Sponsored
Home
/
Music

"A Deep Sleep", Jeritan Hati Rocker Berdasi

"A Deep Sleep", Jeritan Hati Rocker Berdasi
Preview
Yazir Farouk02 January 2017
Bagikan :

Tak dapat dipungkiri band progresif rock, Montecristo lahir dan tumbuh di lingkungan elite pekerja mapan yang sudah sukses secara finansial. Ide pembuatan band ini saja bermula dari ketidaksengajaan Eric Martoyo sang vokalis yang merupakan direktur di PT Sumbermitra Agungjaya dan Rustam Effendy (gitaris) menjabat direktur PT Indoaustra Utama bertemu di konser Dream Theater di Singapura 2006.

Meski lahir dan memainkan musik yang dianggap masyarakat Indonesia elitis tersebut, Montecristo tak sembarang dan main-main dalam berkarya. Buktinya, di album kedua berjudul A Deep Sleep yang baru saja dirilis Desember 2016, band yang juga diawaki Fadhil Indra (kibor), Alvin Anggakusuma (gitar), Haposan Pangaribuan (bass), dan Keda Panjaitan (drum) tetap menampilkan kegelisahannya sebagai musisi terhadap masalah sosial di Indonesia.

"Ya memang lewat lirik yang bertutur, kami menyampaikan cerita, menggarisbawahi pesan dan mengajak pendengar berkontemplasi. Lewat musik kami percaya bisa menyampaikan kegelisahan kami terhadap kondisi yang ada," ujar Eric saat ditemui di peluncuran album A Deep Sleep, Hard Rock Cafe, Jakarta Pusat baru-baru ini.

Tengok saja lagu Mother Nature, track kedua di album tersebut. Lagu ini bercerita soal perubahan fungsi hutan di Pulau Kalimantan. Dibuka dengan dentingan piano dari Fadhil dan balutan orkestra ditambah raungan gitar dari Rustam, lagu tersebut seakan mengajak pendengarnya membayangkan apa yang terjadi di Kalimantan saat ini akibat ketamakan manusia.

Menurut Eric, pada 1970 Pulau Kalimantan dijuluki sebagai Paru-Paru dunia karena mengandung banyak oksigen. Tapi kini julukan itu lenyap atas nama industrialisasi, modernisasi dan globalisasi.

"Lagu ini berangkat dari pengalaman saya, soal Ketapang kota kecil di Kalimantan Barat tempat saya lahir. Hutan-hutan dan suara burung dirampas demi ketamakan yang mengubah wajah kota secara drastis," tutur Eric.

Isu kebhinekaan juga ditampilkan Montecristo lewat lagu Rendezvous, track kesembilan. Lagu ini bercerita soal berkumpulnya kembali anggota band pascasibuk dengan keegoisan masing-masing personel setelah sukses.

Rendezvous juga bisa dijadikan renungan bagi masyarakat Indonesia yang pascapemilu 2014 masih terpecah belah akibat jagoannya kalah.

"Kita harus bersatu dalam perbedaan, singkirkan ego itulah Bhinneka Tunggal Ika," ujar Eric.

Selanjutnya ada lagu Nanggroe yang didekasikan untuk para korban tsunami Aceh Desember 2004. Lewat lagu ini, mereka ingin memotivasi para korban. Peluncuran album cukup tepat lantaran Aceh baru saja dilanda gempa.

A Deep Sleep dari Montecristo memang masih setia dengan formula musik prog lama, yakni Rock Berkisah yang didalam liriknya ada unsur sastra, filosofi, science fiction, legenda dan mitologi, serta sosial politik. Seperti dalam lagu Point Zero yang terinspirasi dari karya sastra Nawal El Saadawi, Alexander tokoh Alexander the Great, The Man In A Wheelchair dari Stephen Hawking, Simple Truth, Ballerina, A Deep Sleep dan A Blessing or A Curse.

Kesemuanya digabungkan dengan harmonisasi antara melodi kibor yang cepat, rumit serta distorsi gitar yang meraung sejak track pertama hingga akhir membuat pendengarnya tenggelam merenungi dan memaknai kehidupan yang begitu dalam. Tak pelak, Yockie Suryoparyogo yang hadir diperilisan album mengatakan kalau Montecristo berhasil menghadirkan komposisi yang lebih dewasa dibanding album perdana, Celebration of Birth.

"Album A Deep Sleep luar biasa dan di luar ekpektasi saya," puji Yockie.

Preview

populerRelated Article