icon-category Sport

Paulo Dybala: Permata yang Disia-siakan Juventus

  • 01 Aug 2019 WIB
Bagikan :

Sejak 2017, Paulo Dybala menyadari kalau masa depannya di Juventus tidak akan banyak dipengaruhi dirinya sendiri. Tak peduli seberapa besar tekadnya untuk membela Juventus sampai mampus, Dybala tahu kalau akan ada titik ketika Si Nyonya Tua tak membutuhkannya lagi.

"Saya tidak bisa menjamin saya akan berada di Juventus selamanya. Keputusan seperti itu tidak bergantung pada diri saya," tutur Dybala seperti diwartakan Calciomercato saat itu.

Selain karena kesadaran akan situasinya, saat itu Dybala tak menyembunyikan kekecewaan pada klubnya. Dia merasa Juventus terlalu mudah melepas pemain macam Paul Pogba dan Dani Alves, yang menurut Dybala bisa membawa prestasi signifikan jika dipertahankan di Turin.

"Saya harus mengakui kalau saya sangat merindukan Dani Alves dan Pogba. Alves memiliki visi dan kepercayaan diri yang hebat, dia salah satu pemain terbaik yang pernah saya lihat. Pogba adalah kawan terdekat saya, kami punya hubungan yang bagus di dalam dan luar lapangan," jelas dia.

Dua tahun kemudian, La Joya akan mengalami apa yang sudah dilakukan Juventus kepada Alves dan Pogba. Seperti diwartakan Goal, pada bursa transfer musim panas 2019 ini, Juventus membuka negosiasi dengan klub manapun yang bersedia merekrut Dybala dengan mahar minimal 100 juta paun.

Tak lama berselang, gayung bersambut. Manchester United, klub asal Inggris, menawarkan Romelu Lukaku--striker yang diidam-idamkan Maurizio Sarri--sebagai opsi pertukaran dengan Dybala. SkySports melaporkan, Selasa (30/7/2019) lalu, agen Dybala telah tiba di Manchester untuk menghadiri negosiasi dengan pihak Manchester United dan Lukaku.

Hingga saat ini, manajer MU, Ole Gunnar Solskjaer belum menjamin pertukaran antara Lukaku dan Dybala bakal terlaksana.

"Saya tidak berbicara untuk rumor atau spekulasi apapun tentang pemain lain. Tapi tentu, kami sedang bekerja dalam satu atau dua transfer, seperti yang saya katakan sebelumnya. Masih ada 10 hari sebelum liga dimulai dan kami berharap bisa mengumumkan satu atau dua pemain baru," tutur Solskjaer.

Kepindahan Dybala sangat mungkin terlaksana. Keberadaan Paul Pogba, pemain yang punya hubungan dekat dengannya semasa berseragam Juventus disinyalir bakal jadi magnet yang bisa menarik Dybala mendekat ke Old Trafford.

Tak Mendapat Peran Konsisten

Juventus barangkali akan mendapat keuntungan untuk musim depan dengan kehadiran nama-nama macam Matthijs de Ligt sampai Aaaron Ramsey. Namun jika Dybala pergi, bukan tidak mungkin kerugian yang bakal dialami Si Nyonya Tua juga setimpal.

Sebab Dybala, seperti yang pernah dikatakan direktur olahraga Juventus Fabio Paratici, "memenuhi segala kriteria untuk menjadi seorang legenda Juventus."

Dia punya intelejensi dan kemampuan individu di atas rata-rata, memperkuat Juventus sejak usia relatif muda, dan punya kepribadian baik di dalam dan luar lapangan.

Namun pada akhirnya, segala kelebihan Dybala itu dikalahkan takdir. Dan perihal takdir, Dybala adalah pemain yang memahami betapa kejamnya dinamika hidup sebagai pesepakbola.

"Hidup sebagai pesepakbola bagaikan menaiki roller coaster. Suatu hari Anda akan dianggap sebagai yang terbaik, tapi bisa jadi hari berikutnya Anda menyadari diri sebagai orang tak berguna dan mencari keseimbangan bukanlah sesuatu yang mudah," ucap Dybala dalam wawancara dengan Calciomercato, April lalu.  

Hidup Dybala memang bagai roller coaster.

Moncer sebagai striker belia, kejayaannya dimulai dengan keberhasilan menjaringkan 13 gol dan 10 assist dari 34 laga Serie A saat memperkuat Palermo pada musim 2014-2015. Potensi luar biasa itu kemudian menarik Juventus untuk merekrut Dybala yang masih berusia 21 tahun.

Di musim pertama, Juventus menuai timbal balik dari dana 40 juta euro yang mereka gelontorkan. Diplot sebagai striker, Dybala mampu menyarangkan 19 gol dan sembilan assist dari 34 laga Serie A.

"Dybala adalah pemain yang bagus dan punya intelegensi tinggi,”"puji mantan pelatih Juventus, Massimiliano Allegri, Mei 2016. 

Pada musim keduanya di Turin, Allegri mulai menuntut hal lebih dari Dybala. Fakta bahwa Dybala berasal dari Argentina (sama dengan Lionel Messi) bikin semua orang meyakini Dybala adalah calon penerus Messi.

Allegri sempat mengingatkan publik agar tak membanding-bandingkan Dybala dengan Messi.

"Mereka mungkin sama-sama mengandalkan kaki kiri, tetapi keduanya berbeda secara fisik. Bagaimana cara mereka menggerakkan bola di lapangan pun berbeda," tutur Allegri kepada Goal saat itu.

Namun faktanya, si pelatih sendiri mulai menuntut Dybala berperan lebih banyak, sebagaimana Messi.

Di tahun kedua Dybala, Allegri mulai menempatkan Dybala bukan sebagai ujung tombak, melainkan pemain yang berdiri di belakang striker. Sebagai penegasan atas tujuan tersebut, Allegri mendatangkan rekan senegara Dybala yang juga tandem Messi di Argentina, Gonzalo Higuain untuk diplot sebagai tandem Dybala.

Dybala sebenarnya menjawab ekspektasi ini dengan baik. Dua musim menjadi tandem Higuain, ketajamannya sama sekali tak berkurang. Dalam 64 laga di dua musim Serie A dia mampu mengemas 33 gol dan 12 assist.

Masalah baru terdeteksi ketika Allegri mendepak Higuain dari Juve pada musim 2018/2019.

Terbiasa bermain sebagai pemain yang berdiri di belakang Higuain bikin Dybala kesulitan saat tandemnya pergi. Maka, Allegri pun memilih memasang Mario Mandzukic sebagai ujung tombak andalan selama semusim terakhir.

Situasi semakin parah ketika Allegri mulai banyak mengandalkan skema 4-3-3. Tak ada tempat di belakang striker karena ketimbang menempatkan Dybala sebagai gelandang, Allegri jelas lebih memilih memplot pemain yang lebih punya kemampuan murni di pos tersebut, sebut saja Miralem Pjanic, Sami Khedira atau Emre Can.

Kehadiran Cristiano Ronaldo pada musim yang sama menjadi batu sandungan terakhir untuk Dybala. Ronaldo mendapat posisi paten di sayap kiri dan mau tak mau Dybala lebih banyak bermain sebagai winger kanan.

Posisi ini jelas tidak ideal karena Dybala merupakan pemain kidal. Selain itu, Dybala jelas tak cocok bermain sebagai winger dalam sepakbola modern. Sebab dia bukan pemain yang didesain untuk membantu tim bertahan di tepi lapangan, seperti yang dilakukan winger-winger sepakbola modern pada umumnya.

Hasilnya bisa ditebak. Selama musim 2018/2019 Dybala lebih banyak turun sebagai pemain pengganti. Rapornya juga menurun drastis, cuma bisa mengemas lima gol dan empat assist dari 30 laga Serie A.

Kedatangan pelatih anyar Juventus, Maurizio Sarri pada musim panas ini sempat mengembuskan sedikit angin segar. Kepada media-media Italia, Sarri mendaku punya berbagai skenario untuk melibatkan Dybala dalam komposisinya.

"Saya pikir Dybala bisa menjadi false nine, karena kami bisa bermain dengan skema sedikit berbeda, misal dengan 4-3-1-2 dengan Dybala berdiri tepat di belakang dua striker," kata Sarri seperti dilansir Football-Italia.

Namun faktanya, janji Sarri sejauh ini belum terlihat. Sepanjang tur pramusim, mantan juru taktik Napoli dan Chelsea itu tetap lebih banyak mengandalkan komposisi 4-3-3 favoritnya. Dan sebagaimana pada era Allegri, tak banyak opsi yang dia berikan untuk Dybala.

Kini, yang dibutuhkan Dybala adalah tim yang mau memberikan kesempatan baginya untuk bermain di posisi ideal. Entah sebagai ujung tombak atau false-nine seperti saat di Palermo atau menjadi tandem tunggal seorang striker murni. Dan apabila Ole Gunnar Solskjaer bisa menjamin kemungkinan itu, menjatuhkan pilihan pada MU bukanlah opsi buruk untuk Dybala.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA EROPA atau tulisan menarik lainnya Herdanang Ahmad Fauzan

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini