Blackout internet dan kebebasan informasi
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir layanan data internet di Papua dan Papua Barat sebagai buntut dari kerusuhan di Manokwari yang diduga merupakan bentuk protes terhadap tindakan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di beberapa daerah seperti Malang, Surabaya, dan Semarang pada 19 Agustus 2019.
Aksi "Blackout" layanan internet ini dilakukan bertahap. Pada (19/8), Kominfo melakukan throttling atau pelambatan akses/bandwidth untuk akses media sosial (Medsos) di Manokwari, Jayapura, dan beberapa tempat lain di wilayah Papua seiring terjadinya kerusuhan massa di wilayah tersebut.
Menilai situasi sudah kondusif, mulai malam (19/8), (Pukul 20.30 WIT) akses dinormalkan kembali.
Ternyata suasana masih memanas, Kominfo melakukan pemblokiran sementara layanan Data telekomunikasi (Internet) di Papua dan Papua Barat mulai Rabu (21/8).
Tak sampai disitu, pada Jumat (23/8) pemblokiran data internet masih berlanjut.
Kominfo menyatakan berdasarkan evaluasi yang dilakukan dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait pada Jumat (23/8) pukul 16.00, Pemerintah menyimpulkan bahwa meskipun situasi dan kondisi di beberapa kota dan kabupatan di Papua dan Papua Barat mulai berangsur-angsur pulih, namun distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif dan rasis masih terbilang tinggi.
Setidaknya 33 items dan total 849 url informasi hoaks dan provokatif terkait issue Papua yang telah diidentifikasi, divalidasi dan diverifikasi oleh Kementerian Kominfo hingga Jumat (23/8) siang.
Ke-33 items serta 849 url konten hoaks dan provokatif tersebut disebarkan ke ratusan ribu pemilik akun media social facebook, Instagram, twitter dan youtube.
Menkominfo Rudiantara menyatakan hal membahayakan, hoaks yang beredar sudah memprovokasi bahkan ada yang mengadu domba.
"Konteksnya memang di Papua tapi di media sosial menggunakan url-nya Facebook dan lain-lain itu bukan di Papua. Karena yang di Papua dibatasi datanya itu sekarang tidak difungsikan tapi ini tidak semuanya. Berbeda dengan negara-negara lain di dunia banyak ada 10 lebih. Kalau menangani hal yang demikian itu kebijakannya itu binary. Binary itu ada atau tidak ada. Jadi kalau ditutup ya ditutup semua. Nah kita tidak seperti itu," terangnya.
Pemerintah menggunakan salah satu pasal di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 40 ayat 2a dan ayat 2b sebagai landasan hukum aksinya.
Pasal 40 ayat 2a berbunyi, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sedangkan ayat 2b berkata, "Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."
Namun, hal yang dilupakan pasal 40 UU ITE memang mencantumkan "muatan yang melanggar hukum" tetapi banyak kalangan berpendapat itu maksudnya merujuk pada tindak pidana tertentu yang telah diputus pengadilan.
Bukan Pertama
Dalam catatan, selama pemerintahan Kabinet Kerja, aksi membatasi informasi melalui internet dikaitkan dengan isu politik bukanlah yang pertama. (Baca:Blokir Medsos)
Pemerintah pernah mengambil langkah drastis pasca demonstrasi massa yang berakhir rusuh pada tanggal 21 Mei 2019 hingga 22 Mei 2019 di Jakarta dengan melakukan pembatasan akses informasi ke media sosial (Medsos).
Bedanya antara aksi pada Mei dengan Agustus adalah dalam teknis pelaksanaan. Pada Mei yang dibatasi adalah melakukan pembatasan akses terhadap situs-situs media sosial seperti Facebook, Instagram (IG), dan Twitter, serta aplikasi perpesanan WhatsApp (WA).
Konsekuensi pembatasan itu, terjadi pelambatan akses, terutama untuk unggah dan unduh konten gambar dan video. Fitur yang dibatasi dan sementara tidak diaktifkan adalah fitur di media sosial facebook, instagram, dan twitter untuk gambar, foto dan video.
Masa pembatasan juga hanya hitungan hari yakni mulai 22 Mei hingga 25 Mei 2019.
Sementara yang terjadi di Papua, pembatasan yang dilakukan adalah pemutusan (Blackout) layanan internet, dan masa berlakunya belum diketahui kapan berakhir.
Dampaknya pun berbeda. Jika hanya membatasi akses terhadap medsos, tentu tak akan berpengaruh terhadap transaksi elektronik atau layanan publik. Namun, ketika akses internet yang diputus, dampak terhadap aktifitas sosial dan ekonomi tentu lebih besar mengingat digitalisasi sudah terjadi di semua wilayah.
Ditolak
Internet Development Institute atau ID Institute menilai blackout layanan internet melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yakni hak dasar publik dalam mengakses informasi.
Hal ini merujuk kepada resolusi Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memastikan bahwa akses terhadap internet adalah salah satu hak asasi manusia yang mengatur bahwa semua orang harus diperbolehkan mengakses dan mengekspresikan diri di internet
Bahkan, kabarnya dua pengacara telah mengajukan permohonan mendesak (urgent appeal) kepada PBB agar pemerintah Indonesia segera mencabut pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat.
Permintaan tersebut diajukan oleh Jennifer Robinson, seorang pengacara yang tergabung dalam kamar hukum Doughty Street Chamber Inggris dan pengacara HAM Indonesia Veronica Koman. Permintaan ini secara spesifik diajukan kepada Pelapor Khusus PBB David Kaye dan Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) yang bertempat di Jenewa, Swiss tertanggal 23 Agustus 2019.
Keduanya mengajukan permintaan kepada Pelapor Khusus PBB dan Komisioner HAM Michele Bachelet untuk meningkatkan perhatian kepada aksi militer dan pemblokiran internet di Papua Barat.
Sejumlah lembaga hukum dan organisasi pengadvokasi hak digital juga telah menggelar aksi demonstrasi di Kominfo pada Jumat (23/8).
Dalam petisinya, sekitar 20 organisasi ini menyatakan tindakan blokir dan pembatasan akses informasi itu melanggar hak digital, terutama hak warga negara untuk dapat mengakses informasi yang sebenarnya dilindungi oleh pasal 19 ICCPR (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Ke-20 organisasi itu mengingatkan kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan menyatakan tuntutan terkait self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah hak asasi manusia yang diatur dalam pembukaan UUD 1945, Konvenan Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengingatkan, sejak aksi pembatasan Medsos pada Mei lalu, masyarakat tidak pernah mendapatkan akuntabilitas dari proses tersebut, mulai dari parameter throttling sampai laporan transparansi.
Para pegiat HAM menilai jika yang digunakan adalah alasan keamanan dan "situasi kondusif", maka aroma subyektifitas akan kental sekali dalam pengambilan kebijakan yang bisa membahayakan demokrasi ke depannya.
Solusi yang ditawarkan adalah pemerintah mengoptimalkan pemblokiran konten per konten secara obyektif yang dinilai hoaks dan provokatif ketimbang memutus aliran informasi.
Sebuah pemikiran yang logis mengingat Kominfo sudah memiliki Mesin Ais senilai Rp200 miliar yang digadang-gadang mampu melawan hoaks di era industri 4.0?
@IndoTelko