Cara Unik Membatik, Pakai Daun dan Palu

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Bermacam-macam daun tampak berserakan di lantai. Daun pepaya berbagai ukuran ditata di atas kain, lalu dipukul-pukul dengan palu karet. “Ini kalau dipukul-pukulkan akan keluar bentuk dan warna dari daunnya,” kata Narsih Setyawan kepada Tempo di kediamannya di kawasan Surabaya Barat, Selasa 27 Desember 2016.

Dengan telaten, perempuan 40 tahun itu melakukan proses tersebut hingga selesai. Narsih adalah seorang perajin sekaligus hobi mengkoleksi beragam kain Nusantara. Nah, teknik memberi motif dan warna pada kain dengan cara memukul-mukul dengan palu karet tadi terinspirasi dari tetangganya yang tengah menebang pohon jambu biji setahun lalu.

Saat itu, Narsih melihat daun jambu berserakan dan hendak dibuang. Narsih lantas ingat kalau daun jambu biji itu bisa dijadikan pewarna alami. “Lalu aku minta tiga lembar daun jambu tetangga itu," katanya. Di rumah, Narsih mencari palu kemudian memukul-mukulkan daun jambu tadi di atas selembar kain putih. "Wah, ternyata motif dan warnanya bagus."


Narsih Setyawan memukul daun dengan palu karet pada selembar kain putih. (Artika Rachmi Farmita | TEMPO)

Gembira dengan ekeperimen pertamanya, perempuan yang biasa disapa Bunda Awang itu meminta daun jambu biji lebih banyak lagi sebagai bahan percobaan. Khawatir warna alami dari daun jambu tadi cepat luntur, Narsih lantas merendam kain batik ciptaan pertamanya itu ke dalam air sabun. Dia biarkan kain itu terendam selama 3 hari. Hasilnya, motif daun dan warnanya tak luntur.

Narsih semakin bersemangat membuat batik dengan motif dan warna alami dari daun. Dia kemudian mengkombinasikan kreasi iseng-isengnya tadi dengan beragam daun. Setelah berselancar di Internet tentang variasi membatik, Narsih baru tahu jika teknik yang diterapkannya selama ini dikenal dengan Ecoprint. Di luar negeri, seperti Australia dan negara-negara Eropa, teknik ecoprint sudah lama populer.

“Biasanya perajin luar menempelkan daunnya ke kain, lalu diproses dengan dua cara, yakni dikukus (steam) dan direbus untuk mendapatkan warnanya,” kata dia. Jika perajin di luar negeri menerapkan dua metode ecoprint tadi, Narsih konsisten dengan palu-nya. Menurut dia, jenis palu yang dipakai untuk memukul daun pada kain akan memberi efek yang berbeda pada hasilnya. "Memukul daun dengan menggunakan palu daging atau palu karet, hasilnya tidak sama" ujarnya.

Untuk mendapatkan warna merah, Narsih menggunakan kulit secang, warna kuning dari kunyit, kuning keemasan dari kulit bawang bombay, warna coklat kekuningan dari kulit bawang merah, serta warna indigo daun tarum. Bahkan Narsih terkadang memakai sayuran sampah dapur untuk mendapatkan warna hijau. “Pokoknya apa saja yang gampang dicari di sekitar,” ujarnya.


Narsih menggunakan kulit secang untuk memperoleh warna merah. (Artika Rachmi Farmita| TEMPO)

Selain bermain warna, Narsih juga memodifikasi motif daun yang ditorehkan pada kain. Di antaranya daun bayam, kangkung, kenikir, ketela, daun jati, jambu batu, hingga daun jarak. Setelah hasilnya dianggap bagus, Narsih lantas mengunggah gambar kain batik buatannya itu ke media sosial. "Ternyata, banyak kawan-kawan perajin di Surabaya, Yogyakarta, sampai Temanggung yang tertarik dan berminat berbagi ilmu,” katanya.

Narsih berharap, semakin banyak masyarakat yang peduli dengan kelestarian alam dan melirik menggunakan kain hasil ecoprint. Sebab, kini tak sedikit pembatik dan pengrajin kain yang menggunakan pewarna sintetis. “Alasannya, pewarna alami itu mahal dan lama prosesnya. Padahal, bisa murah dan ramah lingkungan,” ucap pengagum desainer Oscar Lawalata itu.

ARTIKA RACHMI FARMITA

Berita lainnya:

Memilih Pakaian Dalam yang Aman dan Sehat
Ciri Pria yang Hobi Permainkan Perasaan Wanita
Cerita Naballah Chi, Fashion Blogger Afrika Berhijab

Berita Terkait: