Review 'Bumi Manusia': Bukan Sekedar Kisah Cinta Minke dan Annelies

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Adegan film 'Bumi Manusia' (Foto: Falcon Pictures)

Uzone.id- Film 'Bumi Manusia' bukan cuma sekedar cerita romansa antara Tirto Adhi Soerjo alias Minke dengan Annelies Mellama. Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang Pramoedya Ananta Toer lebih dari itu.

Bagaimana seorang Annelies Mellema, yang memiliki darah setengah Eropa, sangat berkeinginan menjadi pribumi seperti ibundanya, Nyai Ontosoroh. Berbeda dengan sang kakak, Robert Mellema, lebih mengagungkan setengah darah Eropanya.

Kemudian, gelar Nyai (memiliki arti gundik) untuk Ontosoroh tak mencerminkan seorang gundik yang cuma jadi pemuas nafsu syahwat kalangan pejabat dan pengusaha berdarah Eropa.

Bagaimana bisa seorang Nyai bisa secerdas Menteri Keuangan Sri Mulyani ya? Mengurus perusahaan peternakan dan pertanian seluas 180 hektar dengan 500 pekerja.

Baca juga: Sukses Bikin Air Mata Tumpah, Gimana 'Ibu Pertiwi' Bisa Jadi OST 'Bumi Manusia'?

Tak cuma itu aja sih. Pramoedya juga meniupkan roh superhero pada jiwa Nyai Ontosoroh. Perempuan pribumi yang berani melawan pengadilan Eropa sampai titik penghabisan.

Betapa kejamnya penjajah Belanda di tahun 1890-an, seorang Nyai tak punya hak mengakui anak dari hasil pernikahan dengan bangsa Eropa.

Pun, semua harta tak bisa dikuasai oleh Nyai jika suami Eropa-nya sudah meninggal dunia.

Anak zaman now harus tahu. Dengan difilmkannya novel Bumi Manusia, Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda punya sejarah kelam perbudakan dan pergundikan.

Oya, mungkin ada yang belum tahu kalau sosok Tirto Adhi Soerjo alias Minke dalam ‘Bumi Manusia’ mengambil nama yang sama dari tokoh Bapak Pers Nasional.

Ada kesamaannya dalam kisah yang dituangkan dalam film, yakni begitu tajamnya tulisan di surat kabar yang ditulis Minke hingga berhasil membuat opini di kalangan pribumi bahwa pernikahannya dengan Annelies sah di mata agama Islam.

Hingga terjadi pergolakan di Hindia Belanda saat pribumi menentang hukum Eropa yang sangat rasis.

Meskipun Minke memiliki gelar Raden Mas karena ayahnya seorang priyayi menjabat Bupati, dia tetap rendah hati dengan tak mengumbar sosok ayahnya kepada Nyai Ontosoroh ketika pertama kali berkenalan hingga disidang di depan hakim Belanda.

 

Karakter di Bumi Manusia

Film ‘Bumi Manusia’ ini aslinya berdurasi 6 jam lho gaes. Nah, ketika selesai diedit jadinya ‘cuma’ hampir 3 jam atau tepatnya 2 jam 52 menit. Mirip lah kayak film ‘Avengers: Endgame’.

Pastinya, editor film Bumi Manusia, Sentot Sahid, dibikin puyeng ketika harus memilih mana adegan yang perlu dipertahankan dan mana adegan yang dipertahankan.

Itu mungkin ya, ada beberapa adegan berganti ke adegan lain terasa lompatannya agak jauh. Meskipun demikian, adegan-adegan yang dirasa penting bisa dijaga ritmenya dengan baik.

Sutradara Hanung Bramantyo juga mengaku sudah bekerja sangat keras sampai memukul pundak Iqbaal Ramadhan agar bisa keluar dari karakter Dilan. Hanung memang punya batasan untuk karakter Minke

Hasilnya, Iqbaal bisa menampilkan ekspresi Minke dengan cukup baik, meskipun beberapa adegan masih terasa sedikit Dilan-nya.

Begitu juga dengan perlakuan Hanung kepada Mawar Eva de Jongh. Bagi yang sudah membaca buku novelnya, gambaran Pramoedya akan sosok Annelies tampaknya sudah pas diperankan sama Mawar.

Sha Ine Febrianti menanggung beban sangat berat memerankan Nyai Ontosoroh, wanita pribumi yang menjadi gundiknya Herman Mellema. Artis yang memiliki latar belakang teater ini bisa menuangkan jiwa seorang Nyai Ontosoroh dengan baik.

Sosok Darsam (Whani Hari Darmawan) berhasil mencuri perhatian penonton karena karakternya begitu kuat. Darsam punya kumis tebal, muka sangar dan logat Maduranya yang kental. Tak salah Hanung menunjuk langsung Whani Hari Darmawan untuk perankan Darsam.

Juga tepat ketika Hanung memutuskan lagu nasional ‘Ibu Pertiwi’ menjadioriginal soundtrack 'Bumi Manusia'. Muncul ketika Annelies terpaksa harus meninggalkan Minke dan Nyai Ontosoroh.

Pesan dalam lagu maupun film sama kuatnya. Kita sedih ketika hutan, gunung, sawah dan lautan yang jadi kekayaan Indonesia malah dikuasai segelintir orang yang berkuasa di Indonesia dan asing.

Bagaimana pejabat di Indonesia juga masih mempertahankan sifat tamak dan memperkaya diri. Tak jauh berbeda dengan kondisi di Hindia Belanda.

Film ‘Bumi Manusia’ didukung sinematografi yang memanjakan mata. Apalagi, Falcon Picutures kabarnya rela menggelontorkan dana hingga Rp50 miliar demi karya epik dari seorang Pramoedya Ananta Tour ini.

Ada adegan pemerkosaan, adegan ranjang dan adegan pertempuran hingga memperlihatkan darah, 'Bumi Manusia' akhirnya dimasukan ke kategori 17+.

Rasanya tak percuma kamu mengeluarkan uang untuk membeli tiket nonton ‘Bumi Manusia’ di bioskop. Film ini layak dapat bintang 4,5/5.