Arkian cerita ini terjadi pada masa zaman Nabi Sulaiman. Sekali peristiwa terdapat sepasang burung sedang bercengkerama di sebuah batang pohon yang rindang dan tak jauh dari jalan utama sebuah perkampungan. Keduanya berceloteh nyaring dan mendendangkan kebahagiaan. Celoteh dan nyanyian itu terpaksa mandek ketika samar-samar datang seorang lelaki bertongkat yang mengenakan jubah dan menggamit sebuah kitab di lengan kirinya.
Burung jantan berkata kepada sang Betina, “Kita harus beranjak. Lelaki itu pasti akan memburu kita.”
Sang betina bergeming. Ia sesekali masih tetap berceloteh dan bercericit. “Ia bukan pemburu. Ia adalah seorang ulama. Tampaknya ia akan berangkat mengajar ilmu agama,” demikian sang betina menampik.
Sang jantan mengalah dan memutuskan percaya pada argumen sang betina. Keduanya melanjutkan celotehan yang sebelumnya tertunda. Sial nasib, tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam batok kepala burung betina. Tampaknya pukulan itu berasal dari tongkat yang dipegang lelaki berjubah. Sang betina sekarat meregang nyawa.
Beberapa detik sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya, lelaki berjubah itu mengeluarkan sebilah pisau dari balik jubah. Ia menyembelih, membersihkan bulu-bulu, dan memanggang burung betina itu. Magrib itu, lelaki berjubah berbuka puasa dengan menu burung panggang.
Dari kejauhan, sang burung jantan hanya bisa menonton tanpa bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan kekasih hatinya. Ia berduka sedalam-dalamnya. “Manusia memang tidak pernah jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Bukankah ia sedang berpuasa? Mengapa ia menipu kami dengan tampilan agamawan, namun hatinya tak ubahnya pemburu yang bengis dan kejam?”
Kalimat aduhan tersebut disampaikan pada Nabi Sulaiman. Kepada Nabi yang dianugerahi nikmat mampu bercakap cakap dengan hewan itu, sang burung jantan menumpahkan keluh kesah atas kecurangan dan kejahatan yang menimpa keluarganya. Nabi Sulaiman segera memanggil lelaki berjubah itu beberapa hari kemudian.
“Apakah benar kau membunuh seekor burung beberapa waktu lalu dan memakannya untuk berbuka puasa?” tanya Nabi Sulaiman pada lelaki berjubah.
“Daulat, Baginda.”
“Kau boleh berburu tapi berperilakulah yang jujur. Jangan menjadi penipu. Kau kenakan pakaian kebesaran agamawan, berjubah, bergamis, sehingga tak satupun hewan-hewan menaruh curiga kepadamu. Namun, nyatanya justru dengan tongkatmu kau melukai, membunuh, dan menyantap mereka? Yang kau lakukan tidak lain adalah penipuan dan kebohongan.”
Lelaki berjubah itu menangis sejadi-jadinya. Ia bersimpuh menyesali perbuatannya. Ia tidak menyangka bahwa perilakunya yang terlihat sepele itu mengandung dosa yang demikian besar di mata Tuhan.
Kejujuran adalah nilai yang hendak ditanamkan oleh Nabi Sulaiman kepada lelaki berjubah itu. Betapa kejujuran menjadi barang yang teramat mahal. Kesesuaian antara performa lahir dengan apa yang ada di dalam batin menjadi kunci dan moral cerita di atas.
Bahaya Ulama Munafik
Tidak kalah pentingnya, para ulama terdahulu mewanti-wanti agar umat manusia tidak terkecoh dengan identifikasi-identifikasi dan pemahaman yang keliru. Contohnya yang menyangkut kejujuran, banyak dikisahkan bahwa umumnya pendapat menyatakan musuh utama kejujuran adalah kebohongan.
Pendapat demikian dibantah para ulama dan pakar akhlak. Sebab yang menjadi musuh utama kejujuran adalah kepura-puraan. Dalam terminologi agama disebut dengan kemunafikan atau munafik. Istilah yang lebih baru yang diserap dari bahasa Inggris adalah hipokrit.
Munafik adalah kondisi ketika seseorang menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan keadaan batinnya. Dalam Bahasa agama disebut "yuzhiru khil?fa ma yubthinu" (menampakkan apa yang tidak sesuai dengan kondisi sejatinya).
Sufi besar Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa tabiat orang munafik itu selalu berbeda antara lisan dengan kata hati. Apa yang tersembunyi dengan yang ditampakkan bersifat kontradiktif, dan berbeda antara yang masuk dengan yang keluar. Artinya jika berkabar, ia pasti membual-bual.
Sadar akan kadar bahaya yang disebabkan wabah kemunafikan ini, Rasulullah memberikan minimal empat ciri munafik tulen. Ciri pertama, jika diberi amanat, ia akan mengkhianati. Kedua, jika berbicara, ia berdusta. Ketiga, jika berjanji, ia pasti mengingkari. Keempat, jika ia berselisih paham, maka ia tidak segan-segan akan berbuat zalim.
Sahabat Umat bin Khattab sekali waktu berkhotbah dengan sangat lantang di atas mimbar: “yang aku khawatirkan terjadi dan menimpa kalian adalah munculnya orang-orang berilmu yang munafik.”
Siapakah yang dimaksud Umar?
Dalam kitabJ?miul Ul?m wal Hikamdisebutkanbahwa mereka mereka adalah orang-orang yang perkataannya penuh hikmah, namun tingkah polahnya sarat kemungkaran.
Orang yang munafik canggih merekayasa umat. Dengan modal pemahaman keagamaan, mereka sering kali menipu orang banyak. Ulama seperti inilah yang diramalkan Umar bin Khattab banyak lahir di akhir zaman. Umar melukiskan dengan kalimat “khus?’un nifaq an taral jasada kh?sian, wal qalbu laisa bikh?si’in” (fisiknya tampak khusyuk sekali, namun tidak dengan hatinya).
Sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik menarik untuk direnungkan: betapa wabah kemunafikan sudah sedemikian akut dan merajalela. Rasulullah bersabda, “Akan datang suatu masa ketika orang kaya naik haji hanya untuk pelesiran, orang kelas menengah pergi haji untuk berdagang, para pengkaji Alquran berangkat haji untuk pamer serta meningkatkan reputasi nama baik, dan orang miskin naik haji untuk mengemis.”
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM. Baca juga artikel terkaitRAMADAN 2019atau tulisan menarik lainnyaFariz Alniezar