Greanpeace: Udara di Jakarta Terburuk di Asia Tenggara
Pemerintah DKI Jakarta didesak untuk segera menetapkan status serius terkait kualitas udara di Jakarta yang kian mengkhawatirkan. Bondan Andriyanu, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, perlu ada kesadaran dari pemerintah terkait kondisi kualitas udara Jakarta.
"Selama pemerintah masih menganggap kualitas udara baik-baik saja maka solusinya juga tidak maksimal," kata Bondan kepadaRepublika, Ahad (10/3).
Wilayah DKI Jakarta tercatat menjadi kota dengan tingkat polusi nomor satu di Asia Tenggara pada 2018 menurut laporan Air Visual IQAir yang bekerja sama dengan Greenpeace. Laporan ini sendiri telah diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Selasa (5/3) lalu dan dipublikasikan oleh Greenpeace melalui media sosial.
Jakarta dikhawatirkan menggeser posisi kota-kota di Cina yang indeks udaranya semakin membaik. Laporan itu menemukan bahwa rata-rata kualitas harian di Jakarta pada 2018 dengan indikator 2,5 PM adalah 45,3 mikrogram per meter kubik udara.
"Padahal, menurut pemerintah, baku mutu kualitas udara itu 2,5 PM tahunan ambang batasnya adalah 15 mikrogram per meter kubik. Inikanberarti kualitas udara Jakarta sudah lebih tiga kali lipat batas itu," kata Bondan.
Ia merujuk kepada PP No 41 tahun 1999. Sedangkan, WHO menetapkan baku mutu PM 2,5 di ambang 10 mikrogram per meter kubik. "Kalau berdasarkan WHO malah sudah lebih dari empat kali lipat," kata Bondan.
Bondan juga menyayangkan fasilitas stasiun pemantau kualitas udara yang tidak berjalan dengan baik. Ia juga menyayangkan situs pantauan udara milik Kementerian Lingkungan Hidup yang sudah tidak beroperasi sejak 2017. "Berarti, sudah lama kita tidak memperoleh informasi terkait kondisi udara yang kita hirup ini," kata Bondan.
Greenpeace mencatat, kualitas udara yang buruk di Jakarta disebabkan oleh polusi dari kendaraan bermotor yang jumlahnya semakin meningkat di Jakarta. Selain itu, Greenpeace mencatat pula pembangkit listrik tenaga batu bara dan industri bertenaga batu bara di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara ikut berperan dalam buruknya kualitas udara Jakarta.
Lembaga itu mencatat, pembangkit listrik bertenaga batu bara menyumbang jumlah sekitar 33 hingga 38 persen dari konsentrasi 2,5 PM harian di Jakarta pada kondisi terburuk. Sepanjang 2018, Greenpeace juga mencatat Jakarta hanya mengalami 34 hari di mana kualitas udaranya masuk dalam kategori baik. Sedangkan, 122 hari masuk kategori sedang dan 196 hari masuk kualitas tidak sehat.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Djafar Muchlisin mengaku, belum mendengar mengenai kabar Jakarta sebagai kota dengan polusi terburuk di Asia Tenggara itu. "Ini tentu berita yang mengejutkan bagi kami," kata Djafar saat dihubungiRepublika, Ahad (10/3).
Ia mengaku, saat ini pihaknya terus melakukan upaya-upaya terkait pengurangan polusi udara di Jakarta. Saat ini, Dinas Lingkungan sedang gencar melakukan kampanye agar masyarakat mau beralih menggunakan transportasi umum. Hal ini mengingat kendaraan bermotor masih menjadi penyumbang utama dalam tingkat polusi udara di Jakarta.
"Beberapa hari ke belakang, kami sedang melakukan kampanye di kalangan mahasiswa dan kampus. Ini agar mahasiswa mau melakukan uji emisi," kata dia.
Selain itu, Djafar juga menegaskan, pihaknya tidak segan memberikan sanksi kepada industri yang tertangkap masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar industri mereka. Sanksi yang diberikan bertahap, mulai dari teguran hingga terberat rekomendasi penutupan tempat usaha.
"Penutupan tempat usaha bukan menjadi wewenang kami, tetapi akan bantu berikan surat rekomendasi dan uji lab," kata Djafar.
Sementara itu, Windy, salah satu warga Jakarta, mengaku sudah pernah mendengar mengenai polusi udara yang buruk di Jakarta. Sebagai warga Jakarta pun, Windy mengaku, tidak dapat berbuat banyak.
"Paling, kalau keluar pakai masker yang biasa itu. Maugimanalagi, kondisinya sudah telanjur begini,kayaknyasusah juga ya," ujar dia.