Bahaya Free-to-Play bagi Developer Kecil
Skema monetisasifree-to-playataufreemiumpunya potensi mendatangkan keuntungan besar bagi developernya. Perusahaan-perusahaan seperti Zynga, Netmarble, dan Valve adalah contoh beberapa kisah sukses yang tentunya sudah tak asing lagi di duniafree-to-play. Hingga kini pun,game free-to-playbaru terus bermunculan dengan cepat bak kacang goreng di pasar malam.
Sayangnya, di balik hasil menggiurkan, bisnisfree-to-playmenyimpan bahaya yang tak kalah besar pula. Bahaya ini terutama berisiko terjadi pada developer kecil atau independen.
Untuk memahami dan menghindari bahaya tersebut,Tech in Asia Indonesiakembali berbincang dengan Garibaldy Wibowo Mukti (Gerry), CEO Nightspade yang berpengalaman membuatgame free-to-playuntuk pasar global. Simak hasil obrolan kami di bawah.
Besar tiang, besar pula pasaknya
Free-to-play(F2P) adalah strategi monetisasi yang sebetulnya punya dampak buruk terhadap perkembangan industrigamekeseluruhan.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Gerry dengan alasan karena di duniafree-to-play, hanya developer dengan modal besarlah yang bisa bertahan hidup. “Coba lihat, ada tidakgameF2P yang benar-benar menghasilkan, tapi dibikin oleh developerindie?” tanyanya.
Kita mungkin pernah mendengar kisah suksesgame free-to-playbuatan developer kecil yang kemudian mendatangkan banyak uang.
ContohnyaFlappy Birdyang heboh di tahun 2013 lalu. Tapi kasus seperti ini bersifat anomali, bukan fenomena yang bisa terjadi padagamesecara umum.
Kisah-kisah seperti inilah yang bisa membuat developer-developer independen baru tergiur masuk ranahfree-to-play.
Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya di balik sebuahgame free-to-playyang sukses dan tahan lama terdapat biaya produksi dan operasional yang besar. Misalnya biaya operasiserver,marketing, sampai biaya user testingyang sangat intensif.
Bila developer kecil mencoba untuk melakukan praktik serupa tanpa persiapan matang, hasilnya adalah mereka justru akan “berdarah-darah” sebab pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran. Sementara itu posisigame top grossingdi Google Play Store atau Apple App Store akan terus didominasi oleh penerbit besar. “Mending memang bikingamepremium sekalian,” komentar Gerry.
Di balik kesuksesan ada formula rahasia
Untuk memberi gambaran lebih jelas tentang praktikfree-to-play di perusahaan besar, Gerry bercerita tentang pengalamannya bekerja sama dengan salah satu penerbit asal Jepang. Ketika perusahaan semacam ini mendesaingame, yang dipikirkan bukan hanya tentang bagaimana membuatgameplayberkualitas, tapi juga bagaimana caranya mendorong pengguna mengeluarkan uang secara maksimal.
Tujuan tersebut dicapai melalui berbagai macam analisis psikologis serta riset mendalam yang makan banyak biaya. Semua dirancang begitu detail, hingga ke hal-hal kecil yang mungkin tak terbayang oleh orang awam. Unsur-unsur sepele seperti bentuk tutorial,timingmenawarkanin-app purchase, bahkan posisi dan warna tombol bisa memengaruhi penjualan.
Tidak berhenti di perancangan saja, tahap testing juga dilakukan cukup ekstrem. Dalam proyek pembuatangameyang berjalan selama satu setengah tahun, proses testing bisa makan waktu enam bulan sendiri. Testing pun tidak dilakukan oleh developer, tapioutsourceke perusahaan khusus asal Cina yang memiliki tim tester beranggota ratusan orang.
Karena dirancang untuk monetisasi optimal, jangan heran apabila kemudian banyakgame free-to-playyang jadi terasa mirip-mirip. Bungkusnya memang bisa berbeda, tapi para penerbitmainstreamsudah punya formula untuk diikuti demi menghasilkangameyang sukses.
“Orang jadi menikmati, serasa itugamebaru, tapi sebenarnya di alam bawah sadar mereka memang sudah cocok,” kata Gerry menjelaskan.
David jangan menantang Goliath
Developer kecil atau independen jelas tidak punya sumber daya yang seimbang untuk bersaing melawan penerbit besar. Selain tidak bisa menghasilkan desain monetisasi optimal, dari segi danamarketingpun mereka sudah kalah. Maka dari itu, untuk developer kecil, terjun ke duniafree-to-playbisa jadi sama dengan bunuh diri.
Memang benar bahwa pasarfree-to-playsangat besar, bahkan bisa membuat pengguna yang dulunya bukangamermenjadigamer.
Tapi persentase pengguna yang mau membayar jauh lebih kecil dari total pengguna keseluruhan, yaituhanya sekitar dua persen. Angka dua persen tersebut diperebutkan oleh seluruh developerfree-to-play, sehingga persaingan yang terjadi memang sangat ketat.
Ini bukan berarti pasarfree-to-playharus dihindari, tapi developer kecil hendaknya pandai-pandai mencari sumber pemasukan alternatif selainin-app purchase.
“Gameyang dibuatfree-to-play, tapi sumber pemasukannya bukan dari pemain,” ujar Gerry. Banyak cara yang bisa diulik untuk mendapat keuntungan lewat jalur lain.
Apa saja yang perlu diperhatikan ketika mendesaingame free-to-play? Simak di sini!
Salah satu contoh pemasukan alternatif adalahproduct placement. Misalnya, developer yang membuatgametentang piza bisa bekerja sama dengan francis piza populer seperti Pizza Hut.
Sementara developer gamesemacamThe Simsyang banyak menampilkan bangunan bisa bekerja sama dengan merek furnitur seperti IKEA atau American Standard.
Intinya, developer kecil atau independen yang ingin membuatgame free-to-playsebaiknya jangan bertarunghead-to-headmelawan developer raksasa. Jangan berhenti mencari strategi alternatif dan jangan ragu memanfaatkan pasarniche,supaya tidak tergilas oleh penerbitmainstreamyang punya kekuatan modal besar.
“Berusahalah segigih mungkin. Jangan lupa juga untuk berdoa dan meminta restu dari keluarga,” pungkas Gerry.
The postBahayaFree-to-Playbagi Developer Kecil dan Bagaimana Cara Menghindarinyaappeared first onTech in Asia Indonesia.