Ajax Amsterdam Era 90-an: Darah Muda, Darahnya Para Juara
Satu malam sebelum final Liga Champions 1995 yang mempertemukan AC Milan dan Ajax Amsterdam digelar, Lidwina Kluivert tidur nyenyak. Saking nyenyaknya, Lidwina bahkan bermimpi sang putra, Patrick, yang tengah bergabung dengan Ajax, mencetak gol kemenangan.
Keesokan harinya, Lidwina memberitahu Patrick mengenai mimpinya. “Nak, malam nanti, kamu akan mencetak gol,” ujarnya seraya memeluk putra kesayangannya. Beberapa jam kemudian, mimpi Lidwina menjadi kenyataan. Patrick, yang masih berusia 18 tahun, datang dari bangku cadangan dan mencetak satu-satunya gol kemenangan untuk Ajax.
Di hadapan 50 ribu pasang mata yang memenuhi Stadion Ernst Happel, Wina, Ajax, pada 24 Mei 1995, berhasil memupus asa AC Milan untuk juara Liga Champions secaraback-to-back. Bagi AC Milan, kekalahan ini adalah tamparan keras mengingat setahun sebelumnya mereka mampu membantai Barcelona empat gol tanpa balas.
Sedangkan bagi Ajax, kemenangan atas AC Milan sangat istimewa sebab mereka datang dengan statusunderdogyang bertarung dengan modal pemain binaan sendiri. Tahun 1995, kelak, akan selalu dikenang sebagai tahun di mana generasi muda Ajax menancapkan dominasinya?dan menguasai dunia bola.
Kejar, Kejar, dan Kejar
Ajax sempat limbung manakala Johan Cruyff memutuskan angkat kaki dari Amsterdam Arena pada akhir 1980-an. Kepergian Cruyff disebabkan oleh perselisihannya dengan pihak manajemen setelah Marco van Basten dan Frank Rijkaard dijual ke AC Milan dan Real Zaragoza.
Upaya menstabilkan tim lantas ditempuh petinggi Ajax dengan, salah satunya, menunjuk Leo Beenhakker. Namun, Leo tak bertahan lama di Ajax setelah Real Madrid merekrutnya pada musim panas 1991. Posisi Leolantas diisi oleh Louis van Gaalyang sebelumnya menjabat sebagai asisten pelatih.
Penunjukan van Gaal memicu gelombang protes berskala masif di kalangan penggemar. Mereka menganggap van Gaal tak punya riwayat kepelatihan yang ciamik, selain juga perangainya yang, mengutip surat kabarDe Telegraaf, “sombong.” Pendukung Ajax meminta manajemen untuk kembali menarik Cruyff alih-alih mempekerjakan sosok yang dianggap cuma bisa banyak omong?dan berteori?seperti van Gaal.
Namun, mengutip Alec Fenn dalam“When Ajax Ruled the World: How Louis van Gaal Nurtured His Glorious Mid-’90s Empire”yang diterbitkan diFourFourTwo(2019), klub tetap pada pendiriannya: van Gaal adalah sosok yang tepat untuk Ajax. Alasannya: van Gaal dipandang mengerti dengan betul filosofi klub.
Sesaat usai ditunjuk, van Gaal segera tancap gas. Kebijakan pertamanya?yang kemudian menjadi dasar perjalanan klub?ialah mengembangkan bakat-bakat muda dari akademi untuk mengisi posisi di pos utama. Menurutnya, pesepakbola berusia muda, sekalipun minim pengalaman, punya sesuatu yang dibutuhkan van Gaal: determinasi, rasa lapar, antusiasme, dan, paling penting, kepatuhan.
“Sangat memuaskan [melatih tim yang diisi anak-anak muda] karena Anda akan menerima banyak rasa hormat dari mereka,” terangnya dalam satu kesempatan ketika ditanya apa motivasinya memprioritaskan pesepakbola berusia muda.
Selanjutnya, van Gaal akan memoles anak-anak muda ini dengan nilai-nilai kolektivitas dan kedisiplinan. Di kepala van Gaal, sepakbola merupakan olahraga yang dilakukan oleh 11 orang?bukan hanya milik satu-dua pihak. Tak ada yang mustahil bila masing-masing pemain saling memahami peran satu sama lain.
“Sepakbola adalah olahraga tim dan tiap anggota saling bergantung satu sama lain,” tegasnya. “Jika satu pemain tidak melakukan tugasnya dengan baik di lapangan, maka rekannya yang lain akan kesulitan. Ini berarti setiap pemain harus melakukan tugas dasarnya dengan kemampuan terbaik. Dan itu butuh kedisiplinan.”
Misi van Gaal dimulai dari sesi latihan. Dalam sesi latihan, van Gaal begitu mendorong para pemainnya sampai titik darah penghabisan. Hal pertama yang van Gaal perbaiki yakni ketahanan tubuh. Implementasinya dapat dilihat manakala setiap pemain diharuskan mengenakan monitor detak jantung untuk mengukur seberapa jauh stamina mereka.
Setelah masalah fisik selesai, barulah van Gaal masuk ke ranah taktik. Bagi van Gaal, setiap pemain tak ubahnya angka-angka di lapangan yang harus melakukan serangkaian tugas tertentu?tak kurang dan tak lebih. Pemain tak boleh kelewat pamer kemampuan sebab kepentingan tim adalah segalanya.
Instruksi van Gaal cukup jelas. Seluruh pemain bergerak dalam pola yang ditetapkan. Misalnya, jika satu pemain mundur untuk menerima bola, yang lain harus berlari ke arah gawang lawan. Lalu, bila serangan tak berhasil dilakukan pada satu sisi, maka para pemain harus secepat mungkin mengubah serangan ke sisi yang lain. Semua, tegas van Gaal, dimainkan dalam batas-batas formasi 4-3-3 maupun 3-4-3.
Untuk memastikan isi kepalanya dapat diejawantahkan secara maksimal, van Gaal meminta para pemainnya melakukan latihan, dari hal yang dasar, tanpa henti. Mereka yang gagal mencerna maksud van Gaal, sudah dipersiapkan pintu keluar, seperti yang menimpa Jan Wouters, pemain terbaik Eredivisie musim 1990/1991, ketika ia dijual van Gaal ke Bayern Munchen karena tak bisa menerapkan instruksinya.
Di awal kepelatihannya, pendekatan tersebut seperti tak mendatangkan hasil. Ajax hanya mampu mengumpulkan 20 poin dari 16 pertandingan di liga. Namun, fase itu nyatanya cuma sementara. Ajax bergegas memacu pedalnya. Di akhir musim, Ajax duduk di bawah PSV Eindhoven?yang berstatus juara liga?dengan selisih tiga poin serta mampu menjuarai Piala UEFA usai mengalahkan Torino.
Musim berikutnya, Ajax meraih trofi Piala KNVB, yang kemudian disusul keberhasilan mengangkat gelar liga setahun setelahnya. Pada rentang 1994-1995, Ajax kian tak dapat dibendung: menggondol Si Kuping Besar untuk kali keempat serta mendominasi liga tanpa tersentuh kekalahan dan mencetak 106 gol.
Darah Muda
Fondasi kesuksesan Ajax pada pertengahan 1990-an berasal dari para pemain muda yang diberi kepercayaan untuk ambil bagian oleh van Gaal. Rata-rata usia pemain Ajax waktu itu adalah 23 tahun?dengan hanya dua pemain saja yang berumur di atas 25.
Di posisi kiper, Ajax punya Edwin van der Sar, yang senantiasa tampil cekatan dan menawan dengan segala gerak refleks maupun penyelamatannya. Di depan van der Sar sudah berdiri kuartet solid: Michael Reiziger, Danny Blind, Frank Rijkaard, dan Frank de Boer. Lini pertahanan Ajax merupakan kombinasi antara pemain sarat pengalaman dengan bakat muda yang penuh gairah.
Sementara lini tengah Ajax juga tak kalah berbahaya. Di barisan ini, mengutip laporanThe Telegraphberjudul“The van Gaal Dossier,”terdapat nama-nama macam Clarence Seedorf yang mahir mengatur ritme; Finidi George dan Marc Overmars yang begitu agresif di sayap; serta Jari Litmanen maupun Ronald de Boer yang senantiasa tampil flamboyan.
Untuk kepingan terakhir, lini serang, van Gaal mempercayakannya kepada sosok Patrick Kluivert. Bergabung dengan Ajax sejak usia delapan tahun, Kluivert menjelma menjadi penyerang yang penuh determinasi. Ia menguasai bola-bola atas serta jago mencari ruang kosong.
Namun, pemain yang dianggap vital dalam skema van Gaal adalah Edgar Davids, atau yang populer dengan julukan “The Pitbulls.” Davids menjadi jembatan penghubung antara lini tengah dan depan sekaligus tembok pertama yang harus dilewati pemain lawan ketika ingin mengacaukan lini pertahanan Ajax.
Para pemain inilah yang lantas menafsirkan filosofi taktik van Gaal yang berakar pada gayaTotal Footballbikinan Rinus Michels. Secara garis besar,Total Footballmenekankan kolektivitas dalam intensitas yang tinggi. Setiap pemain diminta untuk paham peran, tugas, dan fungsinya agar skema yang direncanakan dapat berjalan dengan baik.
KonsepTotal Footballmenuntut kualitas teknis, kecerdasan taktik, dan kemampuan stamina yang besar. Dalam versi van Gaal, konsepTotal Football, yang ditafsirkan ulang lewat formasi 3-4-3, pada dasarnya, adalah berbicara tentang ruang. Bagaimana tim bisa memanfaatkan sebaik-baiknya ruang yang ada untuk mencetak gol sekaligus membatasi gerak lawan agar tak menyentuh garis pertahanan.
Keinginan van Gaal terwujud. Permainan Ajax membikin banyak orang terhibur. Mereka memadukan kecepatan,pressingdi atas rata-rata, dan, terutama, kekompakan saat menyerang maupun bertahan. Jorge Valdano, mantan pelatih Madrid, menyebut permainan Ajax seperti “utopia dalam sepakbola.”
Namun, masa keemasan Ajax perlahan memudar. Penampilan anak-anak muda ini seketika menarik perhatian klub besar di daratan Eropa. Situasi makin pelik kala aturan Bosman (Bosman Ruling)?yang memungkinkan pemain cabut dari klub tanpa uang transfer saat kontraknya selesai?diperkenalkan pada 1995.
Walhasil, mengutip Matt Gault dalam“The Ajax Utopia under Louis van Gaal”yang dimuat di lamanThese Football Times(2015), terjadilah eksodus secara besar-besaran di kubu Ajax. Para pilar inti, dari Davids, Reiziger, Finidi, Seedorf, Overmars, van der Sar, sampai Kluivert, satu per satu meninggalkan Ajax untuk bergabung dengan kesebelasan lain. Keadaan ini membuat Ajax kolaps. Pada 1997, van Gaal memutuskan untuk hengkang demi tawaran Barcelona?semakin mempertegas berakhirnya masa generasi emas Ajax.
Bertahun-tahun kemudian, Ajax seperti sulit mengulang pencapaian masa silam. Sampai akhirnya, pada tahun ini, harapan tersebut kembali terbuka lebar setelah mereka berhasil menapaki babak semifinal Liga Champions Eropa.
Pencapaian tersebut terasa istimewa. Pasalnya, mereka mampu mengalahkan tim-tim besar, dari Madrid sampai Juventus, dengan modal pemain yang rata-rata berusia 23,9 tahun macam Andre Onana, Joel Veltman, Lasse Schone, Matthijs De Ligt, Hakim Ziyech, Donny Van De Beek, David Neres, dan Frenkie De Jong.
Kejayaan Ajax di era 1990-an nyatanya tak sepenuhnya hilang?hanya beralih rupa dan tengah menunggu momentumnya sendiri.
Baca juga artikel terkaitMILD REPORTatau tulisan menarik lainnyaFaisal Irfani