Advent Bangun, Pria Pemarah hingga Jadi Pendeta

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Advent Bangun sering berbagi cerita pengalamannya semasa hidup, mulai dari prestasi di kejuaraan karate, menjadi aktor, penyanyi dangdut hingga menghabiskan sisa hidupnya menjadi pendeta.

Saat menjadi bintang tamu program Satu Jam Lebih Dekat di TV One, Advent Bangun mengaku rajin menyabet gelar juara di dunia karate dari tahun 1972 hingga 1984.

"Hampir tak pernah direbut orang lain," kata dia kepada tuan rumah Indy Rahmawati.

Advent Bangun juga mengungkapkan alasan dirinya dijuluki 'dokter gigi' karena hampir selalu bikin lawan tarung tanggal giginya.

Sekitar tahun 1970-an, kata Advent, peraturan tak seketat sekarang. Di masa itu tidak ada kontrol sehingga orang yang dihajarnya selalu jadi ompong.

Pernah 4 bulan berada di Jepang untuk mengambil sabuk hitam Dan 3, Advent ternyata ditakuti lawannya karena giginya utuh.

Seperti pengakuannya, pria kelahiran Kabanjahe, Sumatera Utara, 12 Oktober 1952 ini pernah berujar bahwa Tuhannya adalah karate.

Demi fokus karate, Advent Bangun disiplin latihan dari mulai pagi, siang hingga malam hari.

Advent Bangun menjadi karateka paling disegani di Indonesia hingga dunia berawal dari keinginannya membalas dendam terhadap 30 orang yang pernah mengeroyoknya di Pasar Ular, Jakarta Utara.

Aktor 'Menumpas Teroris' itu sampai babak belur dihajar massa. Dia tak senang kakak perempuannya digoda oleh orang-orang yang tengah mabuk itu.

Selain karate, pemilik nama lengkap Thomas Advent Perangin-angin Bangun ini bercerita pada tahun 1992 industri perfilman nasional hancur.

Kariernya di film pun merosot tajam. Tetap harus mendapat penghasilan, Advent memutuskan jadi penyanyi dangdut karena honor yang menggiurkan.

"Tahun 1992 itu saya bingung mau ngapain, film hancur, semua hancur, terus saya lihat penyanyi dangdut itu dibayar berapa. Mereka bilang kalau pak Advent bisa 500 sampai 1 juta. Wah, boleh nih, latihan. Langsung latihan nyanyi nyanyi. Saya dua lagu aja saat itu dibayar Rp10 juta. Jadi bukan nyanyinya sebenarnya, tapi duitnya," kata Advent Bangun.

Kemudian, dunia karate dan film pun ditanggalkannya. Advent Bangun kemudian menghabiskan waktunya menjadi pengkhotbah atau pendeta.

Alasan menjadi seorang pendeta pernah dituangkannya di program Solusi Life di O’Channel dan telah dilansir oleh berbagai blog.

Pria yang memulai karier di layar lebar dengan membintangi 'Rajawali Sakti' (1976) ini menganggap bahwa karate adalah Tuhannya. Amarah dan dendam bisa dilampiaskannya melalui laga ke laga.

Emosi yang tak terkontrol malah merembes ke kehidupan keluarganya. Istri Advent, Louis Sinulingga, bercerita dirinya menikah dengan bintang film 'Si Buta Lawan Jaka Sembung' itu setelah pacaran 6 bulan saja.

Saat hidup satu atap, Louis merasa kaget dengan perangai Advent yang temperamental. Advent bisa marah karena terlalu menunggu dan cemburu.

Louis juga mengungkapkan jika Advent adalah suami yang tak senang jika istrinya pergi ke gereja. Pada suatu waktu, Louis pernah meminta tolong kepada Tuhan agar memulihkan rumah tangganya ke arah lebih baik.

Keadaan berubah 180 derajat ketika Advent mengantarkan Louis ke gereja untuk dibaptis selam.

Dia mendengar khotbah yang disampaikan pendeta,'Kuduslah kamu sebab Aku kudus. Lalu, berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan."

Advent lansung menangis karena malu. Sebagian besar hidupnya banyak dendam, marah dan benci kepada banyak orang.

Pada 25 Februari 1999, Advent Bangun dibaptis dan tak lama mendedikasikan hidupnya untuk menjadi pengkhotbah. Sejak itu, Advent, yang kemudian mengganti namanya jadi Thomas Bangun, merasa hidupnya bahagia tanpa dendam.

Kini, Advent Bangun telah hidup damai di sisi Tuhan. Dia meninggal dunia pada Sabtu (10/2/2018) pukul 02.35 WIB dini hari di ruang HCU RSUP Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan.

Advent mengalami gagal ginjal sejak tahun 2005. Dia harus menjalani cuci darah sejak April 2017. Jenazahnya akan diistirahatkan untuk selama-lamanya di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kampung Kandang, Jagakarsa, Jakarta Selatan.