Apa Bedanya Cancel Culture yang Jangkit Netizen Indonesia, AS dan Korea?

pada 3 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id-- Berkat budaya pengenyahan, atau yang lebih populer dengan istilah “cancel culture”, para pekerja seni mulai dari musisi, aktor, aktris, politisi, dan figur publik lain seakan tidak boleh memiliki ‘dosa’ duniawi. Hidupnya harus lurus, baik-baik saja, dan kalau bisa, dituntut jangan pernah melakukan kesalahan.

Kesalahan tersebut termasuk yang telah terjadi di masa lampau. Iya, sebegitunyacancel cultureyang menjangkit netizen dunia ini.

Keberadaancancel culturetentu erat kaitannya dengan peran media sosial. Bisa dibilang, tanpa media sosial, mungkin namanya masih “boikot” yang begitu tradisional dan terdengar klasik. Peran media sosial sebagai wadah orang-orang bersuara, berpendapat, hingga membicarakan kesalahan figur publik pun benar-benar dapat menentukan nasib mereka di masa depan.

Cancel culturemungkin populer sejak kasus Harvey Weinstein, seorang produser film dan pebisnis hiburan Hollywood yang kini sudah tenggelam pamornya. Berkat kekuatan kaum perempuan yang ramai-ramai buka suara terhadap aksi pelecehan seksual yang pernah dilakukan Weinstein sejak beberapa tahun silam, ia pun berhasil diusut pengadilan.

Baca juga:Cancel Culture, Sejarah Pemboikotan Massal di Medsos

Kasus Weinstein yang melahirkan gerakan digital #MeToo ini seakan menginspirasi dunia mengenai pentingnya suara setiap orang --atau dalam hal ini netizen-- di ranah digital untuk saling menyatukan banyak suara tersebut jika ada sesuatu yang ‘salah’ terjadi.

Semakin ke sini,cancel culturepun semakin kencang pengaruhnya di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, bahkan Indonesia.

Beda negara, beda juga nuansacancel cultureyang terjadi. Seperti apa perbedaannya?

Amerika Serikat
Seperti yang sudah dijabarkan di atas,cancel culturedi AS sering menitikberatkan pada perilaku menyimpang seperti pelecehan seksual. Dan semakin ke sini, netizen AS juga semakin menaruh perhatian lebih terhadap masyarakat yang dianggap sering mendapatkan diskriminasi secara sosial, seperti LGBTQ dan isu rasisme.

Banyak komedian yang dianggap harus di-cancelkarena sering melontarkan lelucon yang menyinggung kaum LGBTQ, hingga mereka yang dinilai tak acuh dengan fenomena transgender.

Cancel culturedi AS seringnya fokus pada isu berat dan yang memang saat ini menjadi isu sensitif di sana, sepertihomophobic,transphobic, rasisme. Mereka akan sangat menyoroti hal ini, jadi kalau ada komedian, aktor, atau bahkan politisi yang di masa lalunya pernah berucap yang menyinggung hal ini, harus siap di-cancel,” tutur pengamat dan aktivis media sosial, Enda Nasution saat berbincang denganUzone.id.

Harvey Weinstein saat sedang diproses pengadilan untuk kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan. Foto: The Independent

Contoh lainnya juga menimpa sutradara James Gunn yang terungkap pernah mencuit sesuatu yang dianggap menyinggung kaum LGBTQ. Tak lama setelah twit lawasnya itu terungkap, ia langsung di-cancel netizen di AS dan membuatnya dipecat dari Marvel Studios pada 2018.

Hal yang sama juga terjadi pada aktor Kevin Hart yang pernah berkicau berbauhomophobic, dan membuatnya gagal menjadi host Academy Awards.

Korea Selatan
Korsel juga menjadi negara yang dikenal menganutcancel cultureyang begitu berdampak bagi karier pekerja seninya.

Jika diperhatikan,cancel cultureyang berjalan di Korsel ini mayoritas fokus pada kesalahan figur publik yang penuh skandal seperti kekerasan seksual, hingga dianggap menyimpang dari moral sosial.

Hal yang membuatcancel culturedi Korea sering dianggap sudah melampaui batas adalah, terkadang alasan yang membuat netizen di sana meng-cancelfigur publik sudah terlalu personal.

Salah satu yang terbaru menimpa aktor Kim Seon-ho. Di tengah kariernya yang sedang memuncak, namanya tercoreng hanya karena ada mantan kekasihnya memberi pengakuan tentang hal-hal yang terjadi di hubungan mereka beberapa tahun lalu.

Baca juga:Kenapa Ada Tokoh yang Kebal dengan Cancel Culture?

Citra ‘good boy’ Seon-ho langsung hancur dan netizen ramai-ramai melakukan cancel terhadap dirinya. Hal ini pun berimbas ke berbagai brand di Korea yang langsung menghapus wajah Seon-ho dari kampanye dan promosi mereka.

“Bisa efek domino ke brand-brand yang mau hire atau sudah merekrut mereka. Sebenarnya jangan sampai lah kita merusak hidup seseorang tanpa tahu seluk-beluknya. Sebagai netizen, perlu yang namanyasocial checksebelum menghakimi. Jangan terlalu mudah ikut-ikutan,” imbuh Enda.

Indonesia
Ini dia, negara dengan seribu satu keunikan. Netizen Indonesia sering lantang, namun sebenarnya diam-diam penyayang. Menurut Enda, sebenarnya tidak murni ikut-ikutan juga, namun netizen Indonesia sudah alaminya melihat perkembangan yang ada di media sosial.

“Sanksi sosial itu selalu ada memang, bedanya zaman sekarang dengan zaman dulu, terletak di isu dan cara penerapannya,” kata Enda.

Beberapa tahun lalu sebelum peran media sosial begitu besarnya di Indonesia, Enda kilas balik dengan gerakan boikot. Boikot memang mirip seperticancel culture, bedanya penerapannya lebih lama dan matang.

Jikacancel culturedapat diterapkan dan dihebohkan dalam sekejap karena platformnya media sosial, aksi boikot tidak seinstan itu.

“Kalau dulu, biasanya kasus-kasus berat yang mendorong masyarakat untuk boikot, dan agar berhasil, butuh banyak orang. Saking isunya penting, aksi boikot ini harus di-organize,dan gak selesai dalam satu, dua minggu. Setelah dibahas, baru ditentukan boikot ini perlu atau enggak. Contohnya misal, mogok kerja,” sambung Enda.

Sementara untuk isu, cancel culture di Indonesia juga fokus pada masalah yang dianggap sensitif di Tanah Air. Tentu masalah isu, berbeda jauh dengan kultur di AS.

“Di Indonesia biasanya yang bakal kena cancel ini mereka yang melakukan pernyataan sensitif seperti soal agama, politik. Hal ini dianggap penting dan memang mudah menyinggung warga kita. Jika AS sibuk mengurusi hal rasisme sampai LGBT, ya kita berbeda,” tutup Enda.