8 Film Karya Sutradara Perempuan Terbaik yang Pernah Ada
Bukan hal baru lagi kalau industri hiburan, khususnya film dan musik, didominasi oleh pria. Apalagi untuk role penting yang ada di belakang layar semacam kru film, sutradara, dan produser. Namun, bukan berarti perempuan tak punya kesempatan untuk mengambil andil lebih, termasuk menjadi sutradara film.
Angelina Jolie bisa dibilang salah satu sutradara perempuan yang berhasil menelurkan film berkualitas, di samping karirnya sebagai seorang aktris. Tak hanya Angelina Jolie, berikut beberapa karya sutradara perempuan lain yang tak kalah kece. Wajib ditonton nih!Greta Gerwig di Lady Bird yang berhasil menarik perhatian banyak orang
Sanggup dapat pujian dari banyak orang, termasuk para aktivis perempuan, memperkuat keberhasilan Greta Gerwig sebagai sutradara wanita. Ia mampu menghasilkan karya yang sensitif pada isu gender. Di Lady Bird, Gerwig mengangkat tokoh remaja perempuan pemberontak yang diperankan apik oleh Saoirse Ronan.
Sang tokoh utama Christine yang lebih suka dipanggil Lady Bird, menganggap hidupnya membosankan. Ia terjebak di kota kecil dan harus bersekolah yang kolot. Suatu ketika, ia sadar bahwa kota besar tak selalu bisa memberinya kenyamanan.
Film ini punya banyak unsur cerita yang kalau dirangkum mungkin akan mirip kisah kebanyakan remaja di dunia.
Frances Ha, karya asyik lain dari Greta Gerwig
Masih dari karya Greta Gerwig, kali ini ia memerankan sendiri tokoh utama dalam filmnya. Menamainya Frances, seorang wanita di pertengahan usia 20an yang bercita-cita menjadi seorang penari terkenal di New York.
Semua terlihat mudah di awal, menyewa apartemen bersama kawan agar bisa menghemat biaya hidup dan mulai ikut audisi tanpa menyerah. Namun, semua berubah saat kawan seapartemennya memilih untuk meninggalkannya saat keadaan ekonomi sedag genting.
Ini mengharuskannya bertahan hidup di tengah kota besar yang tak ramah. Film ini cocok buat kamu yang mungkin sedang mengalami kegalauan dalam menentukan arah hidup. Relateable juga bagi kamu yang suka dengan penggambaran kehidupan orang dewasa yang lebih realistis dari film biasanya.
Frozen dari Jennifer Lee kelihatan dari arah ceritanya yang beda dengan kebanyakan dongeng Disney
Dikisahkan Elsa dan Anna adalah dua putri yang ditinggal kedua orang tuanya. Saat umur Elsa sudah 18 tahun, ia pun harus diangkat menjadi Ratu. Namun, kesalahpahaman yang terjadi dengan adiknya, Anna. Ia membuat kekuatan rahasia Elsa terbongkar dan nasib kerajaan berada di ujung tanduk.
Bukan pangeran, bukan kesatria, tetapi kedua saudari itu sendiri yang bisa menyelamatkan Kerajaan mereka. Film ini menambah daftar penggambaran putri independen selain Merida (Brave), Mulan, dan Pocahontas.
They dari sutradara Anahita Ghazvinizadeh yang menggambarkan kebingungan remaja
Bukan hanya galau karena sekolah, pacar, atau teman, J, remaja 14 tahun tidak yakin dengan jenis kelaminnya. Ia pun tidak bisa menentukan apakah ia bisa dipanggil dengan sapaan laki-laki atau perempuan.
Orangtuanya memfasilitasinya dengan menyuntikkan hormon yang bisa menghambat pubertas demi membantunya menentukan jenis kelamin apa yang menurutnya bisa ia pilih. Namun, kebimbangannya justru bertambah karena ia mulai lupa usianya yang sebenarnya seiring ia masih belum mengalami pubertas.
Film yang disutradarai Anahita Ghazvinizadeh ini berakhir dengan kegamangan yang makin menjadi-jadi, tetapi tetap seru ditonton.
I Am Not a Witch, film satir tentang menjadi perempuan di Afrika
Seorang anak perempuan tak tahu di mana ia berada, tiba-tiba penduduk setempat menganggapnya seorang penyihir. Ia pun harus mengikuti adat istiadat penduduk setempat untuk mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya.
Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia mengikuti adat istiadat yang dipercaya warga setempat. Film ini merupakan sebuah komedi satir yang menyentil. Betapa susahnya menjadi wanita di Afrika dengan adat yang tak tahu apa tujuannya.
The Breadwinner, film animasi yang ambil latar Afghanistan yang disutradarai Nora Twomey dan Angelina Jolie
Disutradarai Nora Twomey dan Angelina Jolie, film animasi yang dirilis 2017 ini berhasil menarik perhatian dunia. Bukan karena animasinya yang unik, kekuatan ceritanya sanggup membuka wawasan. Dikisahkan anak perempuan bernama Parvana tinggal di Afghanistan yang dikuasai Taliban.
Suatu saat, sang Ayah ditangkap dan dipenjara oleh Taliban karena dianggap membelot. Dengan tertangkapnya ayah Parvana, otomatis tak ada keluarga laki-laki di keluarganya yang mencari nafkah. Di sana, tak ada wanita yang boleh bepergian tanpa didampingi keluarga laki-laki.
Parvana pun menyamar menjadi anak laki-laki atau yang dikenal di sana sebagai bacha posh. Kisah tentang bacha posh bukan pertama kali ini diangkat dalam film atau novel, tetapi film ini salah satu penggambaran terbaik yang pernah ada.
Leave No Trace, film tentang kesehatan mental karya Debra Granik
Film karya Debra Granik ini menceritakan seorang ayah dan anak yang telah lama tinggal di hutan. Ini karena sang Ayah merupakan veteran perang yang mengalamai PTSD, sebuah penyakit mental berupa kekhawatiran berlebihan dan paranoia akibat trauma di masa lalu.
Suatu ketika, sang anak melanggar aturan sang ayah yang membuat keduanya harus berurusan dengan polisi. Mereka pun diberi kesempatan untuk hidup selayaknya keluarga biasa, namun semua tidak semudah yang dibayangkan.
Sang anak yang menginjak usia remaja merasa tertantang dengan dunia yang baru. Sementara sang ayah masih dengan PTSD-nya merasa tak nyaman berada di sekitar banyak orang. Film ini mungkin akan mengingatkanmu pada film yang punya cerita mirip berjudul Captain Fantastic (2016).
The Kindergarten Teacher karya Sara Colangelo yang memantik diskusi
Film yang disutradarai oleh Sara Colangelo ini mengisahkan seorang guru TK yang memiliki satu murid berbakat. Murid tersebut dapat membuat puisi indah di usianya yang belum genap 5 tahun. Ia pun berusaha meyakinkan orangtua siswa tersebut untuk mengembangkan bakatnya, namun ditolak.
Ia pun nekat menculik anak itu dengan tujuan awal membantunya mengoptimalkan kemampuan menulisnya. Namun, apakah semua semudah dan sesederhana bayangannya? Banyak diskusi yang muncul dari film ini. Salah satunya kemungkinan bahwa sang guru mungkin seorang pedofilia.
Ada juga yang mencoba membalikkan fakta bagaimana kalau guru dan murid tersebut bertukar gender, apakah ceritanya bisa sekompleks film ini, sebab orang cenderung berpikir buruk pada laki-laki dewasa daripada perempuan dewasa.
Kalau diamati lebih jeli, kelihaian sutradara perempuan terlihat dari cara mereka mengemas sebuah cerita. Mereka tak canggung dalam menangkap isu terkait perempuan dengan lebih luwes bahkan mampu mengungkap kecenderungan gender bias yang kadang dihindari sutradara laki-laki. Gimana menurutmu, guys?