Cerita Masjai 10 Menit Tergulung Tsunami: Saya Pasrah Sama Allah
Tsunami telah merenggut istri dan anak dari Masjai (40) pada Sabtu (22/12) malam. Begitu juga rumah milik Masjai dan ratusan warga lainnya yang porak poranda di Desa Tanjung Jaya, Kec. Panimbang, Kab. Pandeglan, Banten.
Kini Masjai dirawat dalam pondok di atas bukit sejauh 2,5 km dari pinggir pantai, tepatnya di Kampung Lebak Apus. Akses menuju kampung tersebut hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 2 jam. Kondisi jalan sangat memprihatinkan, lantaran dipenuhi lumpur dan sangat curam.
“Saya dibawa warga pakai tandu ke sini, kami takut tsunami susulan,” kata Masjai di Kampung Lebak Apus, Selasa (25/12).
Dalam kondisi terbaring, Masjai menceritakan saat tsunami merenggut istri dan anaknya. Awalnya Ia mendengar teriakan Maskani (27) anaknya yang sedang berada di luar rumah.
“Bapak, Ibu cepat keluar, ada tsunami. Cepat,” ujar Masjai.
Masjai tidak langsung percaya atas ucapan anaknya. Ia keluar melihat ke arah laut. Saat itu Ia mendengar suara gemuruh yang semakin mendekati. Ia pun bergegas membangunkan putrinya Nur Asia (18) bersama istrinya yang sedang berada di kamar. Nahas, tidak ada kesempatan, gelombang tsunami langsung menghantam rumahnya hingga ambruk. Masjai, anak, dan istrinya digulung ombak, terpisah dari pegangan putri dan istrinya.
“Tsunami begitu cepat, kami dengar suara gemuruh dari laut. Saya teringat Nur Asia yang tidur di kamar, bersama istri kami bangunkan. Tapi saat mau keluar tsunami sudah menghempas rumah, kami pun digulung tsunami,” ucapnya.
Selama digulung tsunami, Masjai berusaha mencapai permukaan air untuk bernafas. Namun, gelombang tsunami terus memutar dan membenturkan tubuhnya. Ia pun terpaksa menelan air laut berulang kali. Masjai saat itu pasrah.
“Badan saya terbentur balok kayu, pepohonan, tangan saya kayak kena sayatan seng. Sudah pasrah dipanggil Allah SWT,” ujar Masjai.
Setalah hampir 10 menit digulung tsunami, Masjai tersadar di antara pohon tebu yang berjarak 200 meter dari rumahnya. Ia mengalami luka parah di bagian lengan, sekujur tubuhnya banyak goresan dan sayatan.
“Saya enggak tahu saat itu jam berapa, tapi saya ditolong anak saya yang nomor dua, Maskani (27). Saya dibawa ke pinggir bukit, kondisi desa saat itu gelap, banyak orang berteriak mencari anggota keluarganya,” kata Masjai.
Usai mendapat pertolongan, Masjai ditemani Maskani mencari istri dan putrinya Nur Asia dalam kondisi gelap gulita. Namun, usaha mereka gagal. Bersama warga lainnya mereka memutuskan naik ke atas bukit membawa peralatan seadanya.
“Kami ke atas sini, kami putuskan cari anak dan istri besoknya (Minggu). Sampai sekarang enggak ketemu mereka, kami bingung. Di sini enggak ada bantuan dari relawan ataupun petugas,” keluh Masjai.
Masjai bersama 40 pengungsi lainnya saat ini bertahan di atas bukit yang jaraknya 2,5 km dari pantai. Mereka kekurangan makanan dan minuman, dan bantuan medis. Masjai mengaku, kondisi tangannya sebelah kiri semakin parah.
“Belum ada bantuan medis, makanan, dan minuman. Kami mengandalkan pengendar yang melintas, kami jegat untuk dapat bantuan. Kami berharap ada bantuan, itu saja,” pungkasnya.