icon-category Technology

Smartphone Termurah di Dunia Rp49.000

  • 02 Jul 2016 WIB
Bagikan :
alt-img | July 2, 2016 5:30 am

Aktivis pembela hak pekerja India belum lama ini menyatakan kekhawatirannya atas produksi telepon genggam pintar murah seharga empat dolar Amerika Serikat yang dapat mengancam kesejahteraan buruh pabrik.

Meski demikian, produsen gawai berdalih, harga murah dimaksudkan agar penduduk miskin dapat memiliki telepon genggam, walaupun jumlahnya di pasar hanya sebanyak sepuluh persen.

Kelompok pembela hak buruh khawatir, telepon seluler dan komputer tablet murah dapat mengancam hak para pekerja di India, negara dengan pertumbuhan pasar telepon pintar tertinggi di dunia.

Telepon bernama Freedom 251, produksi Ringing Bell, diluncurkan pada Februari lewat laman perusahaan itu seharga 251 rupee atau sekitar Rp49 ribu.

Gawai itu dianggap sebagai telepon pintar dengan sistem operasi Android termurah di dunia.

Direktur pelaksana Ringing Bell, Mohit Goel mengatakan, distribusi pertama untuk 200 ribu telepon akan dilaksanakan minggu depan.

Perusahaan itu mengaku telah memberi gaji yang sepadan bagi para pekerjanya, mengingat model yang lebih mahal akan membantu menutup ongkos produksi telepon seharga empat dolar AS itu, tambahnya.

“Misi kami adalah membuat telepon terjangkau oleh jutaan rakyat miskin di India yang tak memiliki alat itu,” kata Goel.

India telah menjual 103 juta telepon seluler pada tahun lalu – angka itu meningkat sebanyak 29 persen dibanding periode tahun sebelumnya.

Negara itu memiliki pasar yang cukup potensial, pasalnya hanya satu dari sepuluh penduduk India memiliki telepon genggam.

Meski nyatanya, pihak tersebut menempati kalangan bawah yang pasarnya sudah diisi banyak produsen telepon merek lokal dan asing dengan harga kompetitif sekitar 25 dolar AS.

Namun, tekanan untuk membuat telepon murah sering berdampak pada kecilnya upah bagi pekerja.

Hal itu banyak dilakukan melalui kontrak kerja murah dan tuntutan lembur yang tak dibayar, kata pihak aktivis.

“Pihak produsen bertanggung jawab atas rantai produksi dan kondisi pekerja,” ujar Gopinath Parakuni, Sekretaris Umum Cividep, kelompok pembela hak buruh.

“Regulasi negeri ini tidak cukup menjamin hak buruh di industri elektronik,” tambahnya.

‘Siapa yang membayar?’ Cividep dan grup pembela hak buruh industri elektronik Amsterdam, GoodElectronics melansir laporan pada bulan lalu, bahwa Samsung Electronics, perusahaan paling unggul di pasar telepon genggam India diduga memberi gaji tak sepadan bagi para pekerjanya.

Perusahaan itu juga dianggap tak memberi ruang perundingan yang efektif bagi para buruh.

Juru bicara Samsung India mengatakan, perusahaan telah memenuhi seluruh regulasi terkait tenaga kerja dalam operasi bisnisnya.

“Keadilan dan penghormatan atas nilai merupakan dasar yang membentuk bisnis kami,” ungkap juru bicara itu.

Perlu diketahui, sekitar 100 produsen telepon genggam India mengimpor produknya dari China dan Taiwan.

Alhasil, Perdana Menteri Narendra Modi memprakarsai gerakan “Dibuat di India” pada 2014 guna mengatasi derasnya laju impor produk China.

Produsen telepon genggam asal China, Xiaomi akhirnya mulai membuat produk lokalnya dalam pabrik yang dibangun di negara bagian Andhra Pradesh, wilayah selatan India.

Prakarsa “Dibuat di India” digalakkan guna menarik minat para investor, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan membuka lapangan kerja di industri elektronik dan garmen.

Namun, gerakan itu kurang memperhatikan dampak bisnis tersebut bagi para pekerja, kata pihak aktivis.

Pasalnya, buruh masih dihadapkan pada aturan kerja kuno, mendapatkan gaji kecil, fasilitas sedikit, dan rendahnya tingkat keamanan kerja, ungkapnya.

Situasi semacam itu khususnya dialami di sektor usaha yang seringkali mengabaikan aturan keselamatan kerja dan mempekerjakan anak di bawah umur , tambahnya.

Laporan Asia Monitor Resource Centre, lembaga non-profit pemerhati buruh, berpusat di Hong Kong, pada 2013 menunjukkan, India adalah salah satu negara dengan “lingkungan kerja yang buruk bagi para buruh.” Akan tetapi, produksi telepon murah tak seluruhnya berhasil.

Pemerintah India pada 2008 mengungkap, laptop senilai sepuluh dolar AS akhirnya dijual dengan harga 100 dolar AS.

Bahkan, komputer tablet Android subsidi senilai 20 dolar AS kurang mampu menguasai pasar.

“Korporasi cenderung mengatakan telepon dan komputer murah merupakan alat menuju pemberdayaan digital dan demokrasi, kata Raphel Jose dari Centre for Responsible Business (CRB) di New Delhi.

“Namun, kita harus segera menghentikan hal ini dan bertanya, berapa harga riilnya? dan siapa yang membayar? pasalnya, murah nyatanya tak selalu baik,” ungkapnya mengakhiri. (Antara)

alt-img

Berita Terkait:

 

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : gadget tekno Suara 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini