icon-category Technology

Grup WhatsApp Dipantau Polisi, kok Posesif Amat sih Pak?

  • 20 Jun 2019 WIB
Bagikan :

(Ilustrasi/Mashable)

Uzone.id -- Pernah terbayang gak, obrolan di pesan instan pribadi selama ini dipantau oleh pihak kepolisian? Apa jangan-jangan penyebaran hoaks di Indonesia sudah sebegitunya, ya?

Belakangan masih hangat topik seputar tim siber Polri yang melakukan patroli di grup-grup WhatsApp pengguna Indonesia. Padahal, selama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah punya layanan bernama Aduan Konten dan mesin AIS untuk menyaring konten hoaks di dunia maya.

Namun, ternyata pemerintah punya pandangan ‘unik’. Melalui Kominfo, grup WhatsApp sudah dianggap lebih berbahaya ketimbang ruang publik seperti Facebook, Instagram, YouTube, atau Twitter.

Baca juga: Kata Kominfo WhatsApp Lebih Bahaya dari Facebook

Jadi, ketika pihak Polri ingin berkolaborasi dengan Kominfo dengan meminta data aduan masyarakat mengenai nomor-nomor WhatsApp yang berpotensi sebagai penyebar hoaks agar dilakukan penyelidikan, Kominfo merasa hal itu memang wewenang Polri untuk “menegakkan hukum”.

Nah, sekarang Polri punya akses untuk memantau dan menyelidiki grup WhatsApp. Bahasa nyelekitnya, Polri ‘menyadap’ perbincangan pengguna di dalam grup. Kurang horor apalagi?

Terlepas ada isu hoaks yang menjadi musuh negara, fakta bahwa tim siber Polri bersedia berpatroli di ruang-ruang privasi seperti itu kok malah jadi awkward bayanginnya...

Pertama, jadi jaim dan fake.

Kita gak pernah tahu, apakah kita detik ini juga sedang dipantau atau gak. Tapi coba bayangin aja, grup WhatsApp yang biasanya ramai bahas ini-itu, eh mendadak jadi jaim semua.

Omongannya jadi kaku, yang tadinya serba “coy, coy” sekarang jadi “kakanda” atau “kau benar sekali, kawan”. Males banget gak, sih?

Atau kalau terlalu ekstrem, ya minimal jadi fake deh. Tadinya bisa ketawa dalam banyak hal, sekarang jadi sok anteng, anggun, dan sok baik. Ngomong jadi serba hati-hati, kalau perlu lihat ke kamus dulu tiap kata agar gak salah paham. Pokoknya kaku banget, kayak kanebo kering.

Baca juga: Jangan Sebar Hoaks di Grup WhatsApp, Nomormu Bisa Diblokir Polisi

Kedua, jadi insecure.

Insecure mungkin jadi kata yang terdengar lemah, apalagi dalam suatu hubungan percintaan. Tapi secara umum, insecure bikin hati gelisah, jiwa tak tenang.

Mungkin ada beberapa waktu yang bikin kita lupa tentang patroli Polri ini, tapi sekalinya teringat, mood bisa berubah jadi was-was. Rasanya seperti diintai, ada yang nge-stalk, dan parno sendiri.

Meski kita merasa gak pernah menyebar hoaks, tapi kalau ada orang di dalam grup WhatsApp itu yang terkena pantauan Polri, tentu tetap insecure takut ada salah omong. Padahal kamu tahu gak semua pak polisi bawa borgol ke mana-mana…

Ketiga, berasa negara posesif banget, gak bebas, nih!

Hal ini juga akan terasa secara langsung. ‘Kan ini percakapan pribadi, kenapa harus dipantau segala? Apalagi kalau kamu sadar itu grup bukan komplotan teroris atau pejabat koruptor yang nggilani itu.

Yang tadinya masih seru gosipin orang atau berbagi silang pendapat dengan teman atau keluarga di grup WhatsApp, mendadak jadi dibungkam dan enggan berkomentar apa-apa karena, lagi-lagi, takut sedang dipantau. Gak ada yang tahu apa yang bakal kejadian setelah kita berucap, jadi berasa dikekang banget.

Kalau diibratkan, bagai punya pacar posesif yang mantau pergerakan mulu. Cuap-cuap dikit, dipantau, kena lapor. Posting foto atau pesan berisi opini, dianggap gak valid, lalu kena lapor lagi. The next thing you know, kamu ada di daftar patroli Polri.

Baca juga: Selama Pemilu, Netizen Indonesia Gak Bisa Lepas dari WhatsApp

Langgar privasi gak, sih?

Dari berbagai hal awkward yang berpotensi muncul tersebut, Kominfo memang menyatakan mendukung patroli grup WhatsApp oleh Polri ini.

Lantas, memangnya privasi kita gak diterobos?

“Meskipun patroli siber dilakukan berdasarkan laporan konten dari masyarakat, namun penggeledahan informasi dalam grup WhatsApp akan berpotensi mengambil informasi lain yang tak relevan dari tujuan awal,” ucap Muhamad Eka Ari Pramuditya selaku peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) saat dihubungi Uzone.id.

Maka, menurut Ari, patroli ini dilakukan harus berlandaskan ketentuan hukum acara yang berlaku.

Kalau patroli siber itu dilaksanakan saat kondisi percakapan sudah selesai, maka harus sesuai dengan mekanisme penggeledahan sesuai Pasal 33 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Patroli ini harus mengantongi surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Tapi kalau patroli ini dilakukan saat kondisi obrolan masih berlangsung, tindakan ini termasuk dalam intersepsi. Harus jelas juga tujuan patroli ini apa, untuk penegakan hukum atau pemantauan (surveillance).

“Kami mengingatkan kepada pemerintah dan Polri bahwa patroli siber dalam grup WhatsApp merupakan salah satu bentuk dari mass surveillance (pengawasan masal) sehingga merupakan intervensi atas privasi warga negara yang dijamin oleh Konstitusi,” sambung Ari.

Menurut kalian gimana, gaes? Atau… jangan-jangan ada yang sampai exit grup WhatsApp, nih?

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini