icon-category Telco

‘Black October’ dan Kolapsnya RBT di Indonesia

  • 22 Oct 2021 WIB
Bagikan :

Foto ilustrasi: Unsplash

Uzone.id -- Jauh sebelum era di mana orang-orang memamerkan kegalauan dan suasana hati dengan share lagu Spotify di Instagram Stories, masyarakat Indonesia doyan menggunakan layanan Ring Back Tone (RBT) sebagai nada sambung pribadi mereka.

Era RBT berjaya belasan tahun yang lalu. Wajar apabila generasi muda di zaman sekarang terasa asing dengan hal ini karena tumbuh dengan perangkat ponsel pintar dari awal. Penggunaan RBT memang kental dengan kebiasaan masyarakat yang masih gemar menelepon teman, keluarga, hingga kekasih hati melalui panggilan suara (voice) yang memakan pulsa.

Alih-alih mendengar nada sambung monoton yang hanya berbunyi “tut..tut..tut”, si penelepon disuguhkan musik berupa potongan lagu milik musisi favorit orang yang sedang ditelepon tersebut. Si penelepon terhibur dengan alunan lagu, terkadang ikut nyanyi, dan membuat sesi tunggu sampai telepon tersebut diangkat menjadi tidak membosankan meski hanya beberapa detik saja.

Baca juga: 3 Fakta Menarik RBT, dari Harga hingga Genre Favorit User

Ya, bisa dibilang para pengguna RBT rela memotong pulsanya untuk layanan yang ia sendiri pun tidak bisa menikmatinya, namun membiarkan orang lain yang dapat menikmatinya.

Kejayaan RBT memang berlangsung selama beberapa tahun, sampai akhirnya lama-lama tenggelam karena beberapa hal, salah satunya kejadian yang diberi nama Black October.

“RBT ini memang produk old school, sekitar 17 tahun umurnya. Produk yang sudah melewati beberapa fase. Perjuangan layanan ini untuk tetap ada itu cukup menantang. Pernah dipaksa turun karena ada Black October, lalu tren menelepon yang berubah dari voice call ke telepon di dalam aplikasi digital, tapi kita tetap percaya bisa naik lagi,” ungkap Rizqi Angga Kurniawan selaku GM Marketing & Business Development PT MelOn Indonesia saat berbincang dengan Uzone.id.

Istilah Black October sendiri terjadi pada bulan Oktober 2011, ketika Menteri Komunikasi dan Informatika pada saat itu dijabat oleh Tifatul Sembiring, menghapus sistem layanan premium seperti SMS Premium karena adanya oknum jahat yang sengaja menyedot pulsa pengguna meskipun mereka tidak menggunakan layanan tersebut.

Kala itu, Tifatul mengatakan layanan RBT tidak akan dihapus, sebab fokusnya adalah mematikan para pelaku yang menyedot pulsa secara ilegal. Ia menekankan kepada para musisi Tanah Air kalau proses yang diberi nama “Unreg massal” ini hanya semacam daftar ulang saja.

Baca juga: Bisnis RBT di Indonesia Masih Menggiurkan

“Regulasi pemerintah saat itu bikin semuanya kembali ke nol, RBT pun terkena imbasnya. Kami turun drastis, namun dari sisi penyedia konten, kami tetap ingin tumbuh. Tidak usah muluk-muluk, yang penting grow,” kata pria yang akrab disapa Angga ini.

Ia menyambung, “surprisingly, setelah Black October itu sampai sekitar 2013-2014, tumbuh sampai 600 persen penggunaan RBT, khususnya dari Telkomsel.”

alt-img
Ilustrasi feature phone, perangkat yang identik dengan zaman kejayaan RBT. Foto: Sumeet Singh/ Unsplash

RBT kolaps, apa kabar operator seluler?

Dari sisi musisi jelas terdampak. Namun, hal menarik lainnya tentu datang dari operator seluler sebagai pihak yang menyalurkan RBT melalui pemotongan pulsa tersebut.

Hingga artikel ini diterbitkan, Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat Ooredoo belum menanggapi beberapa pertanyaan Uzone terkait RBT.

Namun, jika melihat dari laporan berbagai sumber, per Oktober 2011, pengakses layanan RBT dalam satu bulan mencapai 7.000 nomor pelanggan. Sementara Telkomsel kala itu diklaim telah memiliki total 6,25 juta pengguna RBT, naik 25 persen dari tahun 2010.

Hal yang layak dicatat, pada November 2013, Dian Siswarini yang dulunya memegang posisi Direktur Digital Service XL (sekarang ia memegang kursi CEO) mengatakan bahwa kontribusi RBT dan VAS (Value Added Services) bisa mencapai 70 persen, tapi gara-gara Black October, kontribusinya sempat di bawah 50 persen.

Baca juga: RBT di Indonesia: Booming, Mati Suri Lalu Bangkit Lagi

Sementara dari pengakuan Indosat, konten yang disalurkan lewat layanan VAS memang memberikan kontribusi signifikan terhadap total pendapatan operator, yakni 7 persen.

Kendati begitu, dari penjelasan Gatot Wibowo Hadiputro yang kala itu berperan sebagai Content Product Manager Indosat pada April 2013, sejak Black October pendapatan seluruh operator mendadak anjlok. Dari total 40 juta pengguna VAS, baru 10 persen di antaranya yang kembali dari total 40 juta yang ada sebelumnya.

Terlepas dari jatuh bangun sektor telekomunikasi pasca Black October, Angga mengakui bahwa pasar Indonesia sangatlah unik yang membuat RBT ini pada kenyataannya belum sepenuhnya mati.

“RBT di tahun 2013 sampai 2014 itu memang sedang berusaha untuk kembali eksis, namun tetap ada di Indonesia, padahal di luar negeri sudah mati. Kami sebagai provider sempat bingung benchmark-nya ke mana, di luar sana sudah tidak ada, di sini baru bangkit dari mati suri,” tutup Angga.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini