Apakah Juergen Klopp Manajer yang Klop untuk Liverpool?
Pertanyaan: apakah Juergen Klopp merupakan manajer yang tepat untuk Liverpool?
Ada beberapaanekdot menarikuntuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, sebaiknya tak perlu repot-repot untuk mencari tahu kebenaran anekdot ini. Apa yang menarik dari sekian anekdot tentang Klopp berikut ini adalah justru karena kesimpangsiuran dan desas-desus atasnya.
Suatu hari, dalam sebuah sesi wawancara dengan pihak Board of Directors (BoD) Liverpool sebelum ia menjadi manajer klub berlambang bangau itu, Klopp sempat ditanya apakah dirinya pernah menonton The Smiths, band rock yang disebut-sebut sebagai salah satu band rock Inggris terbaik era 80 dan 90-an. Klopp tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Itu dua pertanyaan yang berbeda. Tentu saja saya pernah menonton langsung konser band terbaik delapanpuluhan: Echo & The Bunnymen di Royal Court Theatre pada 15 Juli 1983. The Smiths? Tidak, tidak pernah."
Mendengar jawaban Klopp yang begitu santai namun meyakinkan membuat BoD The Reds mulai merasa yakin pria Jerman ini adalah pilihan tepat bagi klub mereka. Penyebabnya sederhana saja: kendatipun The Smiths, well, memang lebih terkenal di dunia, tapi band tersebut berasal dari Manchester. Sedangkan Echo & The Bunnymen adalah band asli Liverpool.
Agar lebih meyakinkan lagi, pihak BoD itu kembali mengajukan satu pertanyaan krusial lain: album The Beatles mana yang menjadi favoritnya? Lagi-lagi Klopp tersenyum mengetahui pertanyaan kali ini. Tanpa basa-basi, ia menjawab dengan tenang:
“Album Beatles favorit saya selalu album selanjutnya.”
Para BoD Liverpool itu saling bertatapan sebelum kemudian tertawa bersama mendengar jawaban Klopp. Salah satu dari mereka lalu berdiri dan menyalami mantan pelatih Borussia Dortmund tersebut. Tanpa perlu diucapkan, semuanya telah sama-sama sepakat: pria bernama lengkap Jürgen Norbert Klopp ini adalah sosok yang memang ditakdirkan melatih Liverpool.
Sebab jawabannya benar belaka: album The Beatles memang tidak pernah ada yang buruk, bukan?
Setelah resmi menjadi pelatih The Kop, suatu hari Klopp iseng menelusuri tempat-tempat bersejarah di Liverpool. Tak banyak orang yang mengenali wajah Klopp kala itu, maka ia santai saja saat mendatangi Albert Dock, Tate Gallery, Pier Head, St George's Hall, hingga Croxteth Hall. Menjelang sore, ia datang ke Cavern Club, sebuah bar bersejarah tempat lahirnya The Beatles yang terletak di 10 Mathew Street.
Cukup ramai pengunjung yang datang, dan tak lama berselang, sang pemandu turis mulai menceritakan kisah Cavern Club: "Terinspirasi dari distrik jazz di Paris, Alan Sytner membuka Cavern Club pada tahun..."
Belum selesai ia bicara, Klopp menyela: "... 1957."
Semua orang yang berada di bar tersebut mendadak terdiam dan menengok ke arah Klopp. Beberapa dari mereka yang pernah melihat wajah Klopp entah di mana kemudian saling berbisik: “Itu orang Jerman yang akan melatih Liverpool, bukan?”
Sekarang Anda tahu, Klopp bukan saja dapat mengambil hati para BoD The Reds. Sejak hari itu, sejak ia berlalu meninggalkan Cavern Club, penduduk Liverpool kerap membicarakannya, mencari tahu tentangnya, antusias melihat kinerjanya, dan, yang paling penting: diam-diam mulai mencintainya.
Ideologi yang Menyatukan Klopp dengan Liverpool
Klopp jelas pelatih yang luar biasa. Ketika sepakbola sepertinya akan berakhir dengan pola umpan pendek Tiki-Taka, Klopp masih mampu menghadirkan satu jurus lain: Gegenpressing, sebuah cetak biru permainancounter-pressingtinggi hingga pertahanan lawan. Ditambah dengan aliran bola cepat dan transisi yang amat mengandalkan fisik, orang-orang menyebut racikan memikat Klopp sebagai sepakbola Heavy Metal.
Kendati demikian, untuk urusan trofi, Klopp masih jauh panggang dari api. Dari tujuh kali membawa timnya ke partai final, ia gagal enam kali, dan hanya sekali juara, yakni ketika Dortmund menghabisi Bayern Muenchen di final DFB Pokal 2011/2012 dengan skor mencolok: 5-2.
Setelah itu, Klopp lebih identik dengan spesialis nyaris juara: final Liga Champions 2012/13, final DFB Pokal 2013/14 dan 2014/15, final Piala Liga 2015/16, final Liga Europa 2015/16, dan final Liga Champions 2017/18.
Di Liga Inggris musim ini, peluang Klopp untuk menyudahi 29 tahun puasa gelar The Reds (terakhir kali mereka juara pada 1989/1990 silam), juga membentur tembok tinggi. Manchester City, pesaing terdekat mereka yang unggul satu poin, “hanya” akan menjamu Brighton sang penghuni peringkat 17 di laga terakhir kompetisi. Sementara di final Liga Champions, Liverpool juga masih akan bertemu dengan tim satu negara, Tottenham Hotspurs.
Bagaimana jika kemudian Klopp lagi-lagi gagal meraih trofi? Bagi salah seorang legenda Liverpool,Mark Lawrenson, Klopp tetaplah layak menukangi The Reds untuk jangka panjang terlepas dari apapun hasil yang diraih di musim ini.
"Finis di posisi dua akan terasa berat untuk diterima, tapi itu takkan merusak Klopp sama sekali. Dia benar-benar mampu meningkatkan setiap pemain di klub, dan itu merupakan sebuah prestasi tersendiri," ujar mantan bek The Kop di era 70-80an tersebut.
Hal istimewa lain dari Klopp menurut Lawrenson adalah bagaimana upaya manajer berusia 51 tahun tersebut untuk memahami klub dan sejarahnya, termasuk berhubungan baik dengan para mantan pemain Liverpool.
"Klopp memahami hal tersebut. Setiap kali Anda pergi ke markas latihan, dia tertawa dan berkata 'inilah mereka, para pemenang'. Dia akan masuk dalam sejarah klub sepak bola ini. Dia tampak sangat mengerti suporter, dan dia tahu bahwa ini adalah klub sepak bola kelas pekerja."
Lawrenson tidak asal bicara, terutama pada kalimat ‘dia tahu bahwa ini adalah klub sepak bola kelas pekerja’. Dalam hal ini, keberpihakan Klopp (atau dapatlah dikatakan ideologinya), segendang-sepenarian dengan Bill Shankly, pelatih legendaris Liverpool yang membawa klub itu menaklukkan Inggris di era 60-an dan selalu terus terang dengan pandangan politiknya yang condong ke ‘Kiri’.
Shankly secara eksplisit pernahmengatakan: “Sosialisme yang saya percayai, adalah setiap orang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan yang sama dan setiap orang saling berbagi apa yang didapatkannya. Itulah bagaimana saya melihat sepak bola, serta bagaimana saya melihat hidup.”
Klopp pun pernah menyebut bahwa dirinya tidak akan pernah memilih ‘Kanan’.
“Saya berada di ‘Kiri’, tentu saja,”ujarKlopp kepada Raphael Honigstein, penulis buku Klopp: Bring the Noise. “(Saya) lebih ke kiri ketimbang tengah. Saya percaya negara kesejahteraan (welfare state). Saya tidak memiliki asuransi privat. Saya tidak akan pernah memilih partai karena mereka berjanji untuk menurunkan tarif pajak tinggi,” ujarnya lagi.
Pandangan politik semacam itu pula yang amat mungkin membuat Klopp memilih Liverpool sebagai pelabuhan terbarunya ketimbang banyak klub besar lain dengan kekuatan uang yang jauh lebih besar. Dan juga mungkin sebab itu pula ia mudah terkoneksi dengan para Kopites, selalu berjingkrak kesetanan saban menang di Anfield, hingga hafal hingga tuntas lirik "You’ll Never Walk Alone".
Sampai di sini, apakah pertanyaan Klopp merupakan manajer yang tepat bagi Liverpool sudah bisa dijawab?
Baca juga artikel terkaitSEPAKBOLAatau tulisan menarik lainnyaEddward S Kennedy