Cerita Maia Estianty yang Merupakan Keturunan H.O.S Tjokroaminoto
Maia Estianty adalah artis Indonesia yang memiliki darah pejuang bangsa H.O.S Tjokroaminoto. Padakumparan, Maia bersedia untuk menceritakan seperti apa sosok Tjokroaminoto di mata dirinya dan keluarga.
Pelantun 'Sang Penggoda' itu menceritakan bahwa ia mengetahui ayahnya merupakan keturunan Tjokroaminoto sejak dirinya masih kecil. Namun, karena belum paham sebesar apa kontribusi 'Sang Guru Bangsa' itu bagi Indonesia, Maia hanya menganggap darah keturunan yang dimilikinya sebagai angin lalu.
"Dulu waktu Lebaran, waktu aku masih SD itu dikasih tahu ayah itu keturunan dari Tjokroaminoto. Dulu sih sebenarnya tidak terlalu paham ya, siapa itu Tjokroaminoto, enggak terlalu kenal juga siapa sosok Tjokroaminoto, pokoknya tahunya pahlawan negara saja," kata Maia.
Saat beranjak dewasa, Maia mulai mempelajari sejarah Indonesia dan menemui di buku pelajaran bahwa kakek buyutnya merupakan seorang sosok pahlawan yang berjasa pada kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tjokroaminoto sendiri adalah pimpinan organisasi pertama di Indonesia, yakni Serikat Islam (SI). Ia pun terkenal karena berhasil mendidik banyak tokoh-tokoh besar yang mencanangkan kemerdekaan Indonesia.
"Setelah SMP baru saya mulai tahu deh, siapa Tjokroaminoto dan apa pengaruhnya Beliau terhadap negara. Ya, baru merasa bangga itu pas SMP, ya," ujarnya.
Tak hanya diberitahu bahwa dirinya memiliki darah keturunan Tjokroaminoto, Maia juga sempat diceritakan bagaimana sosoknya di mata keluarga. Dari sana, Maia semakin mendapat bayangan yang luas melihat Tjokroaminoto yang biasanya hanya bisa ia pelajari di sekolah.
"Tjokroaminoto itu, ya, sangat saleh, ya. Dia juga seorang guru politik, politikus-politikus di masa itu gitu. Ya, Beliau punya pengaruh besar dalam mendidik para tokoh-tokoh yang memerdekakan bangsa ini," terangnya.
Sayangnya, saat ini semua peninggalan Tjokroaminoto sudah diberikan pada negara dan keluarga sama sekali tidak memiliki buku atau benda bersejarah yang berhubungan dengannya.
Namun, Maia sepertinya tidak merasa sedih dan justru menganggap penyerahan berbagai atribut Tjokroaminoto pada negara membukakan jalan bagi banyak orang untuk bisa lebih jauh mempelajari kehebatan leluhurnya.
"Kalau peninggalan Beliau sih ya, sudah dilestarikan, seperti rumah dia itu sudah diberikan pada negara sebagai salah satu objek wisata. Kalau keluarga sendiri agak susah untuk melestarikan barang-barang milik Tjokroaminoto, mungkin kalau pun di rumah ada ya, tulisan dari anak cucunya gitu. Karena kan kalau buku yang dia buat itu sudah sangat lama sekali, itu dari tahun berapa itu, 1900-an awal," terang mantan istri Ahmad Dhani itu.
Maia sendiri sama sekali tidak menyimpan benda-benda peninggalan Tjokroaminoto di kediamannya di Jakarta. Namun, ada kemungkinan ayahnya memiliki satu atau dua barang kuno milik Tjokroaminoto di kampung halamannya di Surabaya.
"Wah, kalau aku tidak menyimpan buku-buku atau foto-foto peninggalan Beliau. Mungkin kalau di rumah ayah yang di Surabaya ada, tapi itu pun mungkin, ya. Saya di rumah foto sendiri saja jarang dipajang, ini lagi foto dari zaman dahulu," tuturnya sembari berkelakar.
"Ya, apa yang masih bisa dirasakan hingga saat ini, ya, kemerdekaan bangsa ini, ya. Bangsa ini bisa merdeka kan, ya, karena berhasil mendidik murid-murid yang mampu membebaskan bangsa dari penjajahan, toh?" sambungnya.
Selain itu, Maia juga merasa Tjokroaminoto yang lahir di Ponorogo, 16 Agustus 1882 itu punya peranan penting dalam hal pendidikan di keluarganya.
Biar pun tumbuh dan besar di dunia yang berbeda, ia banyak mempelajari cara kerja Tjokroaminoto saat menjalani profesinya sebagai seorang musisi dan produser musik.
"Beliau itu tumbuh di dunia politik, mengajarkan apa itu nasionalisme kemudian juga ada paham komunis di masa itu dan juga saat itu, Beliau mendirikan Serikat Islam. Sebenarnya, hampir sama dengan saya saat saya menjadi produser," kata Maia.
"Saat jadi produser juga kan saya harus bisa membuat bintang-bintang baru menjadi hebat, seperti murid-murid Eyang Tjokroaminoto itu pun banyak yang nge-top, seperti Karto Suwiryo, Ir. Soekarno, kemudian Muso. Mereka berhasil menjadi pendiri-pendiri bangsalah," ujarnya.
Maia merasa leluhurnya dahulu tidak mementingkan kuantitas berapa banyak murid yang dididiknya dan lebih berpacu pada kualitas hasil pelajaran yang bisa nantinya diterapkan. Itu jadi kiat utama saat Maia menjalani profesinya.
"Tidak perlu banyak murid dari Eyang Tjokroaminoto tapi semua berpengaruh untuk berdirinya bangsa ini. Saya pun sama, saat menjadi produser harus mampu membentuk artis-artis baru hingga jadi hebat. Memang sebenarnya kami tumbuh di dunia yang berbeda, tapi esensi ilmunya sama, yaitu menciptakan orang-orang hebat," tutupnya.