Bandit yang Ditaklukkan Cinta
Kisah gangster yang memilih cinta ketimbang kekuasaan.
Boston menjelang akhir 1920-an adalah kota yang dibaluri amarah. Kriminalitas merajalela, miras membanjiri jalanan, adu tembak meruyak, polisi korup menggenggam kuasa. Persaingan antar geng—terutama dua geng besar—menghantui kehidupan warga.
Di zaman yang sengkarut itulah, Joe Coughlin (Ben Affleck), penjahat kecil yang juga mantan serdadu mencoba berpetualang. Ia ingin merengkuh kehidupan yang lebih baik di duniabanditas. Padahal, ayahnya—Thomas Coughlin (Brendan Gleeson)—adalah salah satu petinggi kepolisian Boston.
Kala itu Boston dikuasai dua klan besar gangster; Albert White (Robert Glenister) dan Maso Pescatore (Remo Girone). Persaingan keduanya—laiknya film bergenre serupa—pasti dibumbui adu tembak yang merenggut jiwa.
Kisah Joe bermula ketika ia mengencani kekasih Albert, Emma Gould—diperankan apik oleh Sienna Miller. Cinta Joe pada Emma begitu mendalam, membuatnya kehilangan ‘akal sehat’. Ia bermain api dengan kesayangan sang maestro kejahatan.
Namun, Joe tak menyangka jika cintanya berbuah petaka di kemudian hari. Emma berkhianat. Ia memilih Albert yang renta ketimbang Joe yang gagah. Emma mungkin berpikir masa depan masih lebih baik bersama Albert. Terlalu riskan mempertaruhkan nasib pada Joe.
Menunjukkan keseriusannya di dunia kriminal, Joe merampok bank bersama kawan dekatnya, Dion Bartolo (Chris Messina). Walau berhasil keluar dari bank, polisi tetap memburu mereka.
Jual beli tembakan dan kejar-kejaran di atas mobil dalam film ini lumayan menegangkan. Perpindahanscenedengan berbagai sudut pengambilan bergerak mulus. Iringan musik di bawah kendali Harry Gregson-Williams juga selaras dengan letupan senapan dan efek suara.
Di salah satu perhentian, Joe dan Dion berpisah kendaraan untuk mengelabui polisi. Baku tembak terus berlangsung, diakhiri tabrakan dan terkaparnya tubuh di jalanan. Joe terluka namun selamat. Polisi yang mengejarnya meregang nyawa.
Sebagaimana ‘dogma’ Hollywood, kematian polisi adalah petaka besar bagi si pembunuh. Pelakunya bakal mendapat balas. Dalam film ini, polisi yang mati tak hanya seorang. Alangkah besar ‘dosa’ yang harus ditanggung Joe.
Nun di sudut lain, Albert tahu betul bahwa Emma bermain di belakangnya. Cemburu, kecewa, plus sakit, menaikkan tensi darahnya. Ia harus membuat perhitungan. Melalui Emma, Albert berhasil menjebak Joe.
Sayang anak buah White tak berhasil mengeksekusi Joe karena lebih dulu diselamatkan sang ayah (Thomas Coughlin) di saat-saat kritis. Khas Hollywood ketika sang jagoan terpojok di tubir jurang.
Joe mestinya diganjar kurungan seumur hidup atau eksekusi mati atas perbuatannya. Namun, Thomas berhasil melobi petinggi polisi agar mengampuni atau mengurangi hukuman putranya. Joe hanya mengecap pengapnya jeruji besi selama tiga tahun empat bulan.
Bebas dari penjara Joe menuntut balas pada Albert. Sayang ia tak cukup memiliki kemampuan dan sumber daya untuk mewujudkan niatnya. Cara termudah adalah dengan mendekati Pescatore. Ia yang semula ogah tergabung dalam kelompok, terpaksa mengesampingkan egonya.
Pescatore mau menerima Joe dengan sejumlah syarat. Salah satunya adalah ‘promosi’ ke Tampa, Florida. Satu syarat yang tak mampu ditolak Joe. Di Ybor City (Tampa) karier kriminal Joe bersinang terang.
Di kota ini ia kembali bertemu dengan kawan lamanya, Dion Bartolo. Bersama Dion, Joe berhasil mendekati Esteban Suarez (Miguel),gangsterlokal terkuat. Selain berteman dengan Esteban, Joe jatuh hati pada Graciela (Zoe Saldana), adik Esteban.
Walau tak bisa melupakan Emma, tapi kecintaan Joe pada Graciela juga sangat besar. Ia menikahi Graciela dan kerap menuruti kata-kata perempuan keturunan Latin itu. Joe berhasil menunjukkan diri sebagai sosok yang mencintai istri dan keluarganya.
Sesuai klaim yang sering ia ucapkan, Joe sebenarnya bukan penjahat kejam. "Powerful men don't have to be cruel," ujarnya. Orang kuat itu tak harus kejam. Benarkah demikian? Waktu yang akan membuktikan.
Berbekal kemahirannya berdiplomasi, Joe selalu berhasil mengegolkan proyeknya di Tampa. Kehidupannya di kota ini dapat dibilang berjalan mulus. Hambatan terbesarnya hanya pada kelompok Klux Klux Klan yang dipimpin RD Pruitt (Matthew Maher). RD adalah adik ipar Chief Figgis (Chris Cooper), kepala polisi Tampa.
RD kerap berulah bahkan menyerang sejumlah klub milik Joe. Padahal Joe telah menawarkan sejumlah saham pada lelaki bersuara cadel itu, namun ditolak. Joe naik pitam. Sang jagoan harus menunjukkan ‘ketegasannya’. Orang kuat itu pun kembali menarik pelatuk pistol. Joe menghabisi RD dan orang-orang dekatnya.
Selain RD, gangguan terbesar juga datang dari Loretta Figgis (Elle Fanning), putri Chief Figgis yang berprofesi sebagai pendeta—setelah gagal jadi artis Hollywood. Elle bermain bagus dan mampu mengimbangi Affleck. Dalam beberapa adegan ia terlihat melebur dalam perannya.
Kesuksesan Joe di Florida yang merambah hingga Kuba mengagumkan Pescatore. Sang mafia Italia makin sayang padanya. Pescatore bahkan menjanjikan Joe posisi yang cukup tinggi di kemudian hari.
Apa lacur, Pescatore malah berkhianat. Ia tak rela jika tampuk tertinggi kepemimpinan jatuh pada Joe. Pescatore membangun koalisi dengan Albert White untuk menghabisi Joe. Perang besar sepertinya bakal pecah.
Selain kejar-kejaran mobil di awal, adegan terbaik dalam film yang berdurasi dua jam lebih ini adalah baku tembak antara anak buah Joe dan pasukan Albert-Pescatore di sebuah hotel. Aromagangsterdalam film ini jadi terasa—setelah sekian lama disesaki dramaturgi.
Bersama Dion dan pasukannya, Joe berhasil menghabisi Albert dan Pescatore berikut pengikutnya. Secarade factoia berhasil menjadi orang nomor satu. Namun, Joe menyerahkan kekuasaan pada Dion. Ia lebih memilih Graciela. Sebuah antiklimaks mengecewakan di akhir perjuangan si bandit.
Kecintaan pada istri dan ‘surga’ (kampung) yang dirindukan menaklukkan ambisi Joe menjadi orang terkuat. “Ini adalah surga. Ya, di sini. Kita di dalamnya saat ini,” kata-kata Joe pada sang istri, tentang Florida. Kata-kata magis yang berhasil menanggalkan segala hasratnya pada kekuasaan.
Live by Nightadalah film keempat yang disutradarai Ben Affleck. Tiga lainnya adalahArgo (2012),The Town (2010), danGone Baby Gone (2007). Film ini juga merupakan film kedua yang diadaptasi dari novel Dennis Lehane, selainGone Baby Gone.
Walau bermain cukup baik, tak banyak kejutan yang disajikan Affleck dalam film ini. Aktingnya juga tak terlalu cemerlang. Kesan Bruce Wayne masih terlukis di wajah dangesture-nya. Mungkin terpengaruh mepetnya jarak produksi denganBatman vs Superman: Dawn of Justice (2016).
Adaptasi novelLive by Nightke bentuk gambar bergerak terkesan datar saja. Affleck sepertinya kesulitan membagi konsentrasi sebagai sutradara, penulis skenario, juga produser.Argomasih jauh lebih baik dalam hal penyutradaraan, sementaraGone Baby Gonemenang dithrillerdanintense.
Leonardo DiCaprio—salah satu produser film ini—sebenarnya dipertimbangkan untuk memerankan sosok Joe Coughlin. Jika Leo yang berperan sebagai Joe, kemungkinan film ini bakal menarik. Dan Affleck bisa lebih konsentrasi di bangku sutradara.
Dalam hal sinematografi, film ini bisa dikatakan bagus. Robert Richardson—sang sinematografer—mampu memvisualkan baku tembak dan dialog dengan sudut pengambilan gambar yang selaras.
AromaInglourious Basterds (2009)danShutter Island (2010)sedikit terasa di sini, walau tak terlalu kuat. Dalam dua film ini Robert berhasil menampilkan visualisasi beragam adegan dengan memukau.
MemangLive by Night tak sedahsyatThe Godfather (1972),Goodfellas (1990)atauPulp Fiction (1994). Namun Affleck, menurut saya, bakal muncul sebagai sutradara kawakan di kemudian hari. Ia memiliki kemampuan untuk itu.
Bakatnya sudah nampak sejak ia menulis naskahGood Will Hunting (1997)bersama Matt Damon, yang berbuah Oscar. Suatu saat ia akan menyamai Francis Ford Coppola, Martin Scorsese, ataupun Quentin Tarantino dengan 'rasa' berbeda. Hanya soal waktu.*