh maaf, maaf…” sambil tangannya membentuk isyarat permintaan maaf kepada orang-orang di sekitarnya.

“Tapi beneran Mas, saya tidak mengira kalau bisnis digital atau startup bisa untung sebanyak itu. Pantesan kok saya baca di situs-situs kayak TengsinAsia gitu, ada saja berita pendanaan sampai ratusan juta dolar . Sebenarnya uang itu buat apa. Lha wong sudah jalan sendiri, berprofit, kenapa harus ada investor? Mending dikelola sendiri kan, Mas,” lanjut Bapak Amir.

“Analoginya begini sih, Pak. Tadi kan Bapak cerita tentang capital gain dari bisnis properti atau pusat perbelanjaan. Naiknya nilai tanah tergantung dari ramainya lokasi tersebut , atau lebih tepatnya lagi, lembaga appraisal resmi yang menilai sebuah properti akan menggunakan referensi dari transaksi jual-beli tanah di dekat lokasi tersebut. Kalau misalnya kita beli tanah di sebuah lokasi dengan harga Rp3 juta per m2, tapi tahun depan ternyata tanah di sebelahnya sudah bernilai Rp6 juta per m2, otomatis nilai tanah kita akan dinilai naik.”

“Iya itu benar, tapi hubungannya apa ya?” Bapak Amir tidak sabar memotong.

“Kalau di startup, ketika terjadi pendanaan, artinya ada saham yang diperjualbelikan. Dana yang masuk ditukar dengan sebagian dari saham perusahaan tersebut. Nah, katakanlah misalnya yang dijual pada saat seed funding adalah sepuluh persen saham dan dibeli dengan harga US$1 juta (sekitar Rp13 miliar), berarti nilai keseluruhan perusahaan atau valuasinya adalah  US$10 juta (sekitar Rp130 miliar). Padahal bisa saja awalnya startup itu dibangun dengan modal dengkul dan otak saja.”

“Wah, itu perusahaan kamu dihargai Rp130 miliar, Mas?”

“Bukan, Pak, ini contoh saja kok,” Umar merendah.

“Lo itu uangnya buat apa? Bukannya perusahaannya sudah untung ya?”

“Belum Pak, itu kan dibuat untung baru-baru saja. Tiga tahun pertama, semua gratis buat seluruh pengguna, seperti saya bilang tadi.”

“Maksudnya dibuat untung bagaimana? Niatnya kan memang cari untung? Saya kok tidak paham ya.”

Valuation

“Begini, Pak. Mungkin saja kita memungut komisi atau biaya per bulan sejak anggota masih ribuan. Tapi dengan begitu, pertumbuhan anggotanya pasti melambat. Sudah begitu, bisa saja ada orang dengan ide yang sama meniru dan kemudian membuat layanan yang sama persis dan digratiskan. Kalau begitu, artinya kita mencari untung terlalu cepat. Sama saja dengan bunuh diri, Pak,“ jelas Umar.

“Nah, pendanaan dari venture capital itu untuk biaya pemasaran dan operasional untuk terus menambah lagi jumlah anggota dan transaksi yang ada, sampai terbentuknya ekosistem yang setiap anggotanya benar-benar membutuhkan BukuLapuk.com sebagai media berjualan dan mencari barang yang mereka butuhkan. Kalau sudah begitu , kita baru bisa mencari untung,” sambung Umar.

“Kemudian, pada saat pendanaan berikutnya, atau biasa disebut series A, B dan seterusnya, di sini founder sudah mulai jual sebagian dari saham ditukar dengan uang tunai. Atau, paling tidak mendapatkan gaji atau bonus yang nilainya signifikan. Tidak ada aturan baku dalam pendanaan. Tapi kebanyakan setiap pendanaan itu akan membuat nilai perusahaan naik sepuluh kali lipat atau lebih . Founder memang kehilangan sepuluh hingga dua puluh persen, tapi total nilai dari saham yang dia pegang naik berkali-kali lipat,” Umar kembali menjelaskan.

“Hmmm.. jadi sebenernya mirip dengan bisnis mal. Kalau bikin mal, kita butuh modal besar untuk membuat gedungnya agar orang-orang datang. Begitu mal dibuka, langsung ramai dan dapat duit. Kalau startup digital, mulai dari kecil dulu. Modal besar dibutuhkan ketika semakin banyak orang yang datang biar tambah ramai. Sama-sama nilai perusahaannya bertambah kalau pengunjung, pembeli, dan penjualnya semakin banyak,” kata Bapak Amir.

“Nah, bedanya Pak, BukuLapuk.com saya ini, atau saingan saya TukuPidio.com , dulunya memang hanya forum tempat orang jual beli DVD film, kemudian berkembang jadi marketplace juga . Potensi pertumbuhannya hampir tidak terbatas, atau istilahnya scalable,“ sambung Umar.

“Maksudnya scalable gimana ya?”

“Begini, Pak. Misalnya Amir Mall ini, kalau seluruh space sudah penuh, lalu bagaimana? Atau ketika libur panjang dan parkiran di bawah penuh, apa yang bisa dilakukan?”

“Ya memang kapasitasnya demikian. Pasti ada batasannya. Kalau memang kapasitas sudah penuh, saya bikin mal lagi,” jawab Bapak Amir.

“Itu namanya repeatable, tapi bukan scalable. Kalau marketplace digital, tidak ada batasannya Pak. Saya bisa punya jutaan penjual dan pembeli. Tidak dibatasi oleh besarnya gedung atau lebarnya tempat parkir. Idealnya, memang bisnis startup digital itu harus punya tiga sifat: scalable, repeatable, dan profitable.”

“Hmm ya, paham sekarang. Wah sekarang nilai perusahaan dan saham kamu di BukuLapuk sudah jutaan dolar ya?” Bapak Amir mengangguk-angguk kagum, sembari memperhatikan Umar yang sudah beberapa kali melirik jam tangannya.

“Baik Pak, senang sekali berkenalan dengan Bapak. Saya harus pergi sekarang tampaknya. Kapan-kapan kita ketemu lagi ya, Pak,” Umar pamit kepada Bapak Amir.

“Wah, saya yang harus berterima kasih. Bisa saya minta nomor telepon biar kita mengobrol lagi di lain kesempatan?”

Mereka kemudian bertukar nomor telepon. Umar berlalu. Bapak Amir kemudian pulang ke rumah, karena dia juga sudah berjanji untuk bertemu anaknya.


Epilog

Ada beberapa tahap yang sebenarnya sama-sama ditempuh pada cerita Amir dan Umar, yaitu ideation, building stage, product/market Fit, growth hack, dan monetization. Bedanya,tidak ada tahap scale pada bisnis konvensional seperti membangun mal.


Disclaimer:

Tidak ada bisnis yang tidak berisiko, dan tidak semua orang cocok terjun dalam bisnis, baik “bisnis beneran” atau “bisnis startup” (Ya, saya beri tanda petik. Maksudnya, menyindir orang-orang yang bikin dikotomi antara keduanya).

Tidak pernah ada jalan yang mudah untuk berhasil di bisnis. Kenyataannya, hanya sebagian kecil bisnis yang berhasil. Apalagi bisnis startup digital. Contoh cerita sukses di atas memang yang dipilih bagian suksesnya. Bisnis yang gagal? Tentu, lebih banyak.

Angkat topi dan angkat jempol buat seluruh founder startup yang sudah mulai menjalankan bisnisnya. Bagi yang belum dan baru akan  membangun bisnis, perhitungan benar-benar segala aspeknya. Jangan terlalu percaya pada motivator. Ambil yang masuk akal dan logis saja — karena belum tentu pemberi nasihat dan motivasi juga pernah mengalaminya.

Buatlah startup dengan memecahkan masalah yang benar-benar ada. The real entrepreneur is a problem solver, not a money hunter.

Jadi, jika kamu menemukan suatu masalah besar yang perlu dipecahkan, teruslah berusaha. Bangunlah bisnis startup kamu dengan segenap keringat, hati, air mata, dan darah yang kamu punya. Usaha kamu tidak akan sia-sia.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Medium. Isi di dalamnya telah disesuaikan dengan standar editorial Tech in Asia.

(Diedit oleh Septa Mellina; Sumber gambar: Eikonlaw)

The post Tentang Startup yang Bakar Duit dan Bisnis “Sungguhan” appeared first on Tech in Asia Indonesia.