| May 3, 2016 09:00 am
Captain America adalah contoh
superhero dengan popularitas yang awalnya semenjana, namun semakin terangkat berkat konsep
shared-universe yang diusung oleh Marvel Studios, atau disebut Marvel Cinematic Universe (MCU). Indikasi ini dilihat dari film pertamanya,
Captain America: The First Avenger (2011) yang jadi film produksi Marvel dengan angka
box office terendah. Namun, seiring penampilannya bersama
superhero Marvel lain di film
The Avengers (2012), perhatian terhadap Captain America melesat di film keduanya,
Captain America: The Winter Soldier (2014), yang lebih sukses di
box office maupun di mata kritikus.
Di sisi lain, karena berkonsep
shared-universe, film-film MCU sedikit banyak akan saling terkait antara yang satu dengan yang lain. Sehingga, jika suatu film disebut sekuel dari satu sosok
superhero Marvel, bukan berarti ceritanya langsung melanjutkan film sebelumnya. Gambaran ini sangatlah nyata untuk Captain America, yang film-film solonya nyaris tak bisa dikaitkan secara langsung, karena selalu ‘bergantung’ pada plot film-film
Avengers. Plot film ketiganya,
Captain America: Civil War pun pada dasarnya adalah lanjutan dari
Avengers: Age of Ultron (2015), ditambah kaitannya dengan
The Winter Soldier.
Setelah organisasi pertahanan S.H.I.E.L.D. kolaps di klimaks
The Winter Soldier, para
superhero kini bergabung dalam tim Avengers yang bekerja independen dalam melindungi dunia. Akan tetapi, setelah beberapa kali upaya menyelamatkan dunia, termasuk yang terjadi di Sokovia pada klimaks film
Age of Ultron, pemerintah dunia mulai waswas dengan keberadaan para
superhero ini. Sebuah perjanjian pun hendak diresmikan PBB, agar para
superhero hanya dapat beraksi di bawah pengawasan pemerintah-pemerintah.
Tony Stark alias Iron Man (Robert Downey Jr.) adalah yang pertama menyetujui perjanjian ini, setelah melihat dampak dari aksi tim Avengers menimbulkan kerusakan dan korban dari warga sipil. Namun, ide ini ditentang oleh Steve Rogers sang Captain America (Chris Evans), karena itu berarti ruang gerak mereka dibatasi oleh pemerintah-pemerintah, yang belum tentu punya niat dan kepentingan yang memihak orang-orang membutuhkan.
Di tengah silang pendapat ini, terjadi penyerangan dalam rapat pengesahan perjanjian tersebut, dan sosok Bucky Barnes alias Winter Soldier (Sebastian Stan) dituduh sebagai dalangnya. Steve ragu akan tuduhan ini, karena sekalipun Bucky dirancang jadi mesin pembunuh untuk organisasi jahat HYDRA, Bucky pernah membuktikan masih punya hati nurani dengan menyelamatkan nyawa Steve-–di bagian akhir film
The Winter Soldier. Pencarian Steve terhadap Bucky membuatnya melanggar ketentuan yang telanjur berlaku untuk para
superhero. Berhubung tak mungkin mengandalkan kekuatan manusia biasa, dikerahkanlah Iron Man dan tim Avengers lainnya untuk meringkus Steve.
Dari segi penggarapan dan dasar cerita,
Civil War kembali melanjutkan corak yang sukses ditampilkan dalam
The Winter Soldier, yang memang diarahkan sutradara yang sama, Anthony dan Joe Russo. Tak terlalu bergantung pada elemen
out of this world, film ini mengusung tema konspirasi dan perang prinsip yang humanis, dengan mengangkat dua pandangan berlawanan yang sama-sama beralasan, ditambah motivasi-motivasi personal lainnya. Gaya penataan adegan laga yang cenderung keras,
grounded, dan berlaju kencang, yang sebelumnya sukses memukau di
The Winter Soldier, juga kembali ditampilkan di
Civil War dengan skala yang lebih besar.
Akan tetapi, daya jual utama dari film ini tentu saja kehadiran para
superhero dalam jumlah banyak sekaligus di luar film-film
Avengers. Selain yang sudah disebut di atas, film ini dijejali tokoh-tokoh berkeahlian khusus dari MCU lainnya, seperti Black Widow (Scarlett Johansson), Hawkeye (Jeremy Renner), War Machine (Don Cheadle), Vision (Paul Bettany), Falcon (Anthony Mackie), hingga Ant-Man (Paul Rudd). Film ini juga jadi perkenalan dua
superhero yang baru bergabung di MCU, yaitu Black Panther (Chadwick Boseman) dan Spider-Man (Tom Holland). Tetapi, dengan banyaknya ‘bintang tamu’, bagaimanakah film ini tetap jadi filmnya
Captain America?
Di atas kertas, film ini memang tetap berpegang pada sudut pandang sang kapten. Bagian awal dan akhir kisah film ini pun digerakkan pada pencarian Steve terhadap Bucky, sahabat terbaiknya sejak kecil dan satu-satunya penghubung yang tersisa bagi Steve ke kehidupan yang ia kenal di masa lalu—perlu diingat Steve sempat tertidur beku dalam es di masa Perang Dunia II lalu dibangunkan lagi 70 tahun kemudian oleh S.H.I.E.L.D.
Kemudian datanglah Tony yang mempertanyakan keberpihakan Steve, sebab Bucky jelas adalah antek HYDRA yang berbahaya. Di sinilah masuk konflik batin di antara karakter-karakter ini, yang membuat pertarungan mereka pun jadi terasa emosional, dan ini dipresentasikan dengan sangat baik terutama di bagian akhir filmnya.
Namun, sulit untuk tak melihat bahwa garis cerita utama tersebut banyak terdistraksi oleh berbagai peristiwa dan karakter yang muncul di antaranya. Penuturan film ini kemudian menjadi terulur-ulur dengan terlalu banyak memutar dan terlalu ramainya karakter yang wajib dimunculkan, terlepas dari benar-benar perlu atau tidaknya mereka untuk dimunculkan. Ini termasuk upaya ‘numpang promosi’ dari dua
superhero baru yang akan dibuatkan filmnya sendiri, Black Panther dan Spider-Man, serta menambah eksistensi dari
superhero lain yang mungkin tak akan dibuatkan filmnya sendiri.
Memang jadinya ramai, tapi potensi maksimal dari film ini harus tertunda akibat kewajban tersebut. Salah satu korban paling terkena imbasnya adalah tokoh antagonisnya, Zemo (Daniel Brühl) yang hanya muncul sesekali dan tidak memberikan dampak mengancam yang signifikan. Mungkin akan muncul dalih bahwa memang modus Zemo harus
low profile di saat para
superhero sedang ribut sendiri. Tetapi, dengan skema jahat berskala besar dan kompleks yang dibuatnya, sayang sekali kehadirannya tampak terlalu dilemahkan.
Civil War pada akhirnya menjadi film dengan rangkaian
spectacle yang menghibur dan memanjakan mata serta telinga, tetapi belum kuat sebagai satu penuturan cerita yang utuh—membuatnya tidak seimpresif
The Winter Soldier yang bertutur kuat dari awal sampai akhir. Untung saja adegan-adegan laga dan humornya mampu memberikan kesegaran. Apalagi, para penonton dan penggemar akan digirangkan dengan pameran kekuatan para
superhero lewat adegan pertarungan akbar dua kubu yang disajikan apik dan menyenangkan. Jadi, setidaknya film ini sudah menunaikan tugasnya untuk menghibur, dan sekali lagi memperkuat
brand Marvel yang akan penting untuk kesuksesan film-film MCU selanjutnya.