icon-category News

Kejahatan Pedofilia Meluas ke Pornografi Anak

  • 09 Jan 2018 WIB
Bagikan :

Kejahatan pedofilia yang semakin marak tidak hanya berupa tindakan sodomi para pelaku kepada korban. Terbaru, Kepolisian Daerah Jawa Barat (Jabar) merilis kasus pornografi dan eksploitasi anak di bawah umur di Mapolda Jabar, Bandung, Senin (8/1).

Dalam laporannya, Kapolda Jabar Inspektur Jenderal Polisi Agung Budi Maryoto menjelaskan, Polda Jabar telah mengungkap kasus video porno yang melibatkan seorang wanita dewasa dan tiga orang anak di bawah umur.

Polda Jabar meringkus enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu F sebagai otak pelaku kejahatan ini, CI, IM, SUS, HER, dan IN yang merupakan pemeran wanita di video.

"Modus operandi yang dilakukan, yaitu tindak pidana persetubuhan dan pencabulan serta eksploitasi terhadap anak di bawah umur, dengan memproduksi dan menyebarluaskan pornografi melalui informasi elektronik," ujar Agung.

Menurut dia, hasil identifikasi menyatakan video tersebut diambil di dua hotel berbeda di Kota Bandung. Perekaman dilakukan sekitar April-Juni 2017 dan Agustus 2017.

Hasil penyelidikan Polda Jabar menyebutkan, produksi konten pornografi ini diduga didanai oleh warga Negara Kanada berinisial R dan N yang dikenal oleh tersangka F melalui aplikasi media sosial Rusia, dengan total pendanaan sebesar Rp 31 juta.

"Pendanaan ini berindikasi pada kejahatan jaringan internasional," kata Agung.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengecam para pihak yang terlibat dalam pembuatan video porno tersebut.

"Saya meminta agar pihak kepolisian segera mengusut tuntas video tersebut, serta dilakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak korban atau pelaku pornografi sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) nomor 40 Tahun 2011," ujar Yohana, kemarin.

Para tersangka dapat dijerat Pasal 35 UU Nomor 4/2008 tentang Pornografi, dan akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.

Mengingat para tersangka telah melibatkan anak sebagai objek pornografi, maka berdasarkan Pasal 37 UU Nomor 4/2008 hukumannya pun akan ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Dugaan pendanaan oleh warga asing yang tengah diselidiki oleh pihak kepolisian juga menjadi perhatian khusus. Menurut Yohana, ada ancaman kejahatan jaringan internasional di sini.

"Warga asing ini bisa dijerat Pasal 33 UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi. Tersangka akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 7,5 miliar," kata Yohana.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, Netty Prasetyani Heryawan mengatakan, sejak dua hari yang lalu hingga saat ini, sebanyak tiga anak korban video porno telah mendapatkan penanganan rehabilitasi di Shelter Rumah Aman P2TP2A. Korban diberikan advokasi berkala dalam memulihkan kondisinya.

Mereka juga diberikan pendampingan secara intens dengan tenaga ahli seperti psikolog serta meminimalisasi paparan dengan orang dewasa yang tidak terkait dengan kasus tersebut. "Hal tersebut bertujuan untuk melindungi anak korban dari segala dampak negatif, seperti menarik diri dari pergaulan karena malu, trauma, hingga timbul keinginan untuk melakukan hal negatif," ujar Netty.

Hukuman mati

Kemunculan kasus video porno yang melibatkan anak menjadi tantangan baru dalam perlindungan anak. Sebelumnya, berbagai laporan perihal kejahatan pedofilia bermunculan. Yang terbaru dan menuai perhatian publik adalah praktik sodomi yang dilakukan Ws alias Babeh di Tangerang, Banten, terhadap 41 orang anak.

Maraknya kasus kejahatan pedofilia juga menuai keprihatinan dari berbagai kalangan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) meminta pemerintah segera merampungkan peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah (PP), untuk mengatur teknis hukuman kebiri atau pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17/2016, maka pengaturan tentang teknis kebiri perlu diatur.

Untuk itu, menurut dia, Komnas PA sangat mendukung PP supaya ditandatangani dan disahkan sesegera mungkin oleh Presiden Joko Widodo. "Karena PP ini menjadi pegangan para hakim untuk menetapkan putusan kalau nanti menetapkan hukuman kebiri atau pelaksanaan alat pendeteksi elektronik, mekanismenya bagaimana sehingga perlu ada PP-nya," katanya, Senin (8/1) malam.

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia bahkan menyebut perlu ada pemberatan hukuman bagi pelaku. Hukuman kebiri kimia sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 17/2016 dinilai tidak cukup.

Menurut Ketua LPAI Seto Mulyadi, pelaku kejahatan pedofilia pantas diganjar hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman mati. "Jadi tidak hanya dengan hukuman kebiri, terus dia (pelaku) bisa setop. Karena kejahatan seksual itu bukan hanya muncul dari kekuatan libidonya, melainkan niat jahatnya untuk merusak anak," kata Kak Seto, sapaan akrabnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Endang Srikarti Handayani, memandang pedofilia merupakan perilaku terjahat di dunia. Ia bahkan menilai hukum buatan manusia dalam bentuk UU tidak perlu dilihat.

"Enggak perlu dasar payung hukum lagi. Itu kejahatan yang tidak termaafkan," ujar Endang, Senin (8/1).

Bagi Ketua Lembaga Perlindungan Anak DIY Sari Murti Dewi, aturan hukum pelaku kejahatan pedofilia bukan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kasus kejahatan pedofilia. Ada hal lain dari sisi psikologis sehingga membuat korban pulih kembali.

(gumanti awaliyah/santi sopia/neni ridarineni, Pengolah: ed: muhammad iqbal).

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini