Ada Ancaman Global, Rupiah Berisiko Dekati 16.000 per Dolar AS di 2019
Mulai akhir Oktober lalu,nilai tukar rupiahkembali menguat ke bawah kisaran Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun, para ekonom melihat risiko penguatan tersebut bersifat sementara, dan berisiko kembali menembus Rp 15.000 pada pengujung tahun ini bahkan mendekati 16.000 per dolar AS pada 2019 mendatang.
Dalam analisis tertulis yang dilansir pekan lalu, Tim Ekonom DBS memprediksi nilai tukar rupiah bisa menembus Rp 15.300 per dolar AS pada kuartal IV ini, dan melemah bertahap hingga mencapai 15.900 per dolar AS pada kuartal IV 2019. Perkiraan tersebut seiring dengan proyeksi kenaikan bertahap bunga acuan AS, Fed Fund Rate, sehingga dolar AS diperkirakan bakal semakin perkasa.
Tim Ekonom DBS memprediksi Fed Fund Rate bakal berada di posisi 2,5% akhir tahun ini dan mencapai 3,5% pada 2019 mendatang. Sementara itu, indeks dolar AS, DXY index, diprediksi melanjutkan penguatan ke level 100. Saat berita ini ditulis, indeks dolar AS berada di posisi 97,5 atau berada pada kisaran paling tinggi sepanjang tahun ini.
(Baca juga: Aliran Masuk Dana Asing dan Penguatan Rupiah Diuji Jelang Akhir Tahun)
Adapun kenaikan bertahap bunga acuan AS dan isu global lainnya seperti perang dagang AS-Tiongkok telah memicu derasnya arus keluar dana asing dari pasar keuangan negara berkembang pada tahun ini setidaknya hingga kuartal III lalu. Sebab, hal itu ditambah potensi meningkatnya penerbitan surat utang AS seiring pelebaran defisit anggarannya membuat aset dalam dolar AS jadi lebih berdaya tarik.
Derasnya arus keluar membuat negara-negara berkembang terutama yang mengalamidefisit transaksi berjalanseperti Indonesia, menghadapi depresiasi besar nilai tukar mata uang terhadap dolar AS. Sebab, pasokan valas negara-negara tersebut jadi bergantung pada dana asing.
Meredanya intensi perang dagang seiring rencana pertemuan Presiden Tiongkok Xi Jinping dengan Presiden AS Donald Trump November ini, ditambah valuasi pasar negara berkembang yang sudah murah sempat memicu arus masuk dana asing. Kurs mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, pun mengalami tren penguatan mulai akhir Oktober lalu.
Namun, penguatan kurs mata uang kembali tertahan pada Jumat (9/11), setelah pernyataan bank sentral AS soal kondisi ekonomi Negeri Paman Sam yang kuat, sehingga mengukuhkan rencana kenaikan Fed Fund Fund Rate pada Desember mendatang.
(Baca juga: Kurs Rupiah Terlalu Lemah, Nilai Fundamental Rp 14.200 per Dolar AS)
Beberapa ekonom lainnya juga menyinggung soal risiko pelemahan kurs rupiah. Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan melihat kemungkinan kurs rupiah kembali melemah ke kisaran 15.000 per dolar AS di akhir tahun ini. Alasannya, penguatan nilai tukar rupiah sekarang ini disebabkan sentimen, baik dari global maupun domestik. Sentimen tersebut bisa saja berbalik arah.
Senada, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menjelaskan arus dana asing -- yang memengaruhi gerak kurs rupiah -- bergantung pada isu domestik dan global. Isu domestik berupa defisit transaksi berjalan jadi salah satu yang dicermati investor. Bila defisit transaksi berjalan dapat turun menjadi 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun depan, hal tersebut bisa jadi sentimen positif.
Dari sisi global, investor masih akan mengamati perkembangan perang dagang maupun kebijakan Fed Fund Rate pada Desember mendatang. "Investor lihat risiko dan peluang. Kalau ada peningkatan risiko, investor bisa saja keluar, sifatnyahot money," kata dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pemerintah akan terus mewaspadai faktor global maupun domestik. Dari sisi domestik, langkah-langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan terus dilakukan melalui koordinasi dengan kementerian/lembaga, dunia usaha, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).
“Kondisi global dan dinamika yang ada itu harus terus kita jaga, waspadai dan bagaimana menjaga ekonomi kita agar bisaabsorbitu,” ujarnya.