\'Dengan Kakiku, Aku Bertekad Sempurnakan Islam\'
Langkah kaki tertatih dari tubuh perempuan renta itu bergerak lambat di lorong menuju Paviliun 3 terminal haji Bandara Amir Muhammad bin Abdul Azis Madinah, di suatu sore yang panas.
Sendirian menyusuri lorong, ia tampak berjuang sekuat tenaga menyeret kakinya yang agak pincang. Ia adalah jemaah calon haji asal Serang, Provinsi Banten, tergabung dalam Kloter JKS 16.
Nenek bernama Nurjannah ini tertinggal di belakang saat berjalan bersama rombongannya menuju paviliun, ruang tunggu jemaah sebelum dibawa ke pemondokan.
Tak nampak raut kecewa di wajah Nurjannah, walau termasuk orang terakhir yang memasuki paviliun. Ia sadar kakinya takkan kuat melangkah cepat sebagaimana jemaah bertubuh sehat.
“Saya tak apa, Nak. Masih kuat kok jalan,” ujarnya kala seorang petugas PPIH berupaya menuntunnya. Tak peduli dengan penolakan Nurjannah, si petugas tetap menggandeng Nurjannah menuju paviliun.
Sore itu cuaca di Bandara Amir Muhammad bin Abddul Azis Madinah panas seperti biasa, tak jauh dari angka 45-46 derajat Celsius. Hanya berkurang 3-5 poin dari suhu di puncak siang yang mencapai 48-50 derajat Celsius.
Panasnya udara Kota Madinah terasa menyiksa, terutama bagi jemaah dari negara yang tak mengenal empat musim macam Indonesia. Dan khususnya lagi jemaah dengan kondisi tubuh kurang sempurna seperti Nenek Nurjannah.
Dan Nurjannah tak sendirian. Ia bersama sekitar 53 ribu jemaah lain yang tergolong risiko tinggi (risti) atau lansia. Sebuah angka yang cukup besar, mencapai 26 persen dari total 204 ribu orang jemaah reguler.
Sebenarnya nenek berusia 80 tahun itu berangkat haji bersama Jejen, putra pertamanya. Lelaki 62 tahun itu memang lebih dulu berjalan bersama rombongan sambil membawa tas mereka berdua. Nurjannah pun berjalan sendirian tanpa membawa beban kecuali tas kecil yang melingkar di dadanya.
Duduk di ruang tunggu, usai tertatih-tatih mencapai undakan jalan paviliun, Nurjannah mengaku lega. Senyum semringah merona di wajahnya.
Ruangan paviliun nan sejak sejuk berkat sistem pendingin udara seolah menghapus sisa-sisa keletihan di tubuhnya. Puji syukur lantas ia panjatkan pada Tuhan.
“Alhamdulillah, akhirnya bisa menapakkan kaki rapuhku di Tanah Suci,” bisiknya lirih.
Dua butiran bening tiba-tiba menetes dari kelopak matanya. Rasa haru, bahagia, tak percaya, bercampur-aduk dalam hati dan pikirannya. Sejenak ia tak mampu berkata-kata lagi.
Nurjannah pantas bersyukur. Di tengah panjangnya antrean haji—bahkan mencapai 20-30 tahun—yang harus dilalui seorang WNI, ia hanya butuh tujuh tahun.
Mendaftar haji pada 2010, kini Nurjannah resmi menjadi calon haji. Sebuah impian sebagian besar kaum Muslim di dunia. Penyempurna keislaman seseorang yang mampu menunaikannya (istithaah).
Pensiun sebagai pegawai negeri sipil sejak 1993, Nurjannah bertekad dan bermimpi dapat menunaikan haji. Ia pun mulai menabung sejak saat itu. Pada 2010, sekitar 17 tahun kemudian, tabungan Nurjannah cukup untuk dijadikan setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
Ia lantas mendaftarkan diri di kantor Kemenag setempat dan mendapatkan nomor porsi. Mendapatkan nomor porsi tak serta-merta membuat seseorang langsung berangkat. “Kami disuruh menunggu sekitar 7-10 tahun lagi untuk keberangkatan,” tuturnya.
Dan kepastian berangkat itu ia dapatkan setahun lalu, melalui pemberitahuan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang ia ikuti. Nurjannah tak harus menunggu hingga 10 tahun, cukup tujuh tahun saja. Ia juga bersyukur dapat melunasi sisa pembayaran BPIH tanpa kendala. Bahkan dapat berangkat haji bersama putranya.
Perjalanan haji Nurjannah demi menyempurnakan Islam laksana perjuangan Amr bin Jamuh, salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Keduanya dipersamakan oleh keadaan; sama-sama renta dan pincang. Dengan kaki pincangnya Amr bin Jamuh bertekad meraih surga (mati syahid). Sementara Nurjannah bertekad menyempurnakan Islam.
Ketika terjadi Perang Badar, Amr bin Jamuh bersiap-siap hendak turut bergabung, namun Rasulullah tak mengizinkannya. Saat itu Amr sudah tua dan pincang. Rasulullah memberikan keringanan padanya tidak ikut berperang. Amr pun kecewa.
Namun ketika terjadi Perang Uhud, Amr bertekad turun di medan jihad walau dilarang anak-anaknya. Ia lantas menemui Rasululullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan. Mereka keberatan jika aku ikut berperang karena sudah tua dan pincang. Demi Allah, dengan pincangku ini aku bertekad meraih surga!"
Rasulullah pun mengizinkan Amr bin Jamuh turut berjihad di Perang Uhud. Dengan suara mengiba ia memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku!"
Tatkala perang berkecamuk, kaum Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh berada di barisan paling depan. Dia bertempur bak singa bersayap, menyabetkan pedang ke arah musuh sambil berteriak, "Aku ingin surga, aku ingin surga!"
Apa yang didambakan Amr akhirnya terwujud jua. Ia gugur sebagai syahid bersama beberapa sahabat lainnya.
Dan Nurjannah—dengan kaki pincangnya—hanya ingin menyempurnakan Rukun Islam. Baginya, keterbatasan fisik bukanlah halangan demi menggapai ridha Ilahi.
“Saya sudah berusaha menjalankan empat rukun Islam semampu saya. Tentu saja saya sangat ingin menyempurnakannya. Dengan kakiku ini aku bertekad sempurnakan Islam,” tandasnya.*