DearKPI, Mending Perbaiki Dulu Siaran TV Daripada Repot Urus YouTube cs
(Ilustrasi/Unsplash)
Uzone.id-- Siapa di sini yang masihngehbahwa tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah mengurus siaran yang berbasis frekuensi seperti televisi dan radio? Tos dulu, dong.
Gak heran jika masyarakat bereaksi secepat kilat ketika KPI mengumumkan punya wacana untuk mengawasi konten ranah digital seperti di platform YouTube, Netflix, dan Facebook.
Salah satu teriakan paling lantang oleh warganet di internet adalah, kenapa KPI gak meningkatkan kinerjanya dalam mengatur siaran TV ketimbang repot-repot mengurus konten digital?
KPI langsung dinilai ‘salah haluan’ lah, gak berhak mengatur konten-konten yang berseliweran di internet seperti YouTube dan tayangan Netflix lah, hingga protes terhadap alibi KPI yang menganggap pentingnya pengawasan konten yang lebih edukatif.
Ya, memang benar sih. KPI seperti salah arah.
Tercatat bahwa Mandat dari UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kepada KPI adalah menjalankan fungsi sebagai lembaga independen quasi negara untuk mengatur tentang penyiaran. Kewenangan dan tugas kewajibannya menyangkut penyiaran, bukan hanya mengawasi isi siaran.
“Entah bagaimana belakangan KPI hanya mengurusi isi siaran dan tidak menjalankan kewajibannya menegakkan P3SPS [Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran]dan sistem siaran jaringan,” tutur Damar Juniarto selaku Koordinator Kawasan Southeast Asia of Expression Network (Safenet) saat dihubungiUzone.id, Senin (12/8).
Dia melanjutkan, “mengurusi penyiaran itu berarti KPI harus bisa membedakan antara mana yang ranahbroadcast, mana yang ranahbroadband.”
Baca juga:KPI Kalau Gaptek Ngaku Aja deh, Nanti Diajarin Cara Main YouTube dkk
Sudah jelas bahwa layananbroadcastitu adalah televisi, radio, sedangkan layananbroadbandadalah mereka yang berjalan pakai koneksi internet.
Selain salah arah, KPI juga dianggap terburu-buru dalam mengatur digitalisasi penyiaran.
“Di dalam rancangan UU Penyiaran yang baru memang diatur mengenai digitalisasi penyiaran. Namun, bukan berarti memasukkan media digital dalam penyiaran, melainkan ini proses transisi sistem penyiaran dari transmisi analog pindah ke transmisi digital yang lebih efektif dan memunculkan bonus digitalisasi,” terang Damar lagi.
Menurutnya, di sini peran KPI sangat dibutuhkan untuk mengelola kelebihan frekuensi yang bisa diperuntukkan bagi masyarakat.
“KPI malah terkesan terburu-buru menafsirkan dan menjadi ambil langkah yang keliru yang tak perlu,” tukas Damar.
Monggo, balik ke 'jalan yang benar'
Meski rencana ini baru sekadar wacana, namun tetap saja bikin resah masyarakat. Banyak yang merasa semakin terkekang hanya untuk mendapat hiburan.
Dari sini, Damar menyimpulkan, sebaiknya KPI tetap fokus pada kinerjanya di ranah penyiaran ketimbang repot-repot mengurus konten YouTube dan Netflix.
"KPI tidak memiliki kompetensi. Selama ini isi konten media digital diatur lewat aturan hukum UU ITE dan PM Kemkominfo No. 19 Tahun 2014 tentang pengaturan konten negatif," ungkapnya.
Baca juga:YouTube Siapkan Konten Interaktif Seperti Netflix
Selain itu, konten media digital juga diatur melalui Community Guidelines dari si pengelola platform, serta tak lupa partisipasi masyarakat lewat aduan individu dan organisasi yang berstatus Pelapor Resmi.
Cara-cara tersebut dinilai Damar, sudah cukup untuk mengelola isi konten agar isinya terkendali.
"KPI sebaliknya tidak memahami bagaimana teknologi dan bisnis media digital serta mekanisme pengaturan yang tidak mencederai hak asasi manusia sehingga sebaiknya KPI sebagai bentuk partisipasi peran serta masyarakat cukup pada ranah penyiaran saja," tutur Damar.
Dia menyambung, "KPI disarankan memperbaiki kinerjanya dulu di ranah penyiaran, menghadapi dan memberi sanksi pada stasiun televisi dan radio yang melanggar P3SPS, serta merekomendasikan penyetopan izin pada stasiun TV dan radio yang kerap melanggar dan mendorong dijalankannya sistem siaran jaringan."