Betapa Berat Jadi Ladyboy di Thailand

pada 6 tahun lalu - by

Thailand tersohor sebagai negara yang ramah LGBTI ataulesbian, gay, bisexual, transgender, dan intersex,termasuk di dalamnyaladyboy. Keramahan tersebut lantas mendorong publik internasional memberikan sebutan “Land of Smiles” kepada Thailand.

Anggapan itu punya dasar. Mengutip laporan Laura Villadiego dalam“Land of Lady Boys? Thailand Is Not the LGBTI Paradise It Appears”yang dipublikasikanSouth China Morning Postpada September 2018, sebuah jajak pendapat pada 2015 menyatakan hampir 89% orang Thailand akan menerima rekan kerja mereka yang gay atau lesbian; 80% tidak keberatan jika anggota keluarga mereka LGBTI; dan 60% responden mendukung pernikahan sesama jenis.

Selain itu, pada tahun yang sama, pemerintah Thailand menyetujui UU Kesetaraan Gender yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan gender. UU ini dinilai menjadi tonggak penting bagi perlindungan kelompok LGBT, tak cuma di Thailand, melainkan juga di Kawasan Asia Tenggara, mengingat negara-negara lain masih menganggap tabu kehadiran LGBTI yang selalu dipandang “tidak sesuai norma.”

Namun, segala kemajuan tersebut kadang hanya berlaku di permukaan saja. Kelompok LGBTI masih kerap menjadi target diskriminasi, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Faktor penyebabnya banyak: kurangnya pemahaman masyarakat tentang keberagaman identitas seksual, rendahnya tingkat penerimaan keluarga terhadap anggotanya yang terbuka dengan orientasi seksualnya, hingga tidak maksimalnya kerja institusi pendidikan dalam menyebarkan pendidikan seksual.

Langkah pemerintah kian menambah beban kelompok LGBTI di Thailand. Perkawinan sesama jenis masih dilarang. Transgender pun tidak dapat mengubah jenis kelamin mereka pada KTP serta dokumen resmi lainnya.

Walhasil, kelompok LGBTI di Thailand hidup dalam diskriminasi. Mereka sulit mendapatkan kerja layak, selain di tempat-tempat hiburan yang menjamur di sudut-sudut Bangkok serta rentan memperoleh kekerasan verbal, fisik, hingga seksual karena minimnya perlindungan dari pemerintah maupun masyarakat.


Cerita Bee hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang ada. Ada pula kisah Warat “Bai Thong” Tanasanti. Ia merupakan transgender berusia 24 tahun lulusan sekolah hukum Thammasat University. Mengutip laporan Julia Boccagno dalam“A Dream Deferred: A Look at Transgender Discrimination in Thailand,” (2015) nilai Tanasanti sewaktu kuliah tergolong tinggi—76 dari 100.

Usai lulus, Tanasanti mengejar mimpinya menjadi pengacara. Namun, ia segera mendapati kenyataan pahit. Dari wawancara yang ia jalani bersama 10 firma hukum, Tanasanti justru diarahkan untuk menjadi pegawai administratif, sekretaris, maupun pekerjaan lain yang berhubungan dengan SDM. Padahal, ia datang dalam kapasitas melamar jadi calon pengacara.

Tak sekadar itu saja, Tanasanti juga mengakui pewawancara kerap menyudutkannya dengan pelbagai pertanyaan yang tidak nyaman. Banyak dari mereka bertanya apakah Tanasanti “melakukan operasi penggantian kelamin atau tidak.”

“Aku pikir kemampuanku lumayan atau bisa dibilang tinggi,” katanya. “Tapi, aku tidak bisa lolos kerja karena diskriminasi, prasangka dari seseorang. Aku pikir itu sungguh tidak masuk akal.”

Pengalaman yang sama juga dirasakan Kath Khangpiboon, transgender berusia 28 tahun. Selepas menamatkan studinya sampai jenjang master di Thammasat University, ia melamar sebagai dosen. Berbagai tes masuk ia lewati dengan mulus. Bahkan, pihak fakultas menyebutnya “kandidat yang berkualitas dan kompetitif.”

Tak dinyana, pihak universitas menggugurkan nama Kath. Alasannya: perilaku Kath di jejaring media sosial dirasa “tidak pantas”—Kath mengunggah foto lipstik berbentuk seperti penis hadiah dari temannya di Instagram. Kath berdalih keputusan universitas begitu konyol dan menilai apa yang diunggahnya adalah wujud “rasa terima kasih.”

“Sejak awal, aku percaya bahwa aku akan mendapatkan persetujuan [universitas] dan lolos berdasarkan kualifikasi,” terangnya. “Tapi, nyatanya tidak. Dewan Komite tidak menyetujuiku sebagai dosen.”

Laporan Bank Dunia yang terbit Maret 2018 mengatakan diskriminasi di Thailand lazim terjadi ketika kelompok LGBTI berupaya mencari pekerjaan, mengakses layanan pendidikan maupun kesehatan, membeli atau menyewa properti, sampai mendapatkan perlindungan hukum.



Melawan Stigma


Sam Winter, dari Departemen Pendidikan University of Hong Kong dalam makalah berjudul“Why Are There So Many Kathoey in Thailand”(2010) menulis bahwa ada istilah umum untuk menyebut pria transgender di Thailand selainlady boy, yakni kathoey. Penyebutan ini mulanya hanya mencakup kelompok gay dan waria. Namun, sekarang, penyebutankathoeybisa dipakai khusus untuk transgender pria-perempuan.

Sam mencatat, banyakkathoeyhadir secara alami, dari usia remaja sampai seterusnya. Mereka meniru gerak perempuan, dalam hal rambut, pakaian, kosmetik, gaya berjalan, gerak tubuh, suara, kepribadian, sampai minat dalam hal pendidikan kejuruan.

Keberadaankathoeytelah menjadi fenomena umum di lingkungan sosial masyarakat Thailand. Di Bangkok serta kota-kota besar lainnya,kathoeymudah dijumpai. Mereka melakukan rutinitas sehari-hari, seperti berbelanja, bersosialisasi dengan teman, pergi ke bioskop, bercengkerama di kafe, hingga beribadah di kuil. Tak jarang,kathoeybekerja sebagai pemandu wisata, pemilik butik, sampai penata rias.

Sementara di lingkungan pedesaan,kathoeymemainkan peran tradisional seperti dengan menyiapkan makanan untuk upacara tertentu. Sam menerangkan, publik bisa menemukan setidaknya satukathoeydi setiap desa di seluruh Thailand.

Penerimaankathoeydalam masyarakat, tegas Sam, bisa dibilang cukup baik. Tak ada yang mempermasalahkan kehadiran mereka mengingat parakathoeyini mampu menjalankan peran serta fungsinya di kehidupan masyarakat secara paripurna. Perankathoeysetara dengan peran perempuan Thailand pada umumnya.


Namun, seiring terbukanya kesempatan kerja di bidang lainnya, termasuk bisnis prostitusi, perspektif dan perlakuan masyarakat terhadapkathoeyturut berubah. Khatoey dipandang tak ubahnya seperti sampah masyarakat.

Chaiyot Yongcharoenchai dalam laporan berjudul“Ladyboys Lost in Legal System”yang terbit diBangkok Postpada 2013 menyebut di Patong, kawasan wisata dekat Phuket,khatoey—ataulady boy—diidentikkan dengan pembuat onar dan kriminal karena pekerjaan mereka di dunia malam.

“Kami sedang memulai kampanye untuk mendata setiaplady boydi kawasan ini mengingat mereka sering terlibat dalam aksi-aksi kejahatan,” jelas Nikorn Chutchong, Inspektur Polisi Kathu.

Yang jadi masalah ialah saat aparat menyamaratakan semualady boydengan aksi-aksi kriminal. Dalam kampanyenya, tak jarang aparat bertindak ofensif terlebih dahulu kepadalady boy. Aksi mereka dibatasi, gerak-gerik mereka diawasi.

Sikap aparat sontak memicu protes. Aktivis LGBTI menuntut aparat segera menghentikan segala laku diskriminasi yang ditujukan kepadalady boy. Mereka berpendapat, tak semualady boydekat dengan aksi-aksi kejahatan.

Kenestapaanlady boytak berhenti sampai sini. Setelah diringkus aparat, mereka, masih melansirBangkok Post, dijebloskan dalam satu sel yang sama dengan tahanan laki-laki. Konsekuensinya,lady boymendapati perlakuan tak mengenakkan: dipaksa melayani hasrat seks tahanan sampai dilecehkan secara fisik maupun verbal.



Menanggapi praktik-praktik diskriminasi tersebut, Kepala Penjara Phuket, Rapin Nichanon, mengungkapkan bahwa kebijakannya menyatukanlady boybersama tahanan pria dalam satu sel tidak salah. Pasalnya, di Thailand, tidak ada regulasi yang mengatur pemisahan tahanan. Menurut Rapin dan jajaran terkait,lady boytetap dianggap berjenis kelamin laki-laki.

Pada akhirnya, hidup sebagai LGBTI di Thailand seperti tak punya jaminan masa depan. Potensi untuk dijadikan samsak persekusi maupun diskriminasi tetap membayangi hari-hari mereka.

“Kamu mungkin berpikir bahwa di Thailand ada ruang yang sangat terbuka untuk mengekspresikan identitas gender, jika kamu seorang LGBTI. Namun, pada kenyataannya, sangat sulit melakukan hal itu karena kami tidak memiliki dukungan dan perlindungan hukum,” pungkas Kath.
Baca juga artikel terkaitLGBTatau tulisan menarik lainnyaFaisal Irfani