icon-category Digilife

How to Build The Transformative Business Model

  • 02 Mar 2021 WIB
Bagikan :
 
Kolom oleh: Setyo Budianto: Director & Chief Digital Consumer Officer, PT Metranet 
 
Uzone.id - Baru saja saya membaca Harvard Business Review yang berjudul "The Transformative Business Model" yang ditulis oleh Stelios Kavadias, Kostas Ladas, dan Christoph Loch. 
 
Hal ini menarik karena saat ini banyak yang membicarakan transformasi bisnis khususnya terkait teknologi baru, tapi masih jarang yang membahas terkait transformasi model bisnis.
 
Definisi "model bisnis" bervariasi, tetapi kebanyakan orang akan setuju bahwa itu menggambarkan bagaimana sebuah perusahaan menciptakan dan menangkap nilai. 
 
Ciri-ciri model bisnis mendefinisikan proposisi nilai pelanggan dan mekanisme penetapan harga, menunjukkan bagaimana perusahaan akan mengatur dirinya sendiri dan dengan siapa akan bermitra untuk menghasilkan nilai, dan menentukan bagaimana struktur rantai pasokannya. 
 
Pada dasarnya, model bisnis adalah sistem yang berbagai fiturnya berinteraksi, seringkali dengan cara yang kompleks, untuk menentukan keberhasilan perusahaan.
Logo AirBnB
 
Sebagai contoh Airbnb, yang menjungkirbalikkan industri hotel. Didirikan pada tahun 2008, perusahaan telah mengalami pertumbuhan yang fenomenal: Sekarang memiliki lebih banyak kamar daripada InterContinental Hotels atau Hilton Worldwide.
 
Para pendiri Airbnb menyadari bahwa teknologi platform memungkinkan pembuatan model bisnis yang sama sekali baru yang akan menantang ekonomi tradisional bisnis hotel. 
 
Tidak seperti jaringan hotel konvensional, Airbnb tidak memiliki atau mengelola properti — ini memungkinkan pengguna untuk menyewa ruang yang layak huni (dari sofa hingga rumah besar) melalui platform online yang mencocokkan individu yang mencari akomodasi dengan pemilik rumah yang bersedia berbagi kamar atau rumah. 
 
Airbnb mengelola platform dan mengambil persentase dari sewa. Karena pendapatannya tidak bergantung pada kepemilikan atau pengelolaan aset fisik, Airbnb tidak memerlukan investasi besar untuk ditingkatkan dan karenanya dapat mengenakan harga yang lebih rendah (biasanya 30 persen lebih rendah dari biaya hotel). 
 
Selain itu, karena pemilik rumah bertanggung jawab untuk mengelola dan memelihara properti dan layanan apa pun yang mereka tawarkan, risiko Airbnb (belum lagi biaya operasional) jauh lebih rendah daripada risiko hotel tradisional. 
 
Di sisi pelanggan, model Airbnb mengubah proposisi nilai dengan menawarkan layanan yang lebih pribadi — dan yang lebih murah. 
 
Sebelum teknologi platform ada, tidak ada alasan untuk mengubah bisnis hotel dengan cara yang berarti. Namun setelah diperkenalkan, model bisnis yang dominan menjadi rentan terhadap serangan dari siapa saja yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut untuk menciptakan proposisi nilai yang lebih menarik bagi pelanggan. 
 
Model bisnis baru berfungsi sebagai antarmuka antara apa yang dimungkinkan oleh teknologi dan apa yang diinginkan pasar.
 
Lalu bagaimana cara membangun "The Transformative Business Model" agar sukses. Disampaikan dalam artikel tersebut bahwa model bisnis transformatif cenderung menyertakan tiga atau lebih fitur berikut: (1) personalisasi, (2) proses loop tertutup, (3) pembagian aset, (4) penetapan harga berbasis penggunaan, (5) ekosistem kolaboratif, dan ( 6) organisasi yang gesit dan adaptif.
 
Berikut penjelasan lengkapnya:
  1. A more personalized product or service. Many new models offer products or services that are better tailored than the dominant models to customers’ individual and immediate needs. Companies often leverage technology to achieve this at competitive prices. 

  2. A closed-loop process. Many models replace a linear consumption process (in which products are made, used, and then disposed of) with a closed loop, in which used products are recycled. This shift reduces overall resource costs. 

  3. Asset sharing. Some innovations succeed because they enable the sharing of costly assets—Airbnb allows home owners to share them with travelers, and Uber shares assets with car owners. Sometimes assets may be shared across a supply chain. The sharing typically happens by means of two-sided online marketplaces that unlock value for both sides: I get money from renting my spare room, and you get a cheaper and perhaps nicer place to stay. Sharing also reduces entry barriers to many industries, because an entrant need not own the assets in question; it can merely act as an intermediary. 

  4. Usage-based pricing. Some models charge customers when they use the product or service, rather than requiring them to buy something outright. The customers benefit because they incur costs only as offerings generate value; the company benefits because the number of customers is likely to grow. 

  5. A more collaborative ecosystem. Some innovations are successful because a new technology improves collaboration with supply chain partners and helps allocate business risks more appropriately, making cost reductions possible. 

  6. An agile and adaptive organization. Innovators sometimes use technology to move away from traditional hierarchical models of decision making in order to make decisions that better reflect market needs and allow real-time adaptation to changes in those needs. The result is often greater value for the customer at less cost to the company.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini