Benarkah Stres Bisa Sebabkan Migrain?
Di beberapa artikel kesehatan, tidak jarang kita menemukan asumsi yang menyebutkan adanya hubungan migrain dengan stress atau kondisi emosional yang dialami seseorang.
Namun, lamanNew York Timesdi salah satu rubriknya pada pekan ini menyatakan bahwa emosi perempuan tidak menyebabkan migrain.
Sang penulis di rubrik tersebut, Joanna Klein berpendapat, migrain muncul disebabkan oleh aktivitas otak yang abnormal, bukan karena gangguan emosi. Namun, hasil satu penelitian pada 2012 justru menyebutkan bahwa migrain memiliki kaitan dengan neurotisme (istilah medis untuk ketidakstabilan emosional).
Mana yang benar dari kedua pendapat tersebut? Apakah faktor emosional dan stres memang bisa menyebabkan migrain, atau malah tidak sama sekali?
Pakar neurologi dari Mayo Clinic di Amerika Serikat, Profesor D Todd Schwedt menuturkan, sebagian kalangan ahli ada yang menganggap istilah neurotisisme kini sudah usang dan tidak banyak membantu dalam menjawab berbagai persoalan tentang penyebab migrain.
“Migrain adalah gangguan neurologis dan bukan respons maladaptif terhadap stres,” ujar Schwedt, seperti dilansir dari //Guardian//, Jumat (22/4).
Dia mengungkapkan, ada kecenderungan genetik yang kuat dalam proses timbulnya masalah migrain pada seseorang. Menurut catatannya, sekitar 70 persen dari pengidap migrain memiliki anggota keluarga yang juga mengalami penyakit serupa.
Kendati demikian, kata Schwedt, mekanisme munculnya migrain sampai saat ini belum dapat dipahami sepenuhnya oleh para ahli. Sejauh ini, gangguan itu disinyalir sebagai bentuk perubahan listrik di sel-sel saraf yang tersebar di otak.
Ada beberapa buku yang mencoba mengupas patologi migrain. Beberapa di antaranya menyebut migrain timbul karena beberapa faktor, seperti stres, perubahan hormonal (saat menstruasi), kurang tidur, konsumsi alkohol, telat makan, dan pencahayaan lampu yang terlalu terang.
Akan tetapi, Schwedt tidak begitu sependapat dengan asumsi tersebut. “Jika seseorang tanpa migrain terkena stres tingkat tinggi, mereka tetap saja tidak akan mengalami rasa sakit pada salah satu bagian kepalanya. Jadi, kita sebaiknya tidak usah terjebak dulu dengan hubungan sebab-akibat semacam itu.”