Ah, Bung Karno Selalu Tidak Punya Uang

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Hidup Bung Karno serba pas-pasan. Teman-temannya sudah hafal betul. Ketika memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung, sejak 1927, Bung Karno hidup dalam kemelaratan. 

“Di jaman PNI ini orang telah mengakuiku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat,” cerita Bung Karno dalam otobiografinya.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bung Karno membuka biro arsitek di tempat tinggalnya di Jalan Dewi Sartika Nomor 22, Bandung, bersama temannya, Ir Anwari. Namun, penghasilannya tidak menentu.

Bung Karno dan Inggit Garnasih, istrinya, terpaksa menyewakan sebagian ruangan rumahnya untuk kos dan kantor agar ada sumber penghasilan lain. Mereka yang menyewa pun dikenai biaya makan.

“Orang yang tinggal dengan kami bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi yang memakai beranda muka sebagai kantor akuntan. Kamar tengah menjadi biro arsitek kami,” kata Bung.

Inggit juga mencari penghasilan tambahan dengan menjual bedak dan bahan kecantikan yang diproduksi sendiri di rumah. Meski dalam kemelaratan, Bung Karno tetap bersyukur.

“Adalah suatu rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa kami diberi?Nya nafkah dengan jalan yang kecil?kecil,” kata Bung.

Suatu hari, Bung Karno kebingungan ketika kedatangan temannya bernama Sutoto. Ia tidak punya uang. Padahal, sebelumnya, ia sudah berjanji akan menjamu teman kuliahnya itu jika datang ke rumah.

“Dia datang bersepeda. Rupanya ia kepanasan dan payah setelah mendayung sepedanya dengan cepat selama setengah jam,” kata Bung.

Bertemu Bung Karno, Sutoto semringah. Ia memarkirkan sepedanya dan berharap segera bisa ‘mengganyang’ jamuan yang dijanjikan si Bung. Tapi, apa jawab Bung?

“Maaf, Sutoto, aku tidak bisa menjadi tuan rumah yang baik untukmu. Aku tidak punya uang,” jelas Bung penuh rasa berdosa.

Sutoto langsung cemberut dan mengeluh. “Ah, Bung Karno selalu tidak punya uang.”

Di saat mereka duduk-duduk dengan suasana kikuk, seorang wartawan lewat bersepeda. Bung Karno tidak kehilangan akal. Ia langsung memanggilnya.

“Heee, ke mana?” Bung memanggil. “Cari tulisan untuk koranku,” jawab wartawan itu.

“Aku akan buatkan untukmu.”

“Berapa?” si wartawan memelankan genjotannya.

“10 rupiah!” pinta Bung. Si wartawan cuek.

“Oke, 5 rupiah.” Bung Karno turun harga. Namun si wartawan tetap cuek.

“Dua rupiah bagaimana? Akan kuberikan padamu (tulisan). Pendeknya cukuplah untuk bisa mentraktir kopi dan peuyeum. Setuju?” kali ini Bung benar-benar banting harga.

“Setuju!” jawab si wartawan.

Bung Karno langsung menulis tajuk. Unek-uneknya dituangkan. 15 menit kemudian, tulisan dengan 1000 karakakter kata selesai. Bung Karno mendapat bayaran.

Dengan uang itu, Sutoto akhirnya bisa minum kopi dan menikmati suguhan peuyeum bersama Bung Karno dan Inggit.

“Bagi kami kemiskinan itu bukanlah sesuatu yang patut dimalukan,” pungkas Bung.

Kelak, ketika menjadi presiden, Bung Karno bukanlah orang yang bergelimang harta. Ia bahkan tidak bisa memberikan harta benda apa pun kepada keluarga atau anak-anaknya. Warisannya hanya tauladan.

(Selamat Ulang Tahun, Bung Karno! Selamat minum kopi.)

(FOTO: LIFE)