“Kami ingatkan, jangan ada kepala daerah baik bupati maupun wali kota di Aceh terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK.”
Nasihat yang disampaikan Irwandi Yusuf saatmelantikRaidin Pinim dan Bukhari sebagai Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tenggara di Kutacane, Selasa 3 Oktober 2017. Irwandi memberi pesan tersebut karena fenomena suap banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Tepat sembilan bulan kemudian, Irwandi Yusuf yang baru setahun kurang dua hari menjabat sebagai Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, dicokok satuan tugas penyidik dan penyelidik KPK, pada Selasa malam 3 Juli 2018, atas dugaan menerima suap.
Irwandi Yusuf sempat digelandang satgas KPK dari Pendopo Gubernur Aceh ke Mapolda Aceh untuk menjalani pemeriksaan intensif. Penangkapan terhadap Irwandi dilakukan usai tim KPK menangkap Bupati Bener Meriah Ahmadi. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasusdugaan korupsi suap dana otonomi khusus Aceh tahun anggaran 2018.
Penangkapan terhadap Irwandi diapresiasi Alfian, seorang pegiat antikorupsi dari LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MATA). “Sudah sangat lama kami minta ke KPK, agar Aceh masuk wilayah penindakan,” kata Alfian kepadaTirto, Rabu (4/7/2018).
OTT KPK di Tanah Rencong memang yang pertama. Namun, KPK sebelumnya menetapkan dua tersangka berdasarkan penyelidikan berbasis kajian kerugian negara terhadap Abdullah Puteh, Gubernur Aceh periode 2000-2004, dan Armen Desky, Bupati Aceh Tenggara periode 2001-2006.
Alfian yang merupakan Koordinator Badan Pekerja MATA ini senang bukan kepalang. Dugaan MATA selama ini terbukti: dugaan korupsi masif terjadi di Aceh lewat modusmarkup, penggelapan, penyimpangan anggaran. “Sementara suap atau gratifikasi belum tersentuh.”
Sebagai daerah dengan otonomi khusus, masalah korupsi ini jadi momok apalagi jika dana yang dikorupsi merupakan dana yang diperuntukkan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut aparat penegak hukum perlu memandang korupsi terhadap dana otonomi khusus (otsus) ini lebih serius. “Apalagi kalau otsus di baliknya ada kesepakatan kemanusiaan agar Aceh damai dan bagaimana membangun Aceh jadi lebih,” kata Feri kepadaTirto.
Keseriusan tersebut harus dibuktikan dalam putusan yang nantinya diberikan majelis hakim, terlebih Aceh merupakan daerah yang juga menerapkanqanunatau hukum berbasis syariat Islam bagi warganya.
Apakah koruptor di Aceh juga dijerat dengan hukum cambuk dari qanun? Selama ini, sejumlah pihak yang melanggar hukum syariat harus menjalani hukum cambuk di depan umum.
Pada2002hingga 2005, wacana penerapan hukuman cambuk untuk kasus korupsi sempat ramai diperbincangkan warga dan elite politik di Aceh. Wacana ini muncul lagi pada 2015, setelah Gubernur Aceh periode 2012-2017, Zaini AbdullahmemerintahkanKepala Dinas Syariat Islam (DSI) untuk mengkaji secara intensif penerapan hukuman cambuk kepada koruptor. Wacana ini muncul lantaran banyak masukan dari masyarakat supaya koruptor mendapat efek jera.
Kemunculan diskursus penerapan hukum cambuk buat pelaku korupsi dianggap Feri sebagai wacana menarik. Secara logika, Feri sepakat dengan pendapat masyarakat awam yang menilai ada aspek ketidakadilan jika koruptor tak dicambuk dan dipermalukan di depan umum. Di sisi lain, muda-mudi yang berdua-duaan dan tak melakukan kejahatan harus dicambuk dan dipermalukan di depan umum.
“Kenapa [kejahatan] yang lebih besar [korupsi misalnya] tidak diberi sanksi? Aku setuju dengan itu [sanksi cambuk] bahkan kalau perlu dicambuk juga koruptornya,” kata Feri.
Meski begitu, Feri menilai, saat ini hukum cambuk itu belum bisa diterapkan karenaqanunbelum dibuat DPR Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh. Salah satu hal yang bisa mendorong pembuatanqanunadalah pertimbangan majelis hakim jika Irwandi dan Ahmadi diseret ke persidangan.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Andalas ini mengatakan majelis hakim bisa mempertimbangkan penerapan hukum cambuk berdasarkanqanunlantaran “proses penegakan hukum masih kepada hukum negara saja, tapi tidak berkaitan dengan hukum dan budaya masyarakat setempat.”
Berpotensi Bermasalah
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril sependapat dengan Feri bahwa penerapan hukum cambuk berdasarkanqanununtuk tindak pidana korupsi merupakan hal menarik, tapi dalam pelaksanaannya bisa bermasalah.
Madril menjelaskan qanun hanya setingkat dengan peraturan daerah. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, posisiqanunlebih rendah jika dibanding dengan Undang-undang. Produk hukum daerah tidak bisa memuat aturan-aturan yang sifatnya nasional, sedangkan korupsi diatur dalam hukum nasional.
“Pemidanaan dalamqanunsangat terbatas. Ancaman hukuman dan ancaman dendanya pun terbatas. Harus diproses dengan UU Tipikor dan prosedur yang berlaku di KPK,” kata Madril kepadaTirto.
Pemberlakuanqanundengan hukum cambuk terhadap kasus korupsi justru bisa menimbulkan masalah lain. Madril khawatir, tata aturan hukum amburadul dan terbuka peluang menerapkanqanunsecara nasional kepada golongan tertentu.
“Sebagai wacana boleh saja, tetapi tetap akan ada masalah penerapan hukum yang harus dijawab di situ,” kata Madril.
Senada dengan Oce Madril, anggota Komisi III DPR dari Dapil I Aceh dan Fraksi PKS Nasir Djamil menyebutkan qanununtuk perkara korupsi belum dibutuhkan masyarakat Aceh saat ini.
“Karena secara nasional peraturan perundangan tentang korupsi sudah ada dan berlaku secara nasional,” kata Nasir kepadaTirto. Baca juga artikel terkaitOTT KPKatau tulisan menarik lainnyaMufti Sholih