Omong Kosong Citra Hollywood Livi Zheng
Livia Notohardjo, lebih dikenal Livi Zheng, muncul di publik tanah air dengan nama langsung semerbak. Ia kembali ke Indonesia usai merantau di Los Angeles, Amerika Serikat, melalui karpet merah dengan embel-embel “Hollywood.” Filmnya, Brush with Danger, “berhasil” lolos seleksi nominasi Academy Award bersama 322 film lain pada 2015.
Siapa yang bisa menolak pesona “prestasi anak bangsa” yang berkilauan macam itu? Maka, ketika siaran pers mengenai gadis Blitar dengan sederet prestasi perfilman itu disebar, hampir seminggu dua kali, media menelannya mentah-mentah. Livi disambut gempita. Prestasi Livi dirayakan. Livi dielu-elukan sebagai sineas muda dari Indonesia yang menginspirasi dan mampu “menembus Hollywood.” Livi, atau siapa pun di belakangnya, tahu betul bahwa Hollywood adalah kunci dari segala perkara perfilman duniawi. Akan tetapi, benarkah Livi menembus Hollywood? Sebaiknya kita tak perlu terburu-buru. Boleh jadi Brush with Danger termasuk salah satu film Hollywood. Film itu diproduksi di Amerika Serikat oleh Sun and Moon Films, rumah produksi berbasis di Amerika Serikat. Livi, secara kebetulan, jika tak ingin dibilang disengaja, memang tinggal di Los Angeles. Ia tinggal di mansion mewah dengan alamat 4715 Los Feliz Boulevard, kawasan super elite di LA dengan nilai properti hampir 2,5 juta dolar. Hal itu tentu memudahkannya mendapat label sutradara yang memproduksi film di Hollywood. Wong, ia tinggal di sana. Tapi, apakah hal itu serta merta membuatnya menjadi sineas Hollywood? Jawabannya: belum tentu.Hollywood, kawasan di LA, California, dalam dimensi kesineasan, adalah suatu komunitas: Anda perlu menempuh jalan terjal dan panjang dan membawa kualitas bagus agar dapat memasuki lingkaran super elitenya. Istilah yang mungkin lebih tepat buat Livi Zheng adalah LA-based filmmaker atau sineas yang bertempat tinggal di LA. Namun, demi mendongkrak nilai jual, nama Hollywood disematkan. Tidak salah, memang, tapi juga tidak tepat. Tak cuma embel-embel “Hollywood,” Livi memakai manuver lebih berbahaya: menyematkan diri dengan Piala Oscar, ajang bergengsi industri Hollywood dan film dunia. Maka, klaim Brush with Danger masuk seleksi nominasi Oscar membuat Livi makin terlihat super keren. Kendati sebagian media dan pihak mulai mencium sesuatu yang amis pada klaim tersebut, toh ia tetap bergeming. Selayaknya pesan yang disampaikan dengan cara diteruskan, informasi mengalami distorsi. Fakta Brush with Danger lolos seleksi administratif nominasi Oscar itu—sejatinya bisa dipenuhi hampir semua film, bagaimanapun kualitasnya—berubah narasi menjadi “masuk nominasi Oscar”. Dan, Livi tak pernah mengklarifikasinya. Begitulah cara ia menjaga citra “Oscar” pada filmnya. Belum lagi perkara The Legend of The East, film yang diproduserinya yang menyabet penghargaan Madrid International Film Festival untuk kategori film berbahasa asing pada 2014. Rupanya festival itu merupakan pseudo-festival atau festival bodong. Citra yang sedemikian aduhai itu tentu tak lengkap tanpa campur tangan media. Agar lebih meyakinkan, Livi selalu menyertakan pemberitaan-pemberitaan luar negeri dalam setiap promo film atau karyanya. Dalam promo Bali: Beats of Paradise, misalnya, secara konsisten media mengutip ulasan dari Los Angeles Times yang menyebut film dokumenter itu: “It’s entertaining”. Padahal, dalam ulasan hanya tiga paragraf yang ditulis seseorang bernama Kimber Myers, justru lebih banyak kritik ketimbang pujian. Kalimat lengkapnya: It’s entertaining but slight, particularly as it bulks up with the post-credits inclusion the video. (“Film ini sesungguhnya punya sedikit sisi hiburan. Tapi, hal itu pun tidak jadi maksimal karena sutradara memutuskan mengakhiri film dengan menayangkan video klip garapannya.”) Mesin publisis di belakang Livi Zheng juga menyertakan kliping berita dari portal online manapun tanpa memedulikan kredibilitas. Misalnya Zimbabwe News, yang bahkan bukan portal media sungguhan. Terang sudah: mesin humas Livi Zheng memanfaatkan perangai masyarakat Indonesia yang gampang silau dengan sesuatu dari luar negeri, apalagi dengan embel-embel “mengharumkan nama bangsa”, “Hollywood”, dan “Oscar”.Campur Tangan Klan The Hok Bing
Jika deretan prestasi masih belum cukup menggaet simpati publik, jurus berikutnya adalah melodrama, cerita perjuangan penuh keringat dan kekecewaan serta penolakan. Publik suka kisah motivasional macam itu.
Di beberapa wawancara, seperti di NET TV pada program Satu Indonesia, Livi bercerita sering diremehkan saat memulai karier di Hollywood. “Mereka bilang akan sulit. Pertama aku perempuan, Asia, dan muda. Udah susah,” katanya. Cerita itu ditambahkan dengan kisah kemandiriannya yang ia bilang sendiri sudah tertanam sejak remaja kendati lahir dari keluarga kaya. “Aku sudah bekerja sejak tingkat 10 (setara kelas satu SMA). Sama sekali tidak dibantu keluarga untuk karierku di film,” jawab Livi dalam kuliah umum di salah satu kampus swasta di Jakarta, pekan lalu, yang kami datangi. Audiens terlihat kagum. Dalam imajinasi mereka, sangat mungkin, tergambar bayangan macam ini: Perempuan muda Indonesia, berprestasi, mampu menaklukkan Hollywood lantaran kerja kerasnya tanpa bantuan siapa pun. Namun, faktanya berbicara lain. Rumah produksi Sun and Moon Films, yang memproduksi Brush with Danger dan Bali: Beats of Paradise, adalah milik Lilik Juliati alias Lili The Hok Bing, yang tak lain adalah ibu Livi. Sementara pada wawancara dengan marketeers.com, Livi mengaku mendirikan Sun and Moon Films pada 2012. Namun, dalam wawancara dengan kami, Livi mengubah pernyataannya sendiri: “Aku hanya bekerja di Sun and Moon Films.” Kami bertemu Mawardi, bukan nama sebenarnya, mantan asisten Livi, yang bercerita bahwa segala bentuk publisitas mengenai Livi harus dengan persetujuan sang ayah, Gunawan Witjaksono atau The Hok Bing—biasa dipanggil 'Pak Bing' oleh karyawannya. “Pak Bing bisa merevisi 20 kali untuk satu siaran pers saja. Dia perhatikan sampai titik komanya. Semua konten di media sosial Livi juga harus persetujuan dia,” ujar Mawardi. Mawardi bercerita kepada kami bagaimana Livi menjawab pertanyaan-pertanyaan media dan harus selalu didampingi Sinta Kurniati Arifin, manajer Livi dan sekretaris Gunawan. Sinta diduga pimpinan PT Negara Agung Film, rumah produksi Bali: Beats of Paradise, di Indonesia. “Kalau pertanyaannya belum pernah di-brief, Livi enggak akan jawab. Karena kalau salah ngomong, dia bisa diomelin ayahnya,” lanjut Mawardi. Mawardi berkata mantan bosnya itu, dan seluruh staf promo Brush with Danger, berkantor di NAM Centre Hotel, Kemayoran, Jakarta Pusat.
‘Clueless Director’
Nyatanya, Livi Zheng tak lebih dari anak muda dengan talenta biasa saja, yang kebetulan anak orang super kaya sehingga punya privilese ke Hollywood.
Itu dikemukakan oleh Surti, bukan nama sebenarnya, warga negara Indonesia yang berdomisili di Los Angeles. Surti kerap bertemu Livi di acara kumpul-kumpul sesama WNI. Kolega Surti pernah bekerja dengan Livi di set film. Ia menyebut Livi sangat tidak profesional. “Dia kayak enggak tahu mau ngapain sebagai director. Banyak kru yang ngelus dada karena dia kaya anak kecil baru lulus kuliah yang bikin film. Leadership skillnya nol,” jelas Surti di LA saat via WhatsApp. “Kru bertahan kerja hanya karena satu alasan: duitnya banyak. Dia bahkan bisa sewa lokasi dengan harga berapa pun tanpa nawar. Contohnya waktu sewa lokasi dengan kisaran harga 5-10 ribu dolar AS,” kata Surti.Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.
Editors' Picks
Most Popular
Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini