Bos Nissan Carlos Ghosn, Prestasi dan Kontroversi Sang Tukang Jagal

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Penangkapan Carlos Ghosn oleh otoritas hukum Jepang, menjadi antiklimaks dari kesuksesan karier bos perusahaan otomotif terkemuka dunia itu. Ghosn yang memimpin aliansi Nissan-Renault- Mitsubishi, ditangkap pada Senin (19/11) atas tuduhan pemalsuan laporan pendapatan dan penggelapan keuangan perusahaan.

Akhir tragis karier Ghosn terjadi, setelah pria 64 tahun ini menorehkan prestasi cemerlang, dalam membangkitkan industri otomotif yang hampir mati. Meski dilakukan dengan pemangkasan biaya (cost cutter) yang gila-gilaan, termasuk mem-PHK ribuan pekerja, dia berhasil membalikkan Nissan dari pabrikan otomotif yang merugi besar jadi meraup untung.

Kesuksesan itulah yang mengantarnya jadi orang non-Jepang pertama, di kursi bos nomor satu Nissan Motor Co. Pada sisi lain, strategi yang membawa kesuksesan itu, membuatnya mendapat julukan yang kurang mengenakkan yakni‘Le Cost Cutter’atau ‘Pemangkas Bujet’ alias ‘Tukang Jagal’. Berikut adalah prestasi dan kontroversi Carlos Ghosn:

Berkarier di Pabrik Ban
Berkarier sejak selepas kuliah di pabrik ban Prancis, Michelin, Ghosn sukses hingga mencapai posisi puncak sebagai CEO. Posisi tertinggi itu diraihnya pada 1999, di perusahaan ban yang baru dibeli Michelin, yakni Uniroyal Goodrich Tire Company. Memimpin Goodrich, Ghosn melakukan efisiensi besar-besaran. Dia menutup 3 pabrik di Amerika Utara, sebagai siasat menghadapi rendahnya harga jual karet olahan.

Dijuluki 'Pemangkas Bujet'
Bersama Michelin, Ghosn menjadi pemasok ban bagi pabrikan otomotif Prancis, yakni Renault. Saat Renault dibelit masalah, manajemen melirik Ghosn dan menawarinya posisiexecutive vice president. Pada 1996 itu, Ghosn berubah haluan dari pemasok Renault, menjadi salah seorang bosnya. Chairman Renault, Louis Schweitzer, mempercayakan urusan riset, pengembangan, dan pengadaan kepadanya. Di sini, dia melakukan pemangkasan anggaran besar-besaran. Dari sinilah julukan‘Le Cost Cutter’mulai dikenal. Dengan strateginya itu, Renault kembali meraih laba, dan bisa melakukan ekspansi.

Membongkar Tradisi Jepang

Ketika Renault menjalin aliansi dengan Nissan Motor Co, ayah tiga anak ini pun didapuk menjadi Chief Operating Officer. Dia menghadapi tantangan berat, karena menjadi orang non-Jepang pertama di pucuk pimpinan perusahaan. Apalagi pada 1999 itu, dia memimpin Nissan yang tengah dibelit utang USD 20 miliar dan kerugian tahunan yang mencapai USD 6 miliar. Dengan kondisi ini, Ghosn meyakini hanya kebijakan drastis yang bisa menyelamatkan Nissan.

Pria kelahiran Brasil ini pun mengobrak-abrik berbagai tradisi manajemen ala Jepang yang sudah mengakar di Nissan. Dengan proposal'Nissan Revival Plan', dia menjalankan restrukturisasi perusahaan. Termasuk mem-PHK 21 ribu pekerja, menutup lima pabrik, dan menghilangkan promosi berbasis senioritas. Posisi-posisi yang selama ini selalu diduduki orang Jepang, dia isi tenaga profesional asing dari Prancis dan Amerika Serikat. Dia juga hanya mau mengikat kontrak pengadaan jangka panjang dengan para pemasok, sehingga mendapatkan harga termurah.

Menyelamatkan Nissan dari Kebangkrutan
Kebijakan radikalnya, tentu bukan tak mendapat tantangan. Dia menjanjikan akan mundur bersama tim manajemennya, jika Nissan gagal meraih laba dan menurunkan utang dalam waktu tiga tahun. Tapi targetnya sudah tercapai di tahun pertama. Pasarnya meluas hingga ke China, sehingga Nissan kembali merekrut pekerja baru dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan saat Ghosn masuk ke perusahaan itu.

Pada 2001, lulusan Ecole Polytechnique ini dipromosikan menjadi Chief Executive Officer (CEO) Nissan. Seiring itu, pada 2005 dia juga diangkat menjadi CEO Group Renault. Posisi ini menjadikannya seorang yang memimpin sekaligus dua perusahaan di daftar korporasi terkemuka 'Fortune 500'.

Memimpin 4 Industri Otomotif

Pada 2009 kariernya melejit lagi jadi Chairman Renault, sekaligus memimpin AVTOVAZ, industri otomotif Rusia yang bekerja sama dengan Renault. Tak cukup memimpin tiga perusahaan otomotif, pada 2016 dia juga didapuk jadi Chairman Mitsubishi Motors. Di bawah kepemimpinannya, semua pabrikan otomotif tersebut pada 2016 sukses menjual 9,96 juta unit atau lebih dari 10 persen pangsa pasar otomotif dunia.

Pada 2017, dia mundur dari CEO Nissan namun tetap menjabat sebagai Chairman. Sempat memicu kecurigaan di kalangan pers Jepang, kepemimpinan Ghosn di industri otomotif Negeri Sakura itu belakangan banyak menuai pujian. Kisah suksesnya bahkan dibuat komik manga, sementara bukunya‘Shift: Inside Historic Revival of Nissan’jadi buku bestseller.

Dibekuk Aparat Jepang
Sukses di Jepang, tapi Ghosn tetap mempertahankan kewarganegaraan Prancis dan Brasil. Dia dan istrinya, Carole, memiliki rumah di Prancis, Jepang, dan Brasil. Jadwal kegiatannya selalu penuh terisi hingga enam bulan ke depan. Kesehariannya dalam sebulan dihabiskan di Paris untuk sepekan, Jepang sepekan, dan sisanya berkeliling berbagai negara seperti Amerika Serikat, Maroko, Rusia, Indonesia, dan di mana pun ada bisnis Renault dan Nissan yang harus diurusnya.

Karier yang cemerlang Ghosn runtuh saat jaksa Jepang menuduhnya memalsukan laporan pendapatan, yang dilaporkan kurang dari USD 44 juta untuk menghindari pajak. Selain itu, dia juga dituding mengalihkan aset perusahaan secara tidak sah.