icon-category Digilife

Tara Basro Bersuara Usai Dituding Sebarkan Pornografi di Medsos

  • 06 Mar 2020 WIB
Bagikan :

Tara Basro (Instagram @tarabasro)

Uzone.id - Tara Basro akhirnya bersuara setelah dibela oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) SAFEnet.

Sosial media sempat gaduh gara-gara artis berkulit eksotis, Tara Basro (29), mengunggah foto dirinya telanjang dan diberi teks “Worthy of Love" di laman Twitter pada Selasa (3/3/2020).

Bintang film "Perempuan Tanah Jahanam" itu menampilkan foto demikian karena ingin mengajak para wanita untuk mencintai tubuh sendiri.

Meskipun menjadi publik figur, Tara ingin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang apa adanya. Terlihat banyak lemak memang, namun Tara menyuarakan soal "body positivity".

Namun, gambar tubuh Tara Basro tanpa ditutup sehelai benang pun itu lenyap di Twitter. Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo berpendapat Tara Basro bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena memposting gambar yang disebut sebagai "asusila".

Baca juga: Punya Kulit Mulus, Pevita Pearce Jadi Bintang Iklan Skin Game

Ferdinandus Setu, PLT Kepala Biro Humas Kominfo, mengatakan jika gambar Tara Basro dalam keadaan telanjang itu belum dihapus bisa melanggar UU ITE Pasal 27 Ayat 1

"Karena mengandung unsur asusila. Yaitu menampilkan ketelanjangan," ujar Ferdinandus, Kamis (5/3/2020).

Ferdinandus lalu memberikan apresiasi terhadap Tara Basro sudah menghapus foto tersebut. Menurutnya, foto dihapus atas inisiatif Tara Basro sendiri.

Tara Basro Dibela SAFEnet

Tara Basro lalu menampilkan kembali pers rilis yang dibuat oleh SAFEnet di akun Instagram @tarabasro dan bisa kita lihat di situs https://id.safenet.or.id/.

Berikut pernyataan SAFEnet menanggapi pernyataan Kemenfominfo:

Lagi, dan lagi. Pasal karet 27 Ayat 1 UU ITE kali ini muncul menghadang kebebasan berekspresi perempuan. Adalah unggahan Tara Basro di media sosial yang dicekal dengan pasal karet ini, yaitu postingan Cerita Instagram yang sebuah gambar yang diberi teks “WORTHY OF LOVE” (terjemahan: layak mendapat cinta) dan postingan serupa di Twitter dengan tambahan teks “Coba percaya sama diri sendiri”.

Dalam kedua postingan adalah unggahan foto diri Tara yang menunjukkan tubuhnya dalam situasi tidak berbusana, namun dengan kondisi payudara dan alat kelamin yang tidak terlihat.

Mengawali kedua postingan di atas adalah postingan di Instagram (https://www.instagram.com/p/B9RiWERHeup) yang diposting pada 3 Maret 2020 pukul 8.58 WIB dan cuitan di Twitter (https://twitter.com/TaraBasro/status/1234840995906248704?s=20) pada hari sama di pukul 9.00 WIB.

alt-img
Instagram @tarabasro

Seluruh postingan yang disebut di atas ini diunggah Tara untuk menyuarakan body positivity, yaitu inisiatif untuk menghargai secara positif segala bentuk dan tampilan tubuh di luar dari mitos kecantikan yang diagungkan sebagai standar kecantikan di masyarakat dan bisa bersifat toksik, terutama bagi perempuan. Tetapi dua postingan yang kini sudah dihapus Tara dilabeli sebagai konten pornografi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Dilansir dari Tirto.id (https://tirto.id/soal-foto-tara-basro-dan-bagaimana-seharusnya-publik-bersikap-eCRr), pelabelan pornografi muncul dalam pernyataan Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinand Setu saat diwawancara oleh reporternya. Ferdinand menyebutkan bahwa konten yang diunggah Tara telah “menafsirkan ketelanjangan” dan memenuhi unsur Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang melanggar kesusilaan, meskipun bagian payudara dan vaginanya tertutup. Ia menyebutkan akan segera “take down” (menurunkan) dua postingan yang menunjukkan ketelanjangan tersebut bila tidak dilakukan oleh Tara sendiri.

SAFEnet melihat pelabelan pornografi pada unggahan Tara ini adalah tindakan abai dan buta konteks atas ekspresi yang dimaksud oleh Tara. Sebuah konten tidak hadir dalam ruang hampa. Produksi dan pemahamannya dipengaruhi dan dibatasi oleh konteks.

“Bahaya sekali ini,” ungkap Ellen Kusuma, Kepala Sub Divisi DARK (Digital At-Risks) SAFEnet yang fokus di isu kekerasan berbasis gender online. “Nanti seorang perempuan kalau melihat badannya tidak sesuai dengan standar kecantikan di masyarakat, makin tidak percaya diri, atau mendapatkan perundungan. Terus dengan pernyataan tidak sensitif seperti itu, datang dari institusi negara pula, selain mencekal suara perempuan, malah melanggengkan pemikiran bahwa tubuh perempuan adalah objek semata. Utamanya objek seksual. Dianggap sebagai objek pornografi. Mestinya dilihat konteksnya juga, tidak bisa hanya gambar saja.”

Menurutnya, pelabelan yang tidak tepat dan menyesatkan atas unggahan Tara Basro ini malah mengundang warganet untuk berbondong-bondong mencari tahu foto mana yang dimaksud. Di sisi lain, Ellen juga mengkritik bahwa Pasal 27 Ayat 1 UU ITE ini memiliki bias gender.

“Sebelumnya, Pasal karet 27 Ayat 1 UU ITE dipakai juga untuk menekan Youtuber Kimi Hime karena kontennya dianggap vulgar, sampai Kimi Hime harus menghapus kontennya. Selalu tubuh perempuan yang diatur-atur atau perempuan yang terkena dampak negatif lebih besar bila terkait dengan isu kesusilaan atau pornografi,” tambahnya.

Menanggapi pernyataan Ferdinand terkait konten pornografi di media sosial yang dikonsumsi anak, Ellen menyebutkan pemerintah harusnya mendorong peran orang tua dalam membimbing anak saat bernavigasi di media sosial.

Ellen melihat bahwa postingan Tara yang mengangkat isu body positivity adalah contoh yang baik dan juga bisa memantik diskusi dan mengedukasi publik agar tidak melakukan bentuk kekerasan berbasis gender online, seperti body shaming. “Warganet menanggapi postingan Tara dengan positif, melihatnya sebagai wujud self-love (terjemahan: mencintai diri sendiri), dan tidak melihatnya sebagai pornografi. Kominfo malah begini.”

Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi regional yang memperjuangkan hak-hak digital warga:

1. Menyayangkan pernyataan gegabah Kominfo yang melabeli postingan Tara Basro, yang menyuarakan body positivity, sebagai bentuk pornografi.

2. Mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang Pasal 27 Ayat 1 UU ITE yang tidak memiliki kejelasan unsur sehingga bersifat multitafsir dan pada implementasinya memiliki bias gender yang merugikan perempuan.

3. Mendorong pemerintah untuk memperhatikan dan melindungi hak-hak perempuan dalam bersuara di dunia maya.

4. Menganjurkan warganet untuk selalu mencerna konten di media sosial dengan melihat konteksnya juga.

Denpasar, 5 Maret 2020

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini