Agnostik di Indonesia: Menentang Suara Mayoritas di Negeri Religius

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Pada Mei lalu, seorang kolega inginmenggali cerita orang pindah agamadan menerima pesan langsung dari 20-an orang yang tidak ia kenal sebelumnya ke akun Twitter-nya. Mereka mengisahkan perjalanan spiritual dari Islam pindah ke Hindu, Kristen ke Islam, Islam ke Buddha, maupun Buddha ke Katolik. Tetapi, yang mengejutkan adalah kebanyakan yang lain dari mereka mengaku sebagai agnostik: meyakini konsep Tuhan tapi tidak mempercayai agama.

Dari narasumber yang mengaku agnostik itu saya ingin tahu kisah proses-proses mereka dari yang percaya agama hingga ke titikitukarena, terutama dalam konteks Indonesia, mereka menentang suara mayoritas penduduk di negeri ini yang menilaiagama sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, bahkan negara ini memiliki kementerian agama dan mengatur rumah ibadah, meliburkan hari kerja saat hari raya keagamaan. Pendeknya, mereka tumbuh di lingkungan keluarga dan negara yang religius.

Dua dari mereka, yang saya samarkan namanya, membagikan kisahnya menjadi agnostik.

 

Perjalanan Spiritual yang Tabu

Saya berbincang dengan Max, pegawai negeri sipil berusia 26 tahun, yang lahir dan besar di Jakarta. Ia dibesarkan sebagai muslim dari keluarga kelas menengah yang orangtuanya bekerja juga sebagai PNS dan “Papa-Mama bukan orang yang salat lima waktu, bukan tipikal yangstrictketika bicara agama” tetapi, empat tahun terakhir, tabiat itu berubah.

Orangtua Max menjadi lebih religius. Mulai mengingatkannya salat. Semula Max tidak terlalu memperhatikan perubahan itu sampai orangtuanya ikut pengajian dan sering mengadakannya di rumah.

Yang tidak diketahui orangtua Max, anaknya sudah lama tak percaya agama.


Sejak umur 10 tahun, Max mempertanyakan konsep Tuhan: Bagaimana bentuknya? Dari mana Ia tercipta? Mengapa harus disembah?

Pertanyaan-pertanyaan itu pernah dilontarkan kepada orangtuanya tapi tiada jawaban yang membuatnya puas.

“Papa bilang, ‘Suruh tanya guru agama.’ Mama lebih aneh lagi, dia bilang, ‘Pantang untuk bertanya tentang hal-hal begitu. Tuhan itu harus diimani, jangan dipertanyakan, nanti bisa gila.’”

Penasaran, Mak-yang-masih-bocah memberanikan diri bertanya kepada guru agamanya.

“Tapi, jawaban yang sebetulnya enggak terlalu menjawab: Allah itu satu, tidak laki-laki, juga bukan perempuan, tidak beranak, dan tidak diperanakkan. Kenapa harus disembah? Agar kita selalu ingat dan bersyukur karena diberi hidup,” Mak mengingat ucapan guru agamanya di sekolah.

Jawaban itu membuat Max makin penasaran tapi juga makin tak terpuaskan. Ia mulai mencari tahu tentang sejarah Islam, lalu merembet pada agama-agama besar di Indonesia, hingga ateisme dan agnostisme. Memasuki kelas 3 SMP, kepercayaannya terhadap agama terkikis. Ia bahkan tak percaya pada konsep Tuhan tapi akhirnya meyakini ada energi besar di semesta yang memang tak kasatmata.

Di Indonesia, menjadi agnostik bisa berbuntut perkara riskan: kamu tetap harus mengisi kolom agama di KTP meski teman-teman dekat kamu tahu kamu tak beragama. Jika ngotot mengosongkannya, kamu mungkin kesulitan melamar pekerjaan, menikah, atau mengakses layanan publik, apalagi menjadi PNS. Baru-baru ini hukum di Indonesia membolehkan penghayat kepercayaan mengosongkan kolom agama—perihal yang pernah jadi basis diskriminasi terhadap mereka.

Masalahnya, agnostik bukan kaum penghayat—sering disebut ‘agama lokal’—sehingga pengakuan seperti Max tidak dianggap oleh negara.

"Mungkin kalau dilihat dari perspektif muslim, saya bisa dbilang kaum munafik,” kata Max dengan nada santai. “Tapi, saya memang masih memanfaatkan privilese-privilese sebagai bekas muslim itu.”

“Terbiasa jadi mayoritas bisa membuat orang-orang merasa superior. Merasa paling benar sendiri, tidak sensitif pada hal di luar hajatnya, keras kepala bukan main,” timbang Max.

“Sering kali cara logika berpikir mayoritas itu yang dipakai untuk pasang standar kepada kelompok yang suaranya lebih kecil, misalnya kepada orang-orang agnostik.”


Cerita lain dari orang yang menjadi agnostik dituturkan oleh Zaki, yang sampai kelas 5 SD tinggal di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam.

Pasca-tsunami 2004, dipindahkan orangtuanya ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, Zaki untuk kali pertama menghadapi perbedaan: bertemu teman-teman sebaya beragama selain Islam.

Perasaan Zaki saat itu semula agak jaga jarak, “kasarnya bahkan punya perasaan jijik,” katanya. Lulus SMP, orangtuanya menarik kembali dia ke Aceh dengan alasan “takut pergaulan bebas di Jakarta.”

Pada 2011, Zaki kuliah di Bandung. Dari pergolakan batin mengenai konsep Tuhan dan agama yang mulai muncul saat di Jakarta, mengendap saat kembali ke Aceh, kini ia punya kesempatan longgar untuk kembali mengeksplorasi perjalanan spiritualnya.

Puncaknya saat ia umrah pada 2016. Keluarganya yang khawatir meyakini Mekkah akan mengembalikan Zaki ke jalan Islam. Diingatkan untuk pasrah—“Nanti semua dosa-dosaku bakal dibayar tunai. Jangan sombong. Jangan banyak bertanya. Jangan meragukan”—justru yang terjadi sebaliknya.

Di depan Kakbah, Zaki berdoa, “Ya Allah, kalau Kau benar-benar ada, hukum aku sekarang juga atas kesalahanku. Tapi, kalau apa yang selama ini kujalani enggak salah, biarkan aku pulang dengan aman dan tidak terjadi apa-apa.”

“Sampai aku balik, ternyata enggak terjadi apa-apa. Ada yang bilang itu karena Tuhan sudah abai samaku. Tapi buatku sendiri itu jawaban dari apa yang akurasainselama ini,” tambahnya.

Keluarga Zaki sangat religius. Abang tertuanya bahkan meyakni aliran Wahabi. “Mereka percaya bahwa mendengar musik itu perbuatan maksiat. Ponakan-ponakanku dilarang nonton dan dengerin musik. Bahkan aku ajak ke mal aja enggak boleh,” kata Zaki.


Zaki, kini menetap di Jakarta, tinggal satu rumah dengan keluarga abangnya. Kepada mereka, Zaki pelan-pelan berkata jujur tentang spiritualitasmenya. Ia tak lagi salat, berpuasa, dan menjalankan ritual Islam lainnya.

“Mereka tahu kok aku begini, tapi lebih kedenial. Kayanya mereka yakin ini tuh cuma fase, entar juga aku balik lagi,” kata Zaki, tertawa.

Namun, untuk saat ini, Zaki meyakini sudah susah melihat dirinya kelak kembali hijrah. Meski orang-orang di sekitarnya cenderung menyepelekan perjalanan spiritualnya, lambat laun Zaki mulai menerima hal itu.

“Dulu, apa yang mereka harapkan ke aku itu memang bikin stres. Tapi, aku sendiri lebih tenang setelah keluar dari agama,” katanya.


Narasi ‘Tidak Bermoral’

Di lingkungan yang memandang agama sebagai faktor penting, orang yang mengaku ateis dan agnostik cenderung mendapatkan stigma klasik seperti tidak bermoral, bejat, tidak bertanggungjawab, antisosial, dan sebagainya.

Max memilih tidak terus terang kepada keluarganya. Pilihan Zaki dianggap keluarganya cuma gairah sesaat.

Ahmad Syarif Syechbubakr, yang meneliti kaum diaspora Hadrami di Palembang, pernah mengulas pandangan miring orang Islam kepada mereka yang tak beragama dalamkolomnya diTirto. Cantolan isunya sikap Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang punya toleransi besar sekali setelah penembakan massal Masjid Al Noor, Christchurch.

Syechbubakr menulis: Indonesia memang tidak mengenal toleransi beragama yang dilakukan oleh orang tidak beragama. Ateisme dalam kacamata Islam konservatif di Indonesia lebih buruk ketimbang kafir, tidak juga mendapatkan tempat yang baik dalam Kristen dan Katolik.

Menurutnya, tak populernya toleransi tanpa agama di Indonesia setidaknya disebabkan oleh dua hal.

“Pertama, dominasi percakapan mengenai toleransi di Indonesia dipegang oleh tokoh dari tiga agama: Islam, Kristen dan Katolik.  […] Kita menemukan toleransi dibicarakan di ruang publik dalam kaidah Alquran, Hadis, adab Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, Alkitab dan ajaran moralitas kasih Kristus—seakan-akan segala hal yang baik dan toleran adalah hak prerogatif agama monoteis.”

Dominasi ini, menurut Syechbubakr, mengakar kuat di dalam ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila.

“Dari sini kita masuk ke masalah kedua, yaitu bagaimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa hanya memuat agenda agama-agama monoteis yang berpengaruh besar dalam perkembangan politik agama dan moralitas di Indonesia,” tulisnya.

Hal itu terlihat jelas dari perdebatan panjang apakah aliran kebatinan dianggap agama atau tidak, tambahnya. “Ini karena aliran kebatinan tidak memiliki konsep Tuhan yang tunggal, kerasulan dan kitab suci—kriteria yang disepakati oleh agama-agama monoteis.”

Menurut Syechbubakr, kebijakan negara kemudian mendukung dan mempromosikan masuknya agama sebagai faktor tunggal dari toleransi. Situasi ini didukung dengan konflik berdarah di mana Islam, Kristen, dan Katolik bahu-membahu bersama Orde Baru menghajar komunisme pada 1965. Sejak itu, komunisme selalu dicitrakan ateis, anti-agama, dan tidak bermoral.


Max, seorang agnostik dalam kisah ini, juga berkata kepada saya bahwa sejarah kelam Indonesia yang pernah bertindak keji terhadap kaum komunis berperan besar terhadap keberlangsungan hak-hak orang tak beragama di sini.

“Orang-orang saking candunya sama agama bisa jadi sangat bias,” tambah Max.

Misalnya, ia pernah dijauhi beberapa teman kampus karena dianggap membawa pengaruh buruk. “Bahkan dulu pernah ada dosen yang sengaja manggil saya ke depan kelas untuk mempertanyakan pilihan iman saya. Tujuannya memang mau mengolok-olok.”

Di Indonesia, tak ada penelitian komprehensif yang dapat menggambarkan situasi yang dialami agnostik. Jumlahnya saja tidak ada yang mencatat resmi.

“Sebetulnya wajar karena agnostik biasanya memang tidak teroganisir seperti kelompok gereja atau muslim,” kata Max. “Keberadaannya saja masih dianggap ada dan tidak ada di sini. Nyaris seperti hantu.”

Max berkata, kalaupun kamu percaya ada orang agnostik di lingkunganmu, mungkin kamu lebih memilih menjauhinya.
Baca juga artikel terkaitAGNOSTIKatau tulisan menarik lainnyaAulia Adam