43 Ribu Media Abal Warnai Pilgub DKI Jakarta
Banyaknya media yang memperkeruh suasana saat Pilgub DKI (19/4) lalu, membuat Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya menyesalkan hal ini. Ia melihat bahwa dalam Pilgub tersebut, ada 43 ribu media yang dinilai abal-abal.
Hal ini ia sampaikan pada seminar Peran Media Dakwah Membendung Paham atau Gerakan Radikalisme yang diadakan di STMIK Bani Saleh Bekasi Timur, Kamis (27/4).
Mustofa melihat bahwa media memiliki peran strategis dalam membentuk dinamika yang ada. Namun hal itu justru dapat menimbulkan dampak yang positif maupun negatif. "Saya mencatat ada sekitar 43 ribu media abal-abal mewarnai dinamika Pilgub kemarin. Media abal-abal ini kemudian digunakan sebagai alat propaganda," kata Mustofa.
Hal ini, lanjutnya, dapat menjadi pemicu keresahan masyarakat pada saat masa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemarin. “Saya juga sempat melakukan riset yang diikut oleh lebih dari seribu responden. Pertanyaannya adalah apakah kata Islam radikal sengaja dibuat atau tidak, dan 83 persen responden menyetujui bahwa kata tersebut memang dibuat,” ujarnya.
Maka dari itu, ia menekankan pentingnya antisipasi dalam menyikapi penyebaran informasi yang mengarah pada permusuhan dan perpecahan bangsa. Pemerhati Media Muslim Shodiq Ramadhan, juga mengkritisi sikap seseorang yang kerap keliru dalam menyikapi penyebaran informasi. “Bagaimana tidak, informasi dapat dibentuk berdasarkan redaksi yang memiliki kepentingan tertentu,” ujarnya.
Maka dari itu, ia menekankan pentingnya mewaspadai informasi yang keliru dan dapat mempengaruhi pola pikir. “Informasi dapat berperan penting untuk membentuk pola pikir. Sehingga jangan sampai informasi yang masuk justru informasi ‘sampah’,” ujar Sekum Forum Jurnalis Muslim (Forjim) tersebut.
Shodiq kemudian memberikan salah satu contoh kasus, yaitu adanya sebuah ormas yang dibenci keberadaanya oleh ormas lainnya. “Pemahaman dapat menjadi keliru karena informasi yang masuk salah. Seperti ormas yang menilai bahwa ormas yang berseberangan dengannya berarti anti Pancasila, padahal kan tidak seperti itu,” ujarnya.
Menurutnya hal ini juga terjadi pada Pilgub DKI kemarin. Dimana seseorang yang mendukung salah satu pasangan Cagub – Cawagub kemudian dinilai sebagai pihak yang anti NKRI atau anti Pancasila. “Atau ketika pasangan tersebut menang, kemudian dinilai sebagai Islam garis keras atau Islam radikal. Mereka berpikir demikian karena mereka mendapatkan informasi yang keliru,” ujar Shodiq melanjutkan.
Shodiq melihat bahwa media Islam seharusnya memiliki standard yang sangat jelas. “Media Islam haruslah berasas Islam, maka dari itu bangunannya juga Islam. Termasuk pemilik medianya pun beragama Islam,” ujarnya.
Hal tersebut, menurut Shodiq, untuk memperjelas misi dakwah dari media tersebut yang terarah. “Sehingga nanti misi dakwahnya jelas, menuju rahmatan lilallamin,” ujar Shodiq menambahkan.