Akhir Perjuangan Bu Kasur Mendidik Anak Indonesia
Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda teramat sibuk. Hampir tiap menit pesawat datang dan pergi dari dan ke segala penjuru. Karena pesawat-pesawat ini hanya diberi kode berupa angka, para penjemput yang tidak terbiasa dengan sistem kode penerbangan kesulitan untuk memastikan pesawat penumpang yang ditunggunya.
Hal ini dirasakan betul oleh para penjemput Pak Kasur, termasuk Pramoedya Ananta Toer yang waktu itu tengah tinggal di Belanda. Ia baru tahu jika Pak Kasur telah tiba setelah ia pergi ke bagian pemeriksaan barang.
“Mengangalah persegi mulutnya. Itulah Pak Kasur yang melalui radio telah memikat ratusan ribu kanak-kanak dari seluruh Indonesia,” tulis Pram dalamMimbar Penyiaran DutaNo. 12 Tahun III, Desember 1953, yang terhimpun dalamMenggelinding 1(2004).
Pak Kasur lahir pada 26 Juli 1912 dengan nama Soerdjono. Kawan-kawannya semasa sekolah di HIS (setingkat SD) dan MULO (setingkat SMP) memanggilnya Susur. Sementara orang-orang di kepanduan memanggilnya Kak Soer. Dari sini nama Pak Kasur lekat dengan dirinya.
Keterbatasan biaya membuatnya tak lanjut sekolah setelah lulus MULO. Pak Kasur pun bekerja sebagai guru bantu di Ardjoena School di Yogyakarta. Melihat potensi dalam diri Pak Kasur muda, rekan-rekannya sesama guru menyekolahkannya ke HIK (Hollandsche Indische Kweekschool) atau sekolah pendidikan guru, melalui dana sekolah.
Selama Revolusi Fisik (1945-1949), Pak Kasur turut memanggul senjata, bergerilya di wilayah Priangan. Di Bandung ia bertemu dengan Sandiah (Bu Kasur), seorang anggota Palang Merah dan mantan pegawai Kantor Karesidenan Priangan.
Keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan menikah pada 1946 di Yogyakarta. Saat perang berakhir, tepatnya pada 1950, Pak Kasur dan Sandiah hijrah ke Jakarta. Sang suami mendapat pekerjaan di sebuah lembaga pendidikan dan sempat menjadi anggota Lembaga Sensor Film. Karena garang menyensor film, orang-orang perfilman menyebutnya Algojo Film atau Singa Film.
“Film saya boleh digunting, tapi mohon jangan disembelih,” rengek mereka kepada Pak Kasur seperti dikutip Pram.
Menawan Hati Warga Belanda
Nama Pak Kasur mulai dikenal luas mulai tahun 1952 saat mengasuh siaran anak-anak di RRI (Radio Republik Indonesia), sebuah program yang tersohor di tanah air, digemari di Singapura. Karena populer sebagai gembala bocah yang manis pula Pak Kasur diundang ke Belanda.
Keramahan dan sepak terjang di dunia pendidikan dan Lembaga Sensor Film, membuat Pak Kasur cepat terkenal di kalangan para pendidik, perkumpulan pemuda, studio-studio film, serta badan sensor film di Belanda.
Dalam reportasenya, Pram mengisahkan bahwa saat bus KLM (maskapai penerbangan Belanda) membawa Pak Kasur ke tempat istirahatnya, ia sudah menawan hati para penjemputnya. Bahkan saat masih di pesawat, ia berhasil menghibur anak-anak Portugis.
“Sebentar kemudian, rahang telah dibuatnya menggigil dan perut terguncang-guncang oleh tawa,” tulis Pram.
Di Belanda, ia berceramah di Markelo, Ritthem, Vlissingen, Zetten, Rotterdam, Amsterdam, Den Haag, dan Enschede. Ceramah-ceramahnya disambut hangat oleh kalangan luas yang hadir. Seperti yang dialami oleh para penjemputnya di Bandara Schiphol, banyolan-banyolan Pak Kasur kerap dibuat penontonnya tertawa. Ia juga sempat singgah ke sejumlah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus dan berhasil menjadi kawan yang akrab bagi para penghuninya.
Kehebatan Pak Kasur dalam menawan hati anak-anak dan orang dewasa, dalam catatan Pram, bermula dari satu prinsip: ia mendasarkan pendidikannya pada spontanitas, keberanian, dan keinginan anak. Ia membiarkan anak-anak berkegiatan secara mandiri sesuai apa yang mereka imajinasikan.
Pak Kasur menyayangkan sikap orangtua di Indonesia yang terlalu banyak ikut campur dalam kegiatan anak-anak mereka. Sekali waktu saat berkunjung ke sebuah sekolah kanak-kanak di Belanda, ia menemukan sistem pendidikan yang sesuai dengan apa yang disampaikannya dalam beberapa ceramah. Ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya saat melihat anak-anak di Belanda mengerjakan apapun sendirian.
“Mereka mencopot dan memasang sepatunya masing-masing tanpa pertolongan siapa pun. Mereka menggambar sendiri, dan apabila telah bosan mereka mengembalikan alat-alat ke tempat masing-masing untuk kemudian bermain lain macam lagi, dan demikian seterusnya sehingga ibu datang membawa pulang,” tulis Pram mengutip Pak Kasur.
Hal lain yang membuat Pak Kasur menjadi inspirasi bagi banyak pendidik adalah caranya mengajar. Saat ia pelajaran membaca, misalnya, Pak Kasur tidak hanya sekadar mengajar membaca, tetapi juga menerangkan arti bacaan.
Seto Mulyadi seperti dikutip Agus DS dalamTips Jitu mendongeng(2009) berkisah, sekali waktu yang diajarkan Pak Kasur kepada anak-anak adalah kalimat “Kucing di bawah meja”. Selain menuliskan kalimatnya, Pak Kasur juga benar-benar meletakkan kucing sungguhan di bawah meja. Dengan demikian, anak-anak bisa mengerti apa arti kata “di bawah.”
Sebagai bintang radio, selama di Belanda Pak Kasur tak melewatkan kesempatan untuk melihat-lihat produksi program anak-anak di beberapa radio setempat. Di sebuah stasiun radio di Hilversum, Pak Kasur mendapati sebuah program anak yang hanya dihadiri oleh 4-6 orang anak. Kecakapan berbicara anak-anak diseleksi terlebih dahulu sebelum mengikuti program tersebut.
Bagi Pak Kasur, cara seperti ini keliru karena tak sejalan dengan spontanitas anak-anak. Apalagi, dalam program di radio Hilversum tersebut, awak radio ketat mengatur anak-anak yang tengah siaran. Penonton pun tak ada, sehingga siaran berjalan amat teratur.
Kepada pengelola radio di Hilversum, Pak Kasur menceritakan pengalamannya dalam mengasuh program anak-anak di RRI. Ia tak membatasi jumlah anak yang hadir di studio, juga tak menyeleksinya. Siapapun boleh hadir dalam acara yang ia asuh. Selain itu, orangtua pun dilibatkan dengan melihat anak-anaknya siaran.
“Keuntungan dari hadirnya orangtua ini ialah memeliharakontinuiteitpendidikan yang diterima dari Pak Kasur di lingkungan keluarga,” tulis Pram.
Apa yang disampaikan Pak Kasur tak dapat dipercaya oleh pengelola radio Hiversum. Maka, pada 24 Oktober 1953, atas undangan radio tersebut, Pak Kasur menyelenggarakan siaran bersama puluhan anak Indonesia dan anak Belanda yang tidak saling paham bahasa satu sama lain. Namun, mereka ternyata bisa larut dan berbaur dalam acara itu.
Para penonton di studio berdecak kagum. Pak Kasur rupanya berhasil menyatukan anak-anak yang terbelah oleh dua bahasa, dua dunia, dan dua perasaan. Para penggiat pendidikan terkemuka yang hadir di studio memberikan respon yang hangat. Mereka amat terkesan dengan cara Pak Kasur mendidik puluhan anak yang datang dari dua akar yang berbeda.
Pasangan Kasur
Sandiah terpikat pada pemuda pejuang itu. Usia yang terpaut 14 tahun tak menghalangi Sandiah menerima pinangan Soerdjono (Pak Kasur). Saat Pak Kasur pindah ke Jakarta, ia pun ikut serta. Sandiah kerap diajak sang suami untuk menemaninya ke RRI dan dilibatkan dalam program acara siaran anak-anak.
“Saya suka Bapak, karena dia disiplin danbudi bowo leksono—apa yang dilaksanakan adalah untuk kebaikan,” ujarnya.
Beberapa kali Pak Kasur berhalangan hadir dan digantikan oleh Sandiah, yang kelak tersohor dengan nama Bu Kasur, Ia mengumpulkan anak-anak dan menggantikan posisi sang suami sebagai pemandu acara. Namanya pun kian dikenal luas. Pasangan ini melambung bersama berkat kolaborasi dalam bidang pendidikan. Bagi Bu Kasur, sang suami adalah “guru besar”-nya.
Ketika TVRI mulai mengudara pada 1962, Pak dan Bu Kasur bersama-sama membawakan acara “Arena Anak-anak”, “Mengenal Tanah Air”, dan “Taman Indria Bu Kasur”. Serta saat televisi swasta muncul, Bu Kasur memandu acara “Hip-Hip Ceria” di RCTI dan mendulang kesuksesan.
Buah dari kecintaan pasangan ini pada dunia anak-anak mendorong berdirinya sebuah taman kanak-kanak. Pada 1968, setelah Pak Kasur pensiun, Taman Kanak-kanak Mini di rumah mereka di Jalan H. Agus Salim, Jakarta, diresmikan. Karena diselenggarakan di rumah, sekolah ini berpindah-pindah mengikuti empunya rumah.
Mula-mula mereka pindah ke Jalan Cikini V. Lalu setelah Pak Kasur wafat pada 26 Juni 1992, Taman Kanak-kanak Mini mempunyai empat cabang yakni di Cipinang, Pasar Minggu, Bekasi, dan Tangerang. Namanya pun berubah menjadi TK Mini Pak Kasur.
Jika suaminya menciptakan sekitar 140 lagu anak-anak, Bu Kasur hanya mengarang 20 lagu. Salah satu lagu ciptaannya yang terkenal berjudul “Sayang Semua”:
“Satu-satu, aku sayang ibu/dua-dua, juga sayang ayah/tiga-tiga, sayang adik-kakak/Satu dua tiga, sayang semuanya.”
Seperti lagu anak-anak pada umumnya, ia sengaja dibuat pendek. Jika diperhatikan liriknya, tak satu pun kata yang mengandung huruf “r”.
“Sedapat mungkin syairnya menghindari huruf ‘r’ karena anak balita sukar melafalkannya,” kata Bu Kasur dalamGatraedisi 28 November 2002.
Pasangan ini pernah mendidik sejumlah tokoh seperti Seto Mulyadi, pelawak Ateng, Guruh Soekarnoputra, bahkan Megawati Soekarnoputri.
Sepuluh tahun setelah suaminya meninggal, pada 22 Oktober 2002 Bu Kasur pun menyusul.
Pada 1953, dalamMimbar Penyiaran Duta,Pram menyebutkan bahwa Indonesia dalam lima tahun ke depan membutuhkan paling sedikit sepuluh ribu Pak Kasur untuk mendidik jutaan anak Indonesia. Setelah pasangan Pak dan Buk Kasur tiada dan jumlah anak-anak terus bertambah, jumlah tenaga pendidik pun kian banyak dibutuhkan. Khususnya pendidik yang "mampu memberikan sebaik-baiknya pendidikan kepada bocah-bocah agar kelak mereka bisa lebih baik dari angkatan sekarang," tulis Pram.
----------------
Catatan: Artikel ini pernah tayang pada 23 Juli 2018 di Tirto.id dengan judul "Kisah Pak Kasur dan Bu Kasur Mendidik Anak Indonesia". Pada versi Mozaik 22 Oktober 2018 sedikit mengalami penyuntingan minor.
Baca juga artikel terkaitMOZAIK TIRTOatau tulisan menarik lainnyaSuhendra