AJI Indonesia dan IFJ Gelar Pelatihan Keselamatan

pada 124 tahun lalu - by

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan International Federation Journalist (IFJ) dan International Media Support (IMS) mengadakan pelatihan “Safety of Journalist Training” pada 21-22 Desember di Hotel Jambu Luwuk, Seminyak, Kabupaten Badung, Bali, untuk membekali jurnalis tentang pengetahuan keselamatan.

Pelatihan diikuti jurnalis dari Denpasar, Makassar, Palu, Kupang dan Papua, dengan materi pelatihan terkait dengan bagaimana jurnalis mempersiapkan diri meliput di daerah konflik, perlindungan diri, serta menghindari resiko seperti penculikan, kekerasan serta melindungi data digital.

Ketum AJI Indonesia Suwarjono menegaskan pelatihan ini sangat penting karena tindak kekerasan sebagian besar disebabkan jurnalis yang tidak bisa menempatkan diri ketika terjadi konflik, isu sensitive seperti sara, suku, pilkada, soal ideologi. Terlebih saat ini adalah momen menjelang pilkada serentak. Karena itu penting bagi jurnalis untuk mempersiapkan diri.

“Hampir menjelang pilkada semua daerah memanas, awal tahun 2017 akan ada pilkada serentak biasanya berpotensi terjadi gesekan. Kalau tidak professional melakukan liputan bisa digerudug oleh massa,” tutur Suwarjono dalam pesan tertulisnya, Kamis, 22 Desember 2016.

Menurut Suwarjono, jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia juga cukup banyak dan terjadi dengan berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, psikis sampai perusakan dan perampasan alat kerja. Masing-masing kota memiliki persoalan berbeda-beda.

Konsultan keamanan Nick Isack selaku pemateri pelatihan menyebutkan, tahun ini sudah 68 orang jurnalis di seluruh dunia meninggal dan sekitar 179 jurnalis dipenjara. Adapun jumlah jurnalis di seluruh dunia yang meninggal sejak 2006 tercatat mencapai 700 orang karena berbagai sebab seperti perang, pembunuhan dan kekerasan.

Dari jumlah tersebut, 35 persen diantaranya merupakan korban saat meliput kasus kejahatan, korupsi, dan 95 persen merupakan jurnalis. Sayangnya, dari seluruh kejadian yang menyebabkan jurnalis meninggal tersebut, hanya sekitar 6,6 persen yang pelakunya diproses hukum.

Karena itu, penting bagi jurnalis untuk memiliki bekal kemampuan menghadapi situasi khususnya di daerah yang rawan konflik. “Meskipun jurnalis, tetapi juga harus dipersiapkan mental untuk mengurangi dampak di masa depan,” kata Nick Isack.

Berdasarkan data dari UNESCO, kurang dari 1 dalam setiap 10 kasus pembunuhan jurnalis yang sampai ke pengadilan, dan 92 persen insiden yang menggunakan kekerasan untuk menekan kebebasan pers dan berekspresi tidak ditindaklanjuti. Ini menunjukkan perlindungan bagi jurnalis masih lemah, begitu juga dengan penindakan untuk keadilan terhadap pelaku kekerasan.
 
Kondisi-kondisi tersebut mengingatkan kepada berbagai kalangan mengenai pentingnya mekanisme yang menjamin keamanan jurnalis dalam bekerja.

Sejak Juni 2016 hingga Desember 2017, IMS dan IFJ (the International Federation of Journalists) sedang mengumpulkan berbagai model yang menjadi best practicedalam safety of journalist (keamanan bagi jurnalis) di berbagai wilayah seperti Kolombia, Filipina, Pakistan, Indonesia, Irak, Afganistan, dan Nepal.

Berita Terkait: