Bagaimana Capres di Negara Lain Menerima Kekalahan?
Karier politik John McCain sesungguhnya cemerlang. Namun, ketika veteran Vietnam yang dianggap pahlawan oleh mayoritas warga Amerika Serikat itu bertarung di pemilihan presiden, ia selalu bernasib malang.
Pada 2000, misalnya, McCain menjadi korban kampanye brutal para pendukung George W. Bush dalam perebutan kandidat presiden Partai Republik. Selain difitnah punya anak dari hubungan gelap dengan seorang kulit hitam, istrinya, Cindy McCain, digambarkan sebagai seorang pecandu narkoba. Tak berhenti sampai di situ, ia juga dituding sebagai “homoseksual” dan menjadi korban kabar bohong bahwa ia telah dicuci otak selama ditawan di Vietnam.
Delapan tahun kemudian, McCain berhasil melaju ke pemilihan presiden AS melalui konvensi Partai Republik. Lawannya kali ini adalah Barack Obama: sosok muda, brilian, dan sukses menyedot perhatian publik AS karena identitas rasialnya. Selain itu McCain juga harus menghadapi kebosanan rakyat Amerika terhadap pemerintahan Bush yang dianggap elitis, paranoid, danhawkish.
Hanya saja kali ini bukan McCain yang menjadi korban fitnah dan tuduhan-tuduhan biadab, melainkan Obama. Beragam serangan diarahkan kepada Obama. Mulai dari “Arab”, “Muslim”, “teroris”, hingga fitnah-fitnah rendahan yang menyebut bahwa Michelle Obama, sang istri, sesungguhnya adalah laki-laki. Namun, yang menarik, McCain justru mencegah sikap demikian dari para pendukungnya.
Dalam sebuah kampanye di Minnesota, sebagai contoh, seorang perempuan pendukung McCain mengatakan bagaimana ia tidak memercayai Obama karena dianggap keturunan Arab—sebuah stereotip rasial yang dalam paradigma Republikan identik dengan teroris. Bahkan belum selesai perempuan berbaju merah itu bicara, McCain segera memotongnya:
“Tidak. Obama seorang warga negara dan pemimpin keluarga yang baik. Kebetulan saja kami tidak sepakat dengan Obama dalam beberapa isu mendasar. Dan kampanye ini adalah soal ketidaksepakatan itu.”
McCain, sebagaimana diketahui, akhirnya kalah dari Obama. Bahkan ketika penghitungan suara selesai—sebab hasilnya memang sudah tidak mungkin berkata sebaliknya—ia segera menggelar pidato di depan para pendukungnya untuk mengakui kekalahan. Berikut petikan pidato tersebut:
“Sahabat, kita telah mengakhiri perjalanan yang panjang. Rakyat Amerika telah berbicara dengan jelas. Beberapa saat yang lalu, saya mendapat kehormatan menelepon Senator Barack Obama untuk menyampaikan ucapan selamat atas terpilihnya beliau sebagai presiden baru negara yang sama-sama kita cintai ini.
Malam ini, lebih dari malam lainnya, saya meneguhkan cinta bagi negeri ini dan segenap rakyatnya, baik yang mendukung saya maupun Senator Obama. Saya berdoa sekiranya Tuhan menyertai mantan lawan saya yang akan menjadi presiden saya.”
Ketika McCain meninggal pada 25 Agustus 2018, Obama turut memberikan pidato di pemakamannya. Yang perlu diketahui: itu merupakan permintaan pribadi McCain.
Mereka yang Lapang Dada Mengakui Kekalahan
Terlepas dari beberapa langkah politiknya yang abai dibicarakan, sikap McCain dalam berkampanye, menghormati kekalahan, sekaligus mengucapkan selamat kepada Obama adalah sebentuk tindakan yang patut diapresiasi. Tapi tentunya bukan hanya ia yang pernah melakukannya.
Dalam pilpres di Nigeria pada 2015, kandidat presiden petahana, Goodluck Jonathan, menelepon rivalnya, Muhammadu Buhari, untuk mengucapkan selamat sembari mengakui kekalahannya. Presiden Nigeria yang terpilih pada 2010 itu mengontak Buhari ketika komisi pemilihan umum masih melakukan penghitungan, namun angka-angka terakhir memperlihatkan keunggulan cukup signifikan untuk rivalnya. Hal ini dipastikan oleh juru bicara partai pengusung Buhari, Garba Shehu.
Buhari sebelumnya pernah menjabat sebagai presiden pada akhir 1983 hingga Agustus 1985 usai menggulingkan pendahulunya, Shehu Shagari, lewat kudeta militer. Namun pemerintahannya hanya berumur 20 bulan. Di pilpres Februari 2019, Buhari kembali terpilih setelah mengalahkan kandidat yang lain, Atiku Abubakar. Dari seluruh surat suara di 36 negara bagian Nigeria dan Wilayah Ibu Kota Federal (FCT), Buhari dinyatakan menang dengan raihan 15,2 juta suara. Ironisnya, pemilihan tersebut berlangsung ricuh hingga menewaskan 39 orang.
Sementara di pilpres Maladewa 2018, kandidat presiden petahana yang menurut investigasi Al Jazeera terindikasi kuat melakukan korupsi senilai 79 juta dolar AS, Abdulla Yameen, juga menerima kekalahan yang mengejutkan dari rivalnya yang diusung kubu oposisi, Ibrahim Mohamed Solih. Dalam pemilihan yang diikuti lebih dari 88 persen pemilih itu, Yameen meraih 95.526 suara, sementara Solih mendapatkan 133.808 suara.
Berpindah ke Turki, sikap menerima kekalahan juga ditunjukkan Muharrem Ince, pesaing utama petahana Recep Tayyip Erdogan, dalam pemilu Turki 2018. Ince memperoleh suara sebanyak 31,7 persen, sementara Erdogan meraih 52,5 persen suara dari 99 persen suara yang dihitung. Usai mengucapkan selamat, Ince turut berpesan kepada Erdogan agar menjalankan amanah yang diberikan dan menjadi pemimpin bagi semua rakyat Turki.
"Anda harus mewakili 80 juta rakyat Turki. Anda adalah presiden bagi kami semua," ujarnya.
Jualan Isu Komunis dan Kecurangan Pemilu
Tentu saja tidak setiap kandidat presiden bersedia melakukannya. Apa yang ditunjukkan Jair Bolsonaro pada pilpres Brazil 2018 adalah contoh paling konkrit. Ketika ditanya bagaimana reaksinya jika kandidat lain, Fernando Haddad dari Partai Buruh, yang terpilih jadi presiden, Bolsonaro menjawab: "Dari apa yang saya lihat, saya tidak akan menerima hasil apa pun selain pemilihan yang memenangkan saya."
Kandidat presiden dari Partai Liberal Sosial (PLS) yang juga pengusung aliansi “Brazil di Atas Segalanya, Tuhan di Atas Semua Orang” itu juga menegaskan bahwa satu-satunya kemungkinan Haddad bisa menang adalah hanya dengan melakukan kecurangan. Sebabnya, dia menilai ada indikasi para petugas dari Mahkamah Pemilu untuk memainkan hasil pilpres kala itu. Titik.
Bolsonaro dan wakil, Jamilton Mourao, pada akhirnya berhasil memenangkan pilpres Brazil setelah meraup suara terbanyak, yakni 57,79 juta atau 55,13 persen dari total perolehan suara. Adapun lawannya, Haddad dan Manuel d’Avila sebagai cawapres, meraih 47,04 juta suara (44,87 persen).
Keberhasilan Bolsonaro tak lepas dari dua strategi utama: (1) jualan isu komunisme—ia bahkan menganggap PBB sebagai "tempat pertemuan orang-orang komunis", (2) penyebaran hoaks di media sosial, (3) para pendukungnya menuding Francis Fukuyama sebagai penganut komunisme.
Kira-kira, apakah Bolsonaro akan menggalangpeople power jika ia kalah?
Baca juga artikel terkaitKALAH PEMILUatau tulisan menarik lainnyaEddward S Kennedy