icon-category Travel

Mengintip Dinginnya Ruang Eksekusi Mati di Jepang

  • 07 Sep 2018 WIB
Bagikan :

Tidak banyak ornamen di ruangan persegi itu, hanya gambar kotak merah yang terletak di bagian tengahnya. Dindingnya dilapisi kayu berwarna cokelat, lantainya putih, dengan jendela kaca besar di salah satu sisinya. Tidak ada mebel satu pun. 

Kesan ruangan itu dingin, tenang, polos tanpa tedeng aling-aling. Bisa dimaklumi jika nuansanya seperti itu. Pasalnya, hiasan atau kalimat ingar-bingar tak diperlukan di sini, yang ada hanya keheningan, lalu kematian. Inilah ruang eksekusi mati di Tokyo, Jepang.

Foto-foto ruangan ini diunggah AFP Agustus lalu, sebulan setelah digunakan untuk eksekusi mati para pengikut sekte Aum Shinrikyo termasuk pemimpinnya Shoko Asahara. AFP pada Jumat (7/9) memaparkan metode lengkap eksekusi mati di Negeri Sakura tersebut.  

Jika diperhatikan, ada gambar kotak merah di tengah ruangan itu. Di situlah tempat tereksekusi mati berdiri. Mata mereka ditutup, tangan dan kaki diikat. Lantas tali yang menggantung di langit-langit dililitkan ke leher mereka. 

Tombol ditekan, lantai terbuka, tahanan terjatuh dengan tali yang mencekik mereka hingga tewas. Hitungan detik, nyawa lepas dari badan.

Menurut AFP, para algojonya bukanlah orang profesional. Mereka adalah sipir penjara yang sehari-hari menjaga tahanan mati tersebut. Tugas mereka adalah memencet beberapa tombol secara bersamaan dari ruang di sebelahnya, terhalangi tembok sehingga tidak bisa melihat kematian napi. 

Salah satu tombol ini akan membuka lubang di lantai. Namun para algojo tidak tahu tombol mana yang jadi alat mekanisme pembuka lubang. Untuk para algojo ini, Jepang memberikan uang bonus masing-masing 20 ribu yen, sekitar Rp 2,6 juta.

Mantan sipir, Toshio Sakamoto, mengatakan pemandangan eksekusi mati itu "tak tertahankan". 

"Mengerikan, tubuh memantul seperti objek 70 kg di tali nilon," kata Sakamoto. 

Jepang adalah salah satu negara industri maju terbesar dunia yang masih menerapkan hukuman mati. Tidak ada niat pemerintah untuk menghapuskannya.

Di bawah undang-undang Jepang, narapidana harus dieksekusi dalam waktu enam bulan setelah vonis mati dijatuhkan pengadilan. Tapi kenyataannya, waktu menunggu mati itu bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Asahara contohnya, yang baru dieksekusi pada 2018 setelah divonis mati pada 2004 usai pembantaian dengan senjata kimia di stasiun bawah tanah Tokyo tahun 1995. 

Saat ini total ada 110 napi di Jepang yang menanti eksekusi. Menurut Amnesty International dalam pernyataannya, para napi ini baru diberi tahu mereka akan menemui ajal selang beberapa jam sebelum eksekusi.

"Bahkan beberapa tahanan tidak diberi tahu sama sekali," kata Amnesty International.

Sedangkan keluarga napi di Jepang baru diberi tahu setelah eksekusi mati dilakukan. Selama menanti kematian, para napi ini ditahan di ruangan isolasi, sendirian tanpa kepastian.

"Napi yang ditahan di ruang isolasi menderita kesedihan karena tidak tahu kapan mereka akan dihukum mati, terkadang selama puluhan tahun," lanjut Amnesty International.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini